Senin, 09 Mei 2016

Mu'tazilah



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam Al-Qur’an perlu di tafsirkan, dengan penafsiran Al-Qur’an dapat membantu manusia untuk menangkap rahasia-rahasia Allah dan alam semesta baik yang tampak maupun tersembunyi. Dengan penafsiran ini juga seseorang dapat berhubungan dengan sesamanya sekaligus dengan pencitanya.
Golongan Mu’tazilah adalah sekte yang terkenal dikalangan kaum muslimin yang menafsirkan Al-Qur’an dengan melampaui batas kewajaran. Mereka lebih senang menerima ayat-ayat yang dapat di terima dengan akal dan fikiran semata. Dari kata Mu’tazilah sendiri artinya golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri dalam sejarah islam, golongan yang mengasingkan diri itu pernah timbul di saat terjadi pertikaian antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan mu’awiah bin abu Sufyan dari Bani Umayyah, sebagai akibat dari terbunuhnya Khalifah Utsman dari Bani Umayyah yang kemudian digantikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib. Pada saat itulah terdapat beberapa orang sahabat nabi yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian tersebut.
Namun dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an Mu’tazilan tetap dengan menggunakan akal fikirannya yang menurutnya logis menurut rasio. Akan tetapi hal tersebut membuat semakin mengecoh dari arti yang sebenarnya dan penafsiran oleh para ulama mufassir. Oleh karena itu Mu’tazilah tidak memandang dengan wahyu, tetapi dengan fikirannya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana metodologi perspektif Mu’tazilah?
2.      Bagaimana penafsiran perspektif Mu’tazilah
3.      Siapa saja tokoh-tokoh penafsiran Mu’tazilah?
4.      Bagaimana metode penafsiran Mu’tazilah?
5.      Bagaimana sumber penafsiran Mu’tazilah?

6.        Tujuan
1.      Mengetahui metodologi perspektif Mu’tazilah.
2.      Mengetahui penafsiran perspektif Mu’tazilah.
3.      Mengetahui Siapa saja tokoh-tokoh penafsiran Mu’tazilah.
4.      Mengetahui metode penafsiran Mu’tazilah.
5.      Mengetahui sumber penafsiran Mu’tazilah.


















BAB II
PEMBAHASAN
1.      Metodologi Perspektif Mu’tazilah
Sejarah ilmu tafsir mencatat sejumlah kitab tafsir yang di tulis oleh Mu’tazilah. Mu’tazilah adalah aliran dari dalam kalam yang lahir sejak zaman Muawiyyah dan berkembang di zaman Abbasyiyyah. Mu’tazilah di kenal dalam pemikiran islam sebagai pelopor “rasionalisme” dalam islam yang di pelopori oleh Washil Bin Atha. Mu’tazilah kadang di sebut juga Qadariyyah. Kerangka dasar pemikirannya bertumpu pada lima dasar yaitu Tauhid, Adil, al-Wa’du wa al-Wa’id, al-Manzila baina Manzilataini dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.[1]
Metode ini tampak dalam tafsir filosofi dan mu’tazilah yang berlandasan pada akal tanpa otoritas –tradisi dan syara’ dengan metode sufi dalam takwil, walaupun berbeda dengannya dalam metode takwil aqli / batini. Tafsir-tafsir ini telah lahir setelah masa penerjemahan dan penelaahan umat islam atas peradaban tetangga, kemudian mempersentasikan, memahami dan meresponnya dengan berlandasan pada akal dan nalar, bukan dengan teks harfiah. Mu’tazilah dan kaum filosof saling berkaitan dalam aspek metode akal dan nalar. [2]
     Dalam metode penafsiran perspektif Mu’tazilah ini di sebut juga dengan tafsir bi al-ra’yi (tafsir berdasarkan fiikiran), dan jenis tafsir ini juga di sebut tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan para riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran mereka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh mereka yang ingin menafsirkan Al-Qur’an.[3]
  
2.      Penafsiran Perspektif Mu’tazilah
Mereka adalah sekte yang terkenal dikalangan kaum muslimin yang menafsirkan Al-Qur’an dengan melampaui batas kewajaran. Mereka lebih senang menerima ayat-ayat yang dapat di terima dengan akal dan fikiran semata. Allah SWT di dalam Al-Qur’an berfirman:
Wxßâur ôs% öNßg»oYóÁ|Ás% šøn=tã `ÏB ã@ö6s% Wxßâur öN©9 öNßgóÁÝÁø)tR šøn=tã 4 zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJŠÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
   wakallama Allahu Musa Takliman
Artinya “dan Allah telah berbicara (kalam) kepada Musa secara langsung” (Q.S. An-Nisa : 164).
Dalam ayat ini penafsiran mereka berbeda dengan penafsiran ulama-ulam lain, mereka telah mengabaikan riwayat para Tabi’in yang yang oleh kebanyakan mufassir telah di terima sebagai pegangan. Sekte ini juga mengingkari sifat-sifat pembicaraan Allah atau kalam dalam ayat ini. Penafsiran mereka disesuaikan dengan ideologi yang mereka yakini. Penafsiran yang demikiyan dapat di anggap sebagai kekeliruan, kepalsuan dan makna yang di buat-buat untuk mencapai tujuan mereka. Misalnya, sebagian mereka memandang bahwa Musa-lah yang berbicara dengan Allah SWT. Bukan Allah yang berbicara kepada Musa. Dalam pernyataan Al-Qur’an ini, kata Allah dalam bahasa arab adalah sebagai subjek (fa’il) dan Musa adalah sebagai objek (maf’ul bih) menurut pandangan ahli tata bahasa dan ahli para mufassir. Akan tetapi proposisi kaum Mu’tazilah menyebutkan bahwa tema Allah adalah objek dan Musa adalah subjek. Jika penafsiran ini di terima, maka penafsiran ayat di atas secara diametris terbalik atau bertolak belakang. Penafsiran seperti ini tidak dapat di terima dan tidak di akui oleh kalangan Ahl Sunnah Wal Jama’ah.
Sementara sekelompok yang lain dari pengikut madhzab Mu’tazilah menyibukkan diri dalam memutarbalikkan makna ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka menguatkan bahwa kata al-taklim yang berasal dari al-kalm dengan di fathah-kan kaaf dan di sukun-kan laam. Dalam hal ini kata al-taklim mengacu kepada makna “yang luka” dan akhirnya ayat tersebut berarti “bahwa Allah SWT melukai Musa”, dengan cakar pada usia remajanya. Dalam penafsiran ini terkesan aneh dan jauh menyimpang dari makna yang aslinya.[4]
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang yang meyakini Al-Qur’an bersifat Qadim (sudah ada sejak dulu) disertai dengan ke-Maha qadiman Allah SWT adalah keyakinan syirik. Menurut mereka jika kalam adalah sifat yang bersifat qadim bagi Allah SWT, berarti al-Qur’an yang merupakan kalam Allah juga bersifat qadim, sedangkan mereka mengingkari sifat qadim, kecuali bagi dzat Allah SWT.[5]
Kaum Mu’tazilah menggembor-gemborkan paham bahwa al-Qur’an adalah makhluk Allah SWT, dan Al-Qur’an adalah kalam Alla, berarti al-Qur’an adalah makhluk.
Ø  Tafsir-tafsir ini memiliki kelebihan diantaranya :
a)      Melampaui metode tekstual, tradisional, dan riwayat.
b)      Jauh dari fanatisme dan menkafirkan lawan, mendahulukan toleransi dan keluasan cakrawala pandangan komprehensip.
c)      Mampu berinteraksi, mengakumulasi, mengikuti dan merespon peradaban lain.
Ø  Namun demikian, tafsir ini memiliki beberapa kelemahan antara lain:
a)      Terjebak ke dalam perenungan teoritis murni.
b)      Berkutat dalam analisis akal, sehingga mencakup segala sesuatu yang kriterianya adalah koherensi.
c)      Sebagai pengaruh filsafat kuno peradaban tetangga yaitu persia dan Yunani.
d)     Tampilnya sebagai aspek iluminatif (isyraqi), walaupun akal tetap dominan.
e)      Dominasi konsep biologis dalam alam dan fasak.
f)       Hilangnya realitas sosial dan problem keseharian.

3.      Tokoh-tokoh Penafsiran Mu’tazilah dan karya-karyanya
Diantara tokoh-tokoh para penafsir kaum mu’tazilah yaitu :[6]
Ø  Al-Qadli ‘Abdul Jabbar Bin Ahmad Al-Hamdani (w. 415), karya bukunya : Tanzil Al-Qur’an ‘Anil Matha’in, yang di kenal dengan nama tafsir Al-Hamdani. 
Ø  Ali Bin Ahmad al-Husayn, (w. 436), karya bukunya : Amali al-Syarif al-Murtadah, yang di kenal dengan nama tafsir Al-Murtadah.
Ø  Mahmud bin Umar Al-Zamaksari (w. 538), karya bukunya : Al-Kasyaf’an Haqa’iq Tanzil. yang di kenal dengan nama tafsir Al-Zamakhshari.           
Ø  Ibnu Abil Haddad, karya bukunya : Syarah Nahjul Balaghah.
Ø  Utsman al-Jahiz, karya bukunya : Al-Hiwan.

4.      Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran pada mu’tazilah beawal dari al-Qur’an namun dalam penafsirannya sangat jauh berbeda karena kaum Mu’tazilah lebih kepada menggunakan rasionya di banding dengan nuraninya yang sesuai dengan wahyu yang telah di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Manusia dengan akalnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk sekalipun tidak diberi tahukan oleh syara’ (Wahyu). Akal juga mempunyai kemampuan untuk membedakan yang benar (hak) dan yang salah (bathil) mereka berpendapat bahwa segala macam pengetahuan dapat dicapai dengan akal.
Namun dalam penafsiran ini kepada akal fikirannya serta cenderung kepada berbicara dengan Allah tanpa di sertai dengan pengetahuan yang cukup, mereka menganggap pemikiran merekalah yang benar.





BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari penjelsan mtodologi penafsiran perspektif Mu’tazilah yang telah dipaparkan di atas, pada intinya bahwa sekte Mu’tazilah lebih mengedepankan akal fikirannya atau nalarnya di banding dengan wahyu-Nya. Jadi segala sesuatunya menggunakan rasionalisme.
            Disamping itu juga metode penafsirnnya termasuk kategori tafsir bi al-ma’tsur (menggunakan pemikiran rasio) dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dan kadang juga tidak selaras dengan apa yang telah ditafsirkan oleh para mufassir. Dan kaum Mu’tazilah sangat berkaitan dengan filsafat karena sama-sama menggunakan fikiran dan nalar dalam penafsiran maupun dalam perdebatan.












DAFTAR PUSTAKA
Hanafi Hasan. 2007. metode tafsir dan kemaslahatan umat. Yogyakarta : Nawesea.
Praja Juhaya S. 2000. Tafsir Hikmah (Seputar Ibadah Muamalah dan manusia). Bandung : Rosda.
Syak’ah Musthafa Muhammad. 2008. Islam Tanpa Madzhab. Solo : Tiga Serangkai.
Thameem Ushana. 2000. Metodologi Tafsir A-Qur’an. Jakarta : Riora Cipta.



[1] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah (Seputar Ibadah Muamalah dan manusia), Bandung : Rosda, 2000, hlm. 12-13.
[2] Hasan Hanafi, metode tafsir dan kemaslahatan umat, Yogyakarta : Nawesea, 2007, hlm. 33.
[3] Thameem Ushana, op. Cit, hlm. 13-14.
[4] Thameem Ushana, Metodologi Tafsir A-Qur’an, Jakarta : Riora Cipta, 2000, hlm. 49-50.
[5] Musthafa Muhammad syak’ah, Islam Tanpa Madzhab, Solo : Tiga Serangkai, hlm. 504.
[6] Juhaya, Ibid, hlm. 13.

1 komentar:

Ads Inside Post