Senin, 09 Mei 2016

Mengangkat Tangan Saat Berdoa




Mengangkat Tangan Saat Berdoa

وَقَالَ أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ دَعَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ.[1]
“Dari Abi Musa Al-Asy'ari ra berkata, "Nabi SAW berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya, hingga aku melihat putih kedua ketiaknya." (HR Bukhari).
Imam Al-Bukhari menjelaskan bahwa, beliau meriyawatkan dari Abi Musa Al-Asy'ari tentang penglihatan beliau atas diri nabi SAW yang sedang berdoa dan mengangkat kedua tangannya. Bahkan sampai disebutkan bahwa saking tingginya beliau mengangkat tangan, sampai-sampai kedua ketiaknya tampak terlihat dan berwarna putih
- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، وَابْنُ أَبِي عَدِيٍّ ، عَنْ سَعِيدٍ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي الاِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
.[2]
Diriwayatkan kepada kami Muhammad bin Basysyar, diriwayatkan kepada kami Yahya dan Ibn Abi ‘Adiyy, dari Sa’id, dari Qotadah, dari Anas bin Malik r.a bahwa Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doanya, kecuali dalam shalat istisqa'. Sesungguhnya beliau mengangkat kedua tanggannya hingga terlihat putih ketiaknya."(HR Bukhari
Dalam penyelesaian dua hadis ini dapat dilakukan dengan metode al-Jam’u wat- Taufiq, yaitu dengan mengumpulkan dua hadis atau lebih yang secara tekstual tampak bertentangan, kemudian dari dua hadis tersebut diambil titik tengah dan kesimpulan sehingga keduanya dapat dimanfaatkan. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
1.      Metode Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Dua hadis di atas secara tekstual tampak bertentangan, karena dilihat dari pengertian hadis yang pertama Nabi Muhammad Saw., berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya, hingga aku melihat putih kedua ketiaknya. Sedangkan pada hadis yang ke-dua,  mengangkat kedua tangan itu hanya dilakukan pada shalat istisqa’ saja. Sehingga kalau dilakukan di luar itu, hukumnya tidak boleh
Untuk hadis yang pertama berkenaan dengan  sikap Rasullullah ketika berdo’a dengan cara mengangkat kedua tangannya. Itu berarti hadits ini menyebutkan tentang teknis berdoanya seorang hamba, yaitu dengan mengangkat kedua tangannya.  Sedangkan untuk hadis yang ke-dua, menjelaskan larangan mengangkat kedua tangan ketika berdoa pada waktu apapun kecuali ketika melaksanakan sholat Istisqa.
Menurut Ahmad Sarwat,. dalam bukunya[3] bahwa, para ulama menyimpulkan bukan karena haditsnya tidak shahih, namun karena bentuk istimbathnya yang lemah. Kelemahan istimbathnya adalah bahwa larangan itu semata-mata berdasarkan penilaian Anas bin Malik ra seorang, bahwa nabi SAW tidak mengangkat tangannya saat berdoa kecuali saat istisqa'. Penilaian ini kurang bisa dijadikan argumentasi, lantaran hanya klaim seseorang. Apakah Anas bin Malik telah bertanya langsung kepada nabi SAW bahwa diri beliau tidak pernah mengangkat tangan saat berdoa di luar istisqa'? Apakah Anas ra selalu mendampingi Rasulullah SAW sepanjang hidupnya? Yang bisa diterima adalah pernyataan yang bersifat istbat atau penetapan, bukan yang bersifat nafyi atau peniadaan.
2.      Kualitas Hadis
Mengenai kualitas kedua hadis di atas, dapat diketahui dengan cara melihat masing-masing derajat perawinya. Dari masing-masing nama perawi tersebut hampir seluruhnya tsiqoh, hanya saja ada dua perawi yang memilki derajat shuduq, yaitu Anas bin Malik dan Sa’id (pada hadis yang ke-dua), dan satu perawi yang maqbul yaitu qotadah bin ‘uwar. Oleh karena itu kedua hadis di atas dapat dikatakan sebagai Hadis Hasan, karena dari perawi tersebut ada yang memiliki derajat shuduq.
3.      Kuantitas Hadis
Hadis yang pertama, terdapat satu sahabat yang meriwayatkan hadis, yaitu Abi Musa Al-Asy'ari, sehinga dapat dikatakan sebagai Hadits Ghorib. Pada hadits yang ke dua, dengan melihat skema sanad dari jalur sahabat sampai ke tabi’in, hadis tersebut di mulai dari Rasulullah sampai ke Sa’id dapat dikatakan sebagai hadits Ghorib. Kemudian bercabang menjadi dua sehingga dapat di katakana sebagai hadits ‘Aziz yakni (Yahya dan Abi ‘Adiyy). Setelah cabang ini kembali ke hadits Ghorib yakni kepada Muhammad bin Basyyar.
Berdasarkan pengelompokan dua hadits di atas yang dilakukan dengan cara Al-Jam’u wa Al-Taufiq, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah ketika berdoa mengangkat kedua tangannya. Mengenai larangan mengangkat kedua tangan ketika berdoa pada hadits kedua ini kita perlu ketahui bahwasannya Annas bin Malik ini apakah selalu menemani Rasul ketika berdoa, selalu berada disamping Rasul setiap saatnya, atau apakah Anas bin Malik ini apakah benar-benar melihat Rasul ketika berdoa itu tidak mengangkat kedua tangannya kecuali ketika sholat Istisqa ?  
Pada pembahasan Fiqih Perbedaan oleh Ahmad Sarwat[4] bahwa, pernyataan Anas bin Malik, kalau beliau berkata pernah melihat Nabi berdoa dengan mengangkat tangan, kemungkinan besar pernyataan itu benar. Tapi kalau beliau mengatakan belum pernah melihat nabi SAW berdoa dengan mengangkat tangan, pernyataan itu benar untuk ukuran seorang Anas, tetapi tidak bisa diartikan bahwa memang Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya di dalam hidupnya. Apalagi ada hadits lainnya yang menjadi muqarin (pembanding), di mana secara tegas disebutkan bahwa beliau pernah melakukanya. Maka meski hadits itu shahih dan Anas ra pun juga tidak bohong, namun penyimpulan (istimbath) bahwa Nabi SAW tidak pernah berdoa dengan mengangkat kedua tangannya adalah penyimpulan yang kurang tepat. Sebagai tambahan, klau kita cermati lagi lebih dalam pada teks hadits Anas, di sana disebutkan bahwa Anas tidak pernah melihat nabi SAW berdoa dengan mengangkat tangan hingga ketiaknya terlihat. Titik tekannya pada kalimat 'hingga ketiaknya terlihat'. Boleh jadi yang dimaksud oleh Anas bin Malik adalah beliau tidak pernah melihat Nabi SAW berdoa di luar istisqa', dengan cara mengangkat kedua tangan dengan tinggi ke atas hingga kedua ketiaknya terlihat. Tetapi kalau sekedar mengangkat tangan biasa, tidak tinggi yang menyebabkan ketiak sampai terlihat, tidak termasuk dalam hadits ini. Maka boleh jadi, hadits Anas ini tidak melarang mengangkat tangan yang biasa saja. Hadits ini hanya melarang bila mengangkat tangannya sampai tinggi hingga ketiaknya terlihat.
Kira-kira demikian alur berpikir masing-masing ulama menurut Ahmad Sarwat . Setiap orang datang dengan hujjahnya dan hati bersihnya sekalian. Sehingga ketika pendapatnya disanggah oleh saudaranya, hatinya tetap suci. Para ulama itu tidak pernah marah atau tersinggung ketika ada ulama lain yang pendapatnya kurang sejalan. Sebaliknya, mereka justru saling menghargai, saling memuliakan dan saling belajar antara sesama mereka. Tidak saling menghujat atau memandang rendah. Sebab mereka adalah ulama yang sesuai dengan gelarnya, bukan sekedar merasa jadi ulama, tapi kemampuan terbatas. Terakhir, mungkin anda penasaran. Siapa saja sih para ulama yang membolehkan berdoa dengan mengangkat kedua tangan? Di antara mereka adalah :
a.        Al-Hafidz Ibnu Hajar, ulama yang menulis Fathul Bari, sebuah kitab yang menjadi syarah (penjelasan) atas kitab Shahih Bukhari. Di dalam kitab yang tebalnya berjilid-jilid itu, beliau mengutip begitu banyak pendapat para ulama tentang kesunnahan mengangkat tangan saat berdoa.
b.      Al-Imam An-Nawawi rahimahullah. Beliau di dalam kitab al-Majmu' Syarah al- Muhazzab menyebutkan bahwa mengangkat kedua tangan saat berdoa (di luar istisqa') hukumnya sunnah.
c.       Al-Imam Al-Qurthubi, ulama besar asal Cordova yang menulis kitab tafsir legendaris, al-Jami' li ahkamil Quran. Beliau sebenarnya tidak mengharuskan mengangkat tangan, namun beliau membolehkannya.
 Terakhir, marilah kita memandang masalah khilaf ini secara elegan dan dewasa serta luas wawasan. Sekarang ini sudah bukan zamannya lagi kita merasa benar sendiri dan mengklaim bahwa kebenaran itu hanya milik saya sendiri atau milik kelompok saya sendiri. Semoga Allah SWT memberikan taufiq, hidayah dan ilmu yang luas kepada kita semua dan menyatukan hati kita dalam iman.





[1] Shohih Bukhori. Fathul Bari dalam kitab Bad`ul Wahyiy. Juz 8. Hal. 92 yang di temukan dalam Maktabah Syamillah
[2] Shohih Bukhori. Fathul Bari dalam kitab Bad`ul Wahyiy. Juz 2. Hal. 39 yang di temukan dalam Maktabah Syamillah

[3] Ahmad Sarwat,. Lc. 2007.  Fiqih Perbedaan. Jakarta.Pdf. hal. 177

[4] Ahmad Sarwat,. Lc. 2007.  Fiqih Perbedaan. Jakarta.Pdf. hal. 180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post