BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
Al-Qur’an perlu di tafsirkan, dengan penafsiran Al-Qur’an dapat membantu
manusia untuk menangkap rahasia-rahasia Allah dan alam semesta baik yang tampak
maupun tersembunyi. Dengan penafsiran ini juga seseorang dapat berhubungan
dengan sesamanya sekaligus dengan pencitanya.
Golongan Mu’tazilah adalah sekte yang terkenal dikalangan kaum
muslimin yang menafsirkan Al-Qur’an dengan melampaui batas kewajaran. Mereka
lebih senang menerima ayat-ayat yang dapat di terima dengan akal dan fikiran
semata. Dari kata Mu’tazilah sendiri artinya golongan yang mengasingkan atau
memisahkan diri dalam sejarah islam, golongan yang mengasingkan diri itu pernah
timbul di saat terjadi pertikaian antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan mu’awiah
bin abu Sufyan dari Bani Umayyah, sebagai akibat dari terbunuhnya Khalifah
Utsman dari Bani Umayyah yang kemudian digantikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib.
Pada saat itulah terdapat beberapa orang sahabat nabi yang tidak ingin terlibat
dalam pertikaian tersebut.
Namun dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an Mu’tazilan tetap dengan
menggunakan akal fikirannya yang menurutnya logis menurut rasio. Akan tetapi
hal tersebut membuat semakin mengecoh dari arti yang sebenarnya dan penafsiran
oleh para ulama mufassir. Oleh karena itu Mu’tazilah tidak memandang dengan
wahyu, tetapi dengan fikirannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana metodologi perspektif Mu’tazilah?
2.
Bagaimana penafsiran perspektif Mu’tazilah
3.
Siapa saja tokoh-tokoh penafsiran Mu’tazilah?
4.
Bagaimana metode penafsiran Mu’tazilah?
5.
Bagaimana sumber penafsiran Mu’tazilah?
6.
Tujuan
1.
Mengetahui metodologi perspektif Mu’tazilah.
2.
Mengetahui penafsiran perspektif Mu’tazilah.
3.
Mengetahui Siapa saja tokoh-tokoh penafsiran Mu’tazilah.
4.
Mengetahui metode penafsiran Mu’tazilah.
5.
Mengetahui sumber penafsiran Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Metodologi Perspektif Mu’tazilah
Sejarah ilmu tafsir mencatat sejumlah kitab tafsir yang di tulis
oleh Mu’tazilah. Mu’tazilah adalah aliran dari dalam kalam yang lahir sejak
zaman Muawiyyah dan berkembang di zaman Abbasyiyyah. Mu’tazilah di kenal dalam
pemikiran islam sebagai pelopor “rasionalisme” dalam islam yang di pelopori
oleh Washil Bin Atha. Mu’tazilah kadang di sebut juga Qadariyyah. Kerangka
dasar pemikirannya bertumpu pada lima dasar yaitu Tauhid, Adil, al-Wa’du wa
al-Wa’id, al-Manzila baina Manzilataini dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.[1]
Metode ini tampak dalam tafsir filosofi dan mu’tazilah yang
berlandasan pada akal tanpa otoritas –tradisi dan syara’ dengan metode sufi
dalam takwil, walaupun berbeda dengannya dalam metode takwil aqli / batini.
Tafsir-tafsir ini telah lahir setelah masa penerjemahan dan penelaahan umat
islam atas peradaban tetangga, kemudian mempersentasikan, memahami dan
meresponnya dengan berlandasan pada akal dan nalar, bukan dengan teks harfiah.
Mu’tazilah dan kaum filosof saling berkaitan dalam aspek metode akal dan nalar.
[2]
Dalam metode penafsiran perspektif
Mu’tazilah ini di sebut juga dengan tafsir bi al-ra’yi (tafsir
berdasarkan fiikiran), dan jenis tafsir ini juga di sebut tafsir bi
al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul
bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan para
riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran mereka adalah bahasa, budaya arab yang
terkandung didalamnya, pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan
kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh mereka yang ingin
menafsirkan Al-Qur’an.[3]
2.
Penafsiran Perspektif Mu’tazilah
Mereka adalah sekte yang terkenal dikalangan kaum muslimin yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan melampaui batas kewajaran. Mereka lebih senang
menerima ayat-ayat yang dapat di terima dengan akal dan fikiran semata. Allah
SWT di dalam Al-Qur’an berfirman:
Wxßâur
ôs%
öNßg»oYóÁ|Ás%
øn=tã
`ÏB
ã@ö6s%
Wxßâur
öN©9
öNßgóÁÝÁø)tR
øn=tã
4
zN¯=x.ur
ª!$#
4ÓyqãB
$VJÎ=ò6s?
ÇÊÏÍÈ
“wakallama
Allahu Musa Takliman”
Artinya “dan Allah telah berbicara (kalam) kepada Musa secara
langsung” (Q.S. An-Nisa : 164).
Dalam ayat ini penafsiran mereka berbeda dengan penafsiran
ulama-ulam lain, mereka telah mengabaikan riwayat para Tabi’in yang yang oleh
kebanyakan mufassir telah di terima sebagai pegangan. Sekte ini juga
mengingkari sifat-sifat pembicaraan Allah atau kalam dalam ayat ini. Penafsiran
mereka disesuaikan dengan ideologi yang mereka yakini. Penafsiran yang
demikiyan dapat di anggap sebagai kekeliruan, kepalsuan dan makna yang di
buat-buat untuk mencapai tujuan mereka. Misalnya, sebagian mereka memandang
bahwa Musa-lah yang berbicara dengan Allah SWT. Bukan Allah yang berbicara
kepada Musa. Dalam pernyataan Al-Qur’an ini, kata Allah dalam bahasa arab adalah
sebagai subjek (fa’il) dan Musa adalah sebagai objek (maf’ul bih)
menurut pandangan ahli tata bahasa dan ahli para mufassir. Akan tetapi
proposisi kaum Mu’tazilah menyebutkan bahwa tema Allah adalah objek dan Musa
adalah subjek. Jika penafsiran ini di terima, maka penafsiran ayat di atas
secara diametris terbalik atau bertolak belakang. Penafsiran seperti ini
tidak dapat di terima dan tidak di akui oleh kalangan Ahl Sunnah Wal
Jama’ah.
Sementara sekelompok yang lain dari pengikut madhzab Mu’tazilah
menyibukkan diri dalam memutarbalikkan makna ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka
menguatkan bahwa kata al-taklim yang berasal dari al-kalm dengan di fathah-kan
kaaf dan di sukun-kan laam. Dalam hal ini kata al-taklim mengacu
kepada makna “yang luka” dan akhirnya ayat tersebut berarti “bahwa Allah SWT
melukai Musa”, dengan cakar pada usia remajanya. Dalam penafsiran ini terkesan
aneh dan jauh menyimpang dari makna yang aslinya.[4]
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang yang meyakini Al-Qur’an
bersifat Qadim (sudah ada sejak dulu) disertai dengan ke-Maha qadiman Allah SWT
adalah keyakinan syirik. Menurut mereka jika kalam adalah sifat yang bersifat
qadim bagi Allah SWT, berarti al-Qur’an yang merupakan kalam Allah juga
bersifat qadim, sedangkan mereka mengingkari sifat qadim, kecuali bagi dzat
Allah SWT.[5]
Kaum Mu’tazilah menggembor-gemborkan paham bahwa al-Qur’an adalah
makhluk Allah SWT, dan Al-Qur’an adalah kalam Alla, berarti al-Qur’an adalah
makhluk.
Ø Tafsir-tafsir
ini memiliki kelebihan diantaranya :
a)
Melampaui metode tekstual, tradisional, dan riwayat.
b)
Jauh dari fanatisme dan menkafirkan lawan, mendahulukan toleransi
dan keluasan cakrawala pandangan komprehensip.
c)
Mampu berinteraksi, mengakumulasi, mengikuti dan merespon peradaban
lain.
Ø Namun demikian,
tafsir ini memiliki beberapa kelemahan antara lain:
a)
Terjebak ke dalam perenungan teoritis murni.
b)
Berkutat dalam analisis akal, sehingga mencakup segala sesuatu yang
kriterianya adalah koherensi.
c)
Sebagai pengaruh filsafat kuno peradaban tetangga yaitu persia dan
Yunani.
d)
Tampilnya sebagai aspek iluminatif (isyraqi), walaupun akal tetap
dominan.
e)
Dominasi konsep biologis dalam alam dan fasak.
f)
Hilangnya realitas sosial dan problem keseharian.
3.
Tokoh-tokoh Penafsiran Mu’tazilah dan karya-karyanya
Diantara tokoh-tokoh para penafsir kaum mu’tazilah yaitu :[6]
Ø Al-Qadli ‘Abdul
Jabbar Bin Ahmad Al-Hamdani (w. 415), karya bukunya : Tanzil Al-Qur’an ‘Anil
Matha’in, yang di kenal dengan nama tafsir Al-Hamdani.
Ø Ali Bin Ahmad
al-Husayn, (w. 436), karya bukunya : Amali al-Syarif al-Murtadah, yang
di kenal dengan nama tafsir Al-Murtadah.
Ø Mahmud bin Umar
Al-Zamaksari (w. 538), karya bukunya : Al-Kasyaf’an Haqa’iq Tanzil. yang
di kenal dengan nama tafsir Al-Zamakhshari.
Ø Ibnu Abil
Haddad, karya bukunya : Syarah Nahjul Balaghah.
Ø Utsman
al-Jahiz, karya bukunya : Al-Hiwan.
4.
Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran pada mu’tazilah beawal dari al-Qur’an namun dalam
penafsirannya sangat jauh berbeda karena kaum Mu’tazilah lebih kepada
menggunakan rasionya di banding dengan nuraninya yang sesuai dengan wahyu yang
telah di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Manusia dengan akalnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk
sekalipun tidak diberi tahukan oleh syara’ (Wahyu). Akal juga mempunyai
kemampuan untuk membedakan yang benar (hak) dan yang salah (bathil)
mereka berpendapat bahwa segala macam pengetahuan dapat dicapai dengan akal.
Namun dalam penafsiran ini kepada akal fikirannya serta cenderung
kepada berbicara dengan Allah tanpa di sertai dengan pengetahuan yang cukup,
mereka menganggap pemikiran merekalah yang benar.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari penjelsan mtodologi penafsiran perspektif Mu’tazilah yang
telah dipaparkan di atas, pada intinya bahwa sekte Mu’tazilah lebih
mengedepankan akal fikirannya atau nalarnya di banding dengan wahyu-Nya. Jadi
segala sesuatunya menggunakan rasionalisme.
Disamping itu juga
metode penafsirnnya termasuk kategori tafsir bi al-ma’tsur (menggunakan
pemikiran rasio) dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dan kadang juga tidak selaras
dengan apa yang telah ditafsirkan oleh para mufassir. Dan kaum Mu’tazilah
sangat berkaitan dengan filsafat karena sama-sama menggunakan fikiran dan nalar
dalam penafsiran maupun dalam perdebatan.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi
Hasan. 2007. metode tafsir dan kemaslahatan umat. Yogyakarta : Nawesea.
Praja
Juhaya S. 2000. Tafsir Hikmah (Seputar Ibadah Muamalah dan manusia).
Bandung : Rosda.
Syak’ah
Musthafa Muhammad. 2008. Islam Tanpa Madzhab. Solo : Tiga Serangkai.
Thameem Ushana. 2000. Metodologi Tafsir A-Qur’an. Jakarta : Riora
Cipta.
[1] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah (Seputar Ibadah Muamalah dan
manusia), Bandung : Rosda, 2000, hlm. 12-13.
[2] Hasan Hanafi, metode tafsir dan kemaslahatan umat, Yogyakarta :
Nawesea, 2007, hlm. 33.
[3] Thameem Ushana, op. Cit, hlm. 13-14.
[4] Thameem Ushana, Metodologi Tafsir A-Qur’an, Jakarta : Riora
Cipta, 2000, hlm. 49-50.
[5] Musthafa Muhammad syak’ah, Islam Tanpa Madzhab, Solo : Tiga
Serangkai, hlm. 504.
[6] Juhaya, Ibid, hlm. 13.
Harga Basket Rotan Sintetik
BalasHapusHarga Keranjang Rotan Sintetik
Harga Keranjang Buah Rotan Sintetik
Harga Sofa Rattan Synthetic
Harga Kursi Rattan Synthetic
Harga Meja Rattan Synthetic
Harga Lounger Rattan Synthetic
Harga Ayunan Rattan Synthetic
Harga Daybed Rattan Synthetic