Mengangkat Tangan Saat Berdoa
وَقَالَ أَبُو
مُوسَى الأَشْعَرِيُّ دَعَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ.[1]
“Dari Abi Musa Al-Asy'ari ra berkata, "Nabi
SAW berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya, hingga aku melihat putih kedua
ketiaknya." (HR Bukhari).
Imam Al-Bukhari menjelaskan bahwa, beliau meriyawatkan dari Abi Musa
Al-Asy'ari tentang penglihatan beliau atas diri nabi SAW yang sedang berdoa dan
mengangkat kedua tangannya. Bahkan sampai disebutkan bahwa saking tingginya
beliau mengangkat tangan, sampai-sampai kedua ketiaknya tampak terlihat dan
berwarna putih
- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ ،
حَدَّثَنَا يَحْيَى ، وَابْنُ أَبِي عَدِيٍّ ، عَنْ سَعِيدٍ ، عَنْ قَتَادَةَ ،
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي
الاِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
.[2]
Diriwayatkan kepada kami Muhammad bin Basysyar, diriwayatkan
kepada kami Yahya dan Ibn Abi ‘Adiyy, dari Sa’id, dari Qotadah, dari Anas bin
Malik r.a bahwa Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doanya, kecuali
dalam shalat istisqa'. Sesungguhnya beliau mengangkat kedua tanggannya hingga
terlihat putih ketiaknya."(HR Bukhari
Dalam penyelesaian dua hadis ini dapat dilakukan dengan metode al-Jam’u
wat- Taufiq, yaitu dengan mengumpulkan
dua hadis atau lebih yang secara tekstual tampak bertentangan, kemudian dari
dua hadis tersebut diambil titik tengah dan kesimpulan sehingga keduanya dapat
dimanfaatkan. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
1. Metode Al-Jam’u wa
Al-Taufiq
Dua hadis di atas secara tekstual tampak bertentangan, karena dilihat dari
pengertian hadis yang pertama Nabi Muhammad Saw., berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya, hingga aku melihat putih
kedua ketiaknya. Sedangkan pada hadis
yang ke-dua, mengangkat kedua tangan itu hanya dilakukan pada shalat istisqa’ saja.
Sehingga kalau dilakukan di luar itu, hukumnya tidak boleh
Untuk hadis yang pertama berkenaan dengan
sikap
Rasullullah ketika berdo’a dengan cara mengangkat kedua tangannya. Itu berarti hadits ini menyebutkan tentang teknis
berdoanya seorang hamba, yaitu dengan mengangkat kedua tangannya. Sedangkan
untuk hadis yang ke-dua, menjelaskan larangan mengangkat kedua tangan
ketika berdoa pada waktu apapun kecuali ketika melaksanakan sholat Istisqa.
Menurut Ahmad Sarwat,. dalam bukunya[3]
bahwa, para ulama menyimpulkan bukan karena haditsnya tidak shahih, namun
karena bentuk istimbathnya yang lemah. Kelemahan istimbathnya adalah bahwa
larangan itu semata-mata berdasarkan penilaian Anas bin Malik ra seorang, bahwa
nabi SAW tidak mengangkat tangannya saat berdoa kecuali saat istisqa'.
Penilaian ini kurang bisa dijadikan argumentasi, lantaran hanya klaim
seseorang. Apakah Anas bin Malik telah bertanya langsung kepada nabi SAW bahwa
diri beliau tidak pernah mengangkat tangan saat berdoa di luar istisqa'? Apakah
Anas ra selalu mendampingi Rasulullah SAW sepanjang hidupnya? Yang bisa
diterima adalah pernyataan yang bersifat istbat atau penetapan, bukan yang
bersifat nafyi atau peniadaan.
2. Kualitas Hadis
Mengenai kualitas kedua hadis di atas, dapat diketahui dengan cara melihat
masing-masing derajat perawinya. Dari masing-masing nama perawi tersebut hampir
seluruhnya tsiqoh, hanya saja ada dua perawi yang memilki derajat shuduq,
yaitu Anas bin Malik dan Sa’id (pada hadis yang
ke-dua), dan satu perawi yang maqbul yaitu qotadah bin ‘uwar. Oleh karena itu kedua hadis di atas dapat dikatakan sebagai Hadis Hasan,
karena dari perawi tersebut ada yang memiliki derajat shuduq.
3. Kuantitas Hadis
Hadis yang pertama, terdapat satu sahabat yang meriwayatkan hadis, yaitu Abi Musa Al-Asy'ari, sehinga dapat dikatakan
sebagai Hadits Ghorib. Pada hadits yang ke dua,
dengan melihat skema sanad dari jalur sahabat sampai ke tabi’in, hadis tersebut
di mulai dari Rasulullah sampai ke Sa’id dapat dikatakan sebagai hadits Ghorib.
Kemudian bercabang menjadi dua sehingga dapat di katakana sebagai hadits ‘Aziz
yakni (Yahya dan Abi ‘Adiyy). Setelah cabang ini kembali ke hadits Ghorib yakni
kepada Muhammad bin
Basyyar.
Berdasarkan pengelompokan dua hadits di atas yang dilakukan dengan cara
Al-Jam’u wa Al-Taufiq, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah ketika berdoa
mengangkat kedua tangannya. Mengenai larangan mengangkat kedua tangan ketika
berdoa pada hadits kedua ini kita perlu ketahui bahwasannya Annas bin Malik ini
apakah selalu menemani Rasul ketika berdoa, selalu berada disamping Rasul
setiap saatnya, atau apakah Anas bin Malik ini apakah benar-benar melihat Rasul
ketika berdoa itu tidak mengangkat kedua tangannya kecuali ketika sholat
Istisqa ?
Pada pembahasan Fiqih Perbedaan oleh Ahmad Sarwat[4] bahwa, pernyataan Anas bin Malik, kalau beliau
berkata pernah melihat Nabi berdoa dengan mengangkat tangan, kemungkinan besar
pernyataan itu benar. Tapi kalau beliau mengatakan belum pernah melihat nabi
SAW berdoa dengan mengangkat tangan, pernyataan itu benar untuk ukuran seorang
Anas, tetapi tidak bisa diartikan bahwa memang Rasulullah SAW tidak pernah
melakukannya di dalam hidupnya. Apalagi ada
hadits lainnya yang menjadi muqarin (pembanding), di mana secara tegas
disebutkan bahwa beliau pernah melakukanya. Maka meski hadits itu shahih dan
Anas ra pun juga tidak bohong, namun penyimpulan (istimbath) bahwa Nabi SAW
tidak pernah berdoa dengan mengangkat kedua tangannya adalah penyimpulan yang
kurang tepat. Sebagai tambahan, klau kita cermati lagi lebih dalam pada teks
hadits Anas, di sana disebutkan bahwa Anas tidak pernah melihat nabi SAW berdoa
dengan mengangkat tangan hingga ketiaknya terlihat. Titik tekannya pada kalimat
'hingga ketiaknya terlihat'. Boleh jadi yang dimaksud oleh Anas bin Malik
adalah beliau tidak pernah melihat Nabi SAW berdoa di luar istisqa', dengan
cara mengangkat kedua tangan dengan tinggi ke atas hingga kedua ketiaknya
terlihat. Tetapi kalau sekedar mengangkat tangan biasa, tidak tinggi yang
menyebabkan ketiak sampai terlihat, tidak termasuk dalam hadits ini. Maka boleh
jadi, hadits Anas ini tidak melarang mengangkat tangan yang biasa saja. Hadits
ini hanya melarang bila mengangkat tangannya sampai tinggi hingga ketiaknya
terlihat.
Kira-kira demikian alur berpikir masing-masing ulama menurut Ahmad
Sarwat . Setiap orang datang dengan hujjahnya dan hati bersihnya sekalian.
Sehingga ketika pendapatnya disanggah oleh saudaranya, hatinya tetap suci. Para
ulama itu tidak pernah marah atau tersinggung ketika ada ulama lain yang
pendapatnya kurang sejalan. Sebaliknya, mereka justru saling menghargai, saling
memuliakan dan saling belajar antara sesama mereka. Tidak saling menghujat atau
memandang rendah. Sebab mereka adalah ulama yang sesuai dengan gelarnya, bukan
sekedar merasa jadi ulama, tapi kemampuan terbatas. Terakhir, mungkin anda
penasaran. Siapa saja sih para ulama yang membolehkan berdoa dengan mengangkat
kedua tangan? Di antara mereka adalah :
a. Al-Hafidz Ibnu Hajar, ulama yang
menulis Fathul Bari, sebuah kitab yang menjadi syarah (penjelasan) atas kitab
Shahih Bukhari. Di dalam kitab yang tebalnya berjilid-jilid itu, beliau
mengutip begitu banyak pendapat para ulama tentang kesunnahan mengangkat tangan
saat berdoa.
b. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah. Beliau di dalam kitab al-Majmu' Syarah
al- Muhazzab menyebutkan bahwa mengangkat kedua tangan saat berdoa (di luar
istisqa') hukumnya sunnah.
c. Al-Imam Al-Qurthubi, ulama besar asal Cordova yang menulis kitab tafsir
legendaris, al-Jami' li ahkamil Quran. Beliau sebenarnya tidak mengharuskan
mengangkat tangan, namun beliau membolehkannya.
Terakhir, marilah kita memandang
masalah khilaf ini secara elegan dan dewasa serta luas wawasan. Sekarang ini
sudah bukan zamannya lagi kita merasa benar sendiri dan mengklaim bahwa
kebenaran itu hanya milik saya sendiri atau milik kelompok saya sendiri. Semoga
Allah SWT memberikan taufiq, hidayah dan ilmu yang luas kepada kita semua dan
menyatukan hati kita dalam iman.
[1]
Shohih Bukhori. Fathul Bari dalam kitab
Bad`ul Wahyiy. Juz 8. Hal. 92 yang di temukan dalam Maktabah Syamillah
[2]
Shohih Bukhori. Fathul Bari dalam kitab
Bad`ul Wahyiy. Juz 2. Hal. 39
yang di temukan dalam Maktabah Syamillah
[3]
Ahmad Sarwat,. Lc. 2007. Fiqih Perbedaan. Jakarta.Pdf. hal. 177
[4]
Ahmad Sarwat,. Lc. 2007. Fiqih Perbedaan. Jakarta.Pdf. hal. 180
Tidak ada komentar:
Posting Komentar