Zina dalam Perspektif al-Qur`an
A.
Pengertian Zina
Kata zina (زنى) dalam berbagai bentuknya disebut hanya 6
kali dalam Al-Qur’an, dalam bentuk fi’il
mudhari’ disebut 2 kali pada QS Al-Furqan: 68 dan QS Al-Mumtahanah: 12.
Adapun dalam bentuk mashdar hanya disebut dalam QS. Al-Isra’ :32
kemudian dalam bentuk isim fa’il disebut 3 kali dan selalu beriringan
pada QS. An-Nur: 2.
Zina (زنى) yang berarti berbuat zina atau melakukan
hubungan badan tanpa ikatan yang sah menurut agama (hukum islam). Dalam bahasa
Arab, menurut Al-Lihyani terdapat dua versi mengenai penulisan zina, pertama
kata zina (زنا) dengan memakai alif mamdudah atau alif tegak
yang berasal dari penduduk Hijaz dan yang kedua kata zina (زنى)
dengan memakai alif layyinah atau alif bengkok yang berasal dari Bani Tamim,
tetapi dalam kitab As-Shahhah ini berasal dari penduduk Najed.[1]
Pengertian zina menurut ulama Madzhab Hanafi adalah hubungan
seksual (hubungan badan) yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan secara sadar yang disertai dengan nafsu seksual dan diantara mereka
tidak ada ikatan perkawinan yang sah, atau tidak ada hubungan kepemilikan
antara keduanya (hubungan tuan dan hambanya).[2]
Term yang semakna dengan zina dalam Al-Qur’an adalah kata As-Sifah
(السفاح)
untuk menunjukan arti zina, seperti yang dijelaskan pada Q.S An-Nisa : 24-25 dan kata Al-Fahisyah (الفاحشة) seperti dalam Q.S An-Nisa : 1
Sebagaimana dalam Firman Allah Q.S Al-Isra’ : 32
wur
(#qç/tø)s?
#oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù
uä!$yur
WxÎ6y ÇÌËÈ
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
Dalam zina terselip unsur menyia-nyiakan keturunan dan pemilikan
harta kepada selain orang yang berhak atas warisan tersebut. Zina merupakan
sebab langsung menularnya penyakit-penyakit yang sangat membahayakan, dan zina
juga merupakan salah satu sebab terjadinya pembunuhan karena sifat atau rasa
cemburu yang memang sudah menjadi watak manusia.
B.
Macam-Macam Zina
Ditinjau dari sudut pelaku zina dapat di kategorikan kepada 3 macam
yaitu :
1)
Orang yang belum kawin (البكر)
Bagi mereka
yang melakukan perbuatan zina tetapi mereka belum pernah kawin, para ulama
telah sepakat bahwa hukuman yang dikenakan kepada mereka yaitu didera
(dicambuk) 100 kali, sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam QS. An-Nur
: 2
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû
ÈûïÏ
«!$# bÎ)
÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/
ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ôpkô¶uø9ur
$yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$#
ÇËÈ
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
2)
Pelaku zina yang sudah pernah kawin (المحصن)
baik yang masih dalam status ikatan perkawinan maupun sudah bercerai, maka para
ulama telah sepakat bahwa hukumannya adalah wajib dirajam sampai mati.
Disamping hukuman itu juga mereka dikenakan hukuman tambahan yaitu didera 100
kali.
Seorang pelaku
zina dikatakan mukhsan bila memenuhi syarat sebagai berikut
a)
Dia adalah seorang mukallaf.
b)
Dia adalah seorang yang merdeka.
c)
Pezina ini pernah beristri atau bersuami menurut nikah yang sah. [3]
3)
Pelaku zina berstatus hamba sahaya (عبيد)
hukuman yang dikenakan kepada mereka adalah setengah dari hukuman yang diberi
kepada pelaku zina yang belum pernah kawin, dan setengah dari hukamn yang
dikenakan kepada pelaku zina yang sudah kawin, sebagaiman terdapat pada QS
an-Nisa : 25
C.
Sanksi Pelaku Zina
1.
Sanksi Pelaku Zina Muhshan
Sanksi bagi pezina yang sudah pernah menikah (muhshan)
adalah rajam, baik laki-laki maupun perempuan, muslim ataupun kafir.[4]
2.
Sanksi Pelaku Zina Ghairu Muhshan
Sanksi bagi pezina yang belum nikah (ghairu muhshan) yaitu didera
(dicambuk) 100 kali kemudian diasingkan selama satu tahun, baik laki-laki
maupun perempuan. Khusus hamba sahaya (‘abd) dicambuk 50 kali tanpa
diasingkan, baik laki-laki maupun perempuan.[5]
Hukuman yang dikenakan kepada mereka (pezina ghairu muhshan)
sesuai dengan ketentuan di dalam Qs. An-Nûr: 2, yang berbunyi:[6]
èpuÏR#¨9$#
ÎT#¨9$#ur
(#rà$Î#ô_$$sù
¨@ä.
7Ïnºur
$yJåk÷]ÏiB
sps($ÏB
;ot$ù#y_
(
wur
/ä.õè{ù's?
$yJÍkÍ5
×psùù&u
Îû
ÈûïÏ
«!$#
bÎ)
÷LäêZä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
(
ôpkô¶uø9ur
$yJåku5#xtã
×pxÿͬ!$sÛ
z`ÏiB
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
ÇËÈ
Artinya
: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
3.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Sanksi
Hukuman
bagi pezina yang masih gadis (al-Bikr) atau laki-laki yang masih jejaka
(belum pernah menikah), pelaksanaan hukuman mereka berdua yaitu disaksikan oleh
sekumpulan orang, atau sedikitnya tiga dan empat dari orang-orang mukmin agar
menjadi sebuah pelajaran bagi semua pihak yang melihat dan mendengarnya.[7]
Dan
hukuman bagi pezina yang sudah pernah menikah (muhshan) adalah dirajam,
yaitu dengan mengubur badannya separuh di persimpangan jalan kemudian dilempar
batu hingga mati. Nabi bersabda:
D.
Hikmah Larangan Disyari’atkannya Zina
Hikmah larangan
disyari’atkannya zina, yaitu:[8]
1.
Sebagai
pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang belum melakukannya agar mereka
tidak melakukan perbuatan yang serupa.
2.
Untuk
menahan pandangan dan memelihara kemaluannya.
3.
Untuk
mendidik manusia menjadi makhluk yang suci, yang pada akhirnya mengantarkan
kepada kehidupan yang aman dan damai.
E.
Referensi
At-Tuwaijiri,
Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abdullah. 2011. Ensiklopedi Islam Al-Kamil. Jakarta:
Darus Sunnah.
Shihab,
M. Quraish. 2007. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta:
Lentera Hati.
[1]M.
Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013),
hlm. 1135.
[4] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin
‘Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, (Jakarta: Darus
Sunnah, 2011), Cet. 11, hlm. 1129
[5] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abdullah At-Tuwaijiri, Opcit,
1129
[6] M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. 1, hlm. 1136
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hlm. 279
[8] Ibid, hlm. 303 dan 308
Tidak ada komentar:
Posting Komentar