Senin, 09 Mei 2016

Syiah dan Sunni



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang kaya dengan makna. Karena saking kayanya, setiap orang bisa memaknai al-Qur’an secara berbeda-beda, sesuai latar belakang sosial dan latar belakang pengetahuannya. Sehingga pantaslah jika Abdullah Darraz men-tamsilkan al-Qur’an ibarat permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya.[1]Begitu juga al-Qur’an, setiap sudutnya memancarkan makna yang demikian mendalam.
Jika hal tersebut dikorelasikan dengan tradisi penafsiran al-Qur’an kontemporer (dalam hal ini hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan realitas) maka wajar jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu membawa latar belakang yang berbeda. Akibatnya al-Qur’an pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
Keragaman penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut dipengaruhi oleh latar belakang para mufassir baik dari segi keilmuan maupun dari segi keberadaan sosial masyarakatnya. Quraish sihab menjelaskan ada berbagai macam corak penafsiran diantaranya ialah corak filsafat dan teologi.[2] Maka kemudian muncullah penafsiran dari berbagai aliran teologi seperti yang akan kita bahas kali ini ialah tafsir sunny, dan tafsir Syiah.

2.      RumusanMasalah
1.      Bagaimana metode yang digunakan dan bentuk Tafsir Ahlus sunnah (sunny)?
2.      Siapa saja tokoh Tafsir Ahlus sunnah (sunny) berikut karyanya?
3.      Bagaimana metode yang digunakan dan bentuk Tafsir Syiah?
4.      Siapa saja tokoh Tafsir Syiahberikut karyanya?

B.Tujuan
1.      Mengetahui  metode yang digunakan dan bentuk Tafsir Ahlus sunnah (sunny).
2.      Mengetahui tokoh Tafsir Ahlus sunnah (sunny) berikut karyanya.
3.      Mengetahui metode yang digunakan dan bentuk Tafsir Syiah.
4.      Mengetahui tokoh Tafsir Syiah berikut karyanya.










                                                 







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Bentuk dan Metode Tafsir sunni[3]
Ahlusunnah adalah penganut atau pengikut sunnah nabi Muhammad SAW, sedangkan jama’ah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlus sunnah wal jama’ah mengandung arti penganut I’tikad/sunnah nabi dan para sahabat beliau.
Para penganut sejarah mensinyalir bahwa Abdullah Bin Umar dan Abdullah Ibnu Abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat islam dalam satu jama’ah (Ahlusunnah wal jama’ah). Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang senantiasa memelihara sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Bahkan saat terjadi perebutan kekuasaan Khalifah Ali bin Abu Thalib oleh Muawiyah, keduanya tidak masuk dalam perselisihan. Mereka memilih hidup zuhud dan memfokuskan diri dalam ibadah-ibadah untuk dekat (taqarub) kepada Allah ‘azza wajalla. Sikap muderat itulah yang kemudian menjadi ciri teologi Ahlus sunnah wal jama’ah atau sunni.
Menurut Nurdholis Madjid, istilah ahlus sunnah baru muncul pada kekuasaan daulah Abbasiyah pimpinan Abu Ja’far Al-masur (137-159 H/754 – 755 M ) dan Harun Al Rasyid (170 – 194 H/785 – 809 M), yakni pada saat Abu Hasan Al Asy’ariyah (260 – 324 H/873 – 935 M) yang beraliran Asy’ariyah dan Mansur Muhammad (w.944 M) yang beraliran Maturidiyah mereka berdua mengaku berfaham mazhab ahlus sunnah.
Menurut Abdul Hadi Awing, mereka yang disebut ahlus sunnnah wal jama’ah adalah yang mengakui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah, mengakui para pemimpin islam Khulafaur Rasyidin dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As Sunnah. Generasi pertama ahlus sunnah adalah para sahabat Rasulullah SAW, Tabi’in dan setelah tabi’in yang dikenal dengan sebutan shalaf. Generasi selanjutnya adalah para ulama di aliran maturidiyah dan al-asy’ariayah serta para ulama fiqih seperti Ahmad bin Hambal (w. 241 H) Abu Hanifah, Malik bin Anas (w. 178 H) Imam Asy’ariyah, Imam Sufyan As-Syari, dll.
Keberadaan aliran ahlus sunnnah wal jama’ah mulai kelihatan pengaruhnya saat mendapatkan dukungan dari kekuasaan daulah Abbasiyah yang dipimpin oleh Al-Mutasyim yang tidak ketat dalam persoalan aliran teologi. Untuk memperlihatkan dukungannya khalifah al-mutawakil yang menjabat setelah al-mutashim, membebaskan Ahmad bin Hambal dari tahanan dan menyatakan mu’tazilah sebagai aliran terlarang. Bahkan pejabat-pejabat yang masih beraliran mu’tazilah diharuskan bertobat dan masuk ke aliran ahlus sunnah. Apabila masih bersikeras, maka tak segan-segan mereka disiksa hingga menyatakan keluar dari keyakinanya.
Atas dasar ini, tak ada aliran dalam Islam yang mampu menghindarkan diri dari mekanisme ta’wil dalam arti yang luas, termasuk aliran yang mengaku paling murni sekalipun.Maksud ta’wil dalam arti yang luas adalah seperangkat mekanisme di lingkungan tafsir yang dipergunakan untuk mengatasi teks-teks yang tampak tak sejalan-harmonis.Mekanisme ini bisa berbentuk majâz, ta’wîl, sistematika tarjîh, isyârî, dan lain sebagainya.Tafsîr bil ma`tsur, seperti tafsirnya ibnu Katsîr, yang acap disangka tak membutuhkan mekanisme ta’wil tersebut pada hakikatnya penuh dengannya. Untuk meletakkan hadîts dan atsar pada ayat-ayat tertentu misalnya, dibutuhkan seperangkat metode yang dapat diukur, dan itu tak lain adalah mekanisme ta’wil itu tadi. Juga kesadaran linguistik, alwa’yu allughawî,  untuk tidak menerima majâz sebagai bagian dari ta’wil sejatinya adalah bagian dari ta’wil itu sendiri, mirip dengan ungkapan ‘adamul idrâki huwa idrâkun
Demi menghindari perdebatan devinisi apa itu suni dan sufi , kita menerima begitu adanya sebuah “rumah besar” yang sering diasumsikan menaungi keluarga besar Sunni, tanpa melihat kamar-kamar yang ada di dalamnya, yang boleh jadi tersekat antara satu dengan lainnya, hingga pada posisi diametral. Rumah besar ini lazimnya dihadapkan pada rumah lain yang berseberangan, yang ditinggali oleh Syî’ah, Mu’tazilah, Khawârij, dan lain sebagainya. Dengan demikian, Sunni yang dimaksud di sini adalah kelompok besar yang mencakup salafî, kalâmî asy’arî-mâturidî, dan shûfî-sunnî (untuk membedakannya dari shûfî-falsafî seperti Ibn ‘Arabî).Perselisihan faham teologis diantara shûfî-sunnî dan salafî, yang biasanya berujung pada klaim paling berhak menyandang gelar sunni misalnya, tak perlu diangkat.
Dengan memasukkan unsur tafsir pada pemetaan ini, bisa kita kemukakan, bahwa dalam tradisi Sunni terdapat tiga aliran tafsir: ittijâh salafî, ittijâh kalâmî, dan ittijâh shûfî. Termasuk aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsîr, dan termasuk aliran yang kedua adalah Attafsir al-Kabîr-nya Fakhrur Râzî, sementara diantara tafsir yang ketiga adalah Lathâiful Isyârât-nya Imam Al-Qusyairî. Menilik posisi aliran-aliran ini yang berada di rumah besar Sunni, sudah barang tentu mereka memiliki garis besar metode yang sama, misalnya tafsîrul Qur`ân bil Qur`ân, bil hadîts, bi aqwâlish shahâbah, bi aqwâlittâbi’îin, dan billughah yang mencakup misalnya: makna lafadz yang ditafisiri harus sesuai dengan bahasa Arab; al-Qur’an harus ditafsirkan dengan yang umum dalam bahasa; dalam menentukan makna harus sesuai dengan konteks (assiyâq); dalam menafsirkan harus memperhatikan
Termasuk aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsîr, dan termasuk aliran yang kedua adalah Attafsir al-Kabîr-nya Fakhrur Râzî, sementara diantara tafsir yang ketiga adalah Lathâiful Isyârât-nya Imam Al-Qusyairî. Menilik posisi aliran-aliran ini yang berada di rumah besar Sunni, sudah barang tentu mereka memiliki garis besar metode yang sama, misalnya tafsîrul Qur`ân bil Qur`ân, bil hadîts, bi aqwâlish shahâbah, bi aqwâlittâbi'îin, dan billughah yang mencakup misalnya: makna lafadz yang ditafisiri harus sesuai dengan bahasa Arab; al-Qur'an harus ditafsirkan dengan yang umum dalam bahasa; dalam menentukan makna harus sesuai dengan konteks (assiyâq); dalam menafsirkan harus memperhatikan situasi sabab nuzûl dan alur cerita (qishshah); mendahulukan ma'na syar'î ketimbang ma'na ‘urfî; dan lain sebagainya.
Ini berbeda misalnya dari tafsir-tafsir di luar tradisi Sunni yang tak menerima semua konsep-konsep tafsir di muka secara sempurna. Syiah misalnya, tak menerima hadits-hadits yang ditransmisikan melalui sanad Sunni, walau konsep dasarnya mengenai tafsîr bil ma`tsûr sama.
Di luar kesamaan-kesamaan metode di atas, aliran-aliran Sunni juga memiliki sejumlah perbedaan, terutama menyangkut tafsîr birra'yi. Misalnya pendekatan aliran kalâmî terhadap ayat-ayat shifâtiyah, yang ditolak keras oleh aliran salâfî. Imam Fakhrur Râzî yang dianggap sebagai mufassir yang berhasil menyuguhkan teks-teks al-Quran sebagai hidangan teologis Asy'ariyah menjadi sorotan tajam aliran Salafî. Ibn Taimiyah, pentolan aliran ini, bahkan menyampaikan grundelannya terhadap attafsîr al-kabîr anggitannya: "fîhi kullu syai'in illâ attafsîr", tafsir tersebut memuat segala hal kecuali tafsir itu sendiri. Contoh lain adalah pendekatan isyârî yang dikenalkan oleh aliran shûfî-sunnî, yang bukan saja ditolak oleh aliran salafî, tapi juga oleh sejumlah kalangan dari aliran kalâmî.
Tafsir isyârî adalah tafsir yang menta'wili ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan apa yang dzahir, melalui petunjuk dari isyarat-isyarat esotoris yang hanya diberikan kepada mereka yang telah sempurna dalam meniti jalan menuju Allah SWT. Model penafsiran ini murni mengandalkan ilham dari Allah SWT. tanpa terikat secara ketat dengan logika bahasa, keselarasan konteks, dan dukungan premis-premis ilmiah. Dalam hal ini, seorang mufassir diwajibkan untuk selalu mengisi hatinya hanya dengan dzikir Allah SWT, sehingga saat ia membaca Al-Quran Allah membuka hatinya untuk menerima pencerahan-pencerahan baru yang terkandung di dalam isyarat-isyaratnya. "Wa'allamnâhu milladunnâ ‘ilmâ". QS. Al-Kahfi : 65. Sahl Attustarî (200-283 H.) , seorang sufi kenamaan, saat membaca ayat 22 QS Al-Baqarah[3], seperti mendapat ilham dari ‘âlamul malakût, bahwa andâd terbesar adalah hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan, menyimpang dari tafsir dzharinya yang adalah berhala-berhala sesembahan orang-orang kafir. Dengan menafsiri andâd dengan nafs ammârah, Attustarî tidak bermaksud menafikan makna dzharinya tersebut, akan tetapi itu hanya sebagai "tafsir lain" yang ditimpakan ke dalama hatinya melalui penghampiran total kepada Allah SWT.
Tafsir isyârî atau faidhî yang lahir dalam tradisi tasawwuf sunnî demikian ini sangat problematis. Di satu sisi ia terpancarkan dari hati bening para peniti jalan kesucian, akan tetapi pada sisi lain ia seperti melahirkan logika bahasa baru yang mustahil tersentuh oleh pengalaman normal. Imam An-Nasafî, penganut tradisi tafsîr kalâmî, mengecam model penafsiran tersebut, karena telah menarik lafadz-lafadz al-Quran dari habitat dzahirnya. Menurut dia, menggeser lafadz al-Quran dari konteks dzahirnya adalah bentuk ilhâd.
Selain pemetaan salafî-kalâmî-shûfî, tradisi tafsir sunni juga terkelompokkan dalam sejumlah corak atau warna tafsir. Sebut saja misalnya, tafsîr fiqhî, tafsîr lughowî, tafsîr adabî, tafsir ijtimâ'î-hudâ`î, dan tafsîr ‘ilmî. Tafsîr fiqhî adalah salah satu tafsir yang paling mulus dan tak banyak dipersoalkan. Jika ta'wil hanya berarti mencari tahu hukum Allah (ta'wîl fiqhî) pada semua kasus yang terjadi di muka bumi, maka hampir pasti semua aliran sunni tak akan mempermasalahkan legalitasnya. Dalam khazanah sunni, tak ada satu aliran pun yang berani menarik diri dari keterkaitan dengan hukum syar'î, sehingga ta'wîl fiqhî dengan demikian mutlak diperlukan. Dan untuk memenuhi kebutuhan ini, sejumlah tafsîr fiqhî telah lahir, seperti Ahkâmul Qur`ân karya Ibn al-‘Arabî dan Ahkâmul Qur`ân karya al-Jashshâs.
Tafsîr lughawî lahir dari satu kenyataan bahwa al-Quran diturunkan melalui media bahasa Arab yang jelas. "dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas." QS. Asy-Syu'arâ`:193-195. Sehingga untuk memahaminya diperlukan penguasaan yang sangat baik terhadap tatabahas dan kosakata Arab. Ini adalah syarat mutlak bagi mufassir. Di sinilah kemudian lahir buku-buku tafsir yang banyak atau bahkan khusus membahas sintaksis dan morfologi Arab. Sebut misalnya Ma'ânil Qur`ân, karya Imam Al-Farrâ', Ma'ânil Qur`ân karya Az-Zajjâj, Addurrul Mashûn karya Assamîn al-Halabî, dan lain sebagainya.
Tafsîr adabî adalah bentuk pertanggungjawaban ulama-ulama Islam untuk menjelaskan nilai sastra al-Quran yang diyakini mengandung i'jâz. Corak tafsir ini banyak dielaborasi oleh kalangan Mu'tazilah seperti Al-Jahidz (163-255 H.), ar-Rummânî (296-384 H.) dan al-Marzabânî (297-394 H.), yang pada generasi belakangan lahirlah al-Kasysyâf-nya Imam az-Zamakhsyarî (467-538 H.). Belakangan, generasi Sunni juga merambah wilayah ini, seperti Imam al-Bâqilânî (328-402 H.), Abdul Qâhir al-Jurjânî (w. 471 H.), dan kemudian generasi Imam Baidlowî (w. 685 H.) yang mengintisarikan kandungan sastra tafsîr al-Kasysyâf dengan membuang teologi i'tizîli-nya. Dan di era modern, corak adabî ini dielaborasi lebih mendalam oleh Amîn al-Khoulî (1895-1966 M.) dengan asumsinya bahwa al-Quran adalah karya sastra, sebelum merupakan yang lainnya. Kata dia, "Al-Qur`ân huwa kitâbul ‘arabiyah al-akbar", al-Quran adalah karya sastra adi agung. Ia adalah milik umum bangsa Arah, sebelum merupakan petunjuk bagi umat Islam. Dengan ini, al-Quran mutlak harus didekati dengan teori-teori sastra dan linguistik. Sebagai pengampu matakuliah sastra Arab di Cairo University, pengaruhnya sangat besar di Mesir yang saat itu merupakan kiblat akademik di Arab. Bola ilmiah yang ia gulirkan terus menggelinding, lalu ditangkap oleh dua arus: arus klasik, dan arus modern-sekuler. Yang pertama diwakili oleh istrinya, Binti asy-Syâthi' (1912-1998 M.) yang menelurkan terori tafsîr bayânî, dan yang kedua diwakili oleh muridnya, Muhammad Ahmad Khalafullâh (1904-1983 M.) yang menelurkan tinjauan sastra terhadap kisah-kisah al-Qur'an, al-Fann al-Qashashî fil-Qur`ân al-Karîm. Yang keterakhir ini kemudian semakin berkembang hingga menarik al-Quran pada wilayah linguistik modern seperti semiotika, semantika, dan hermeneutika yang oleh banyak pakar Sunni dianggap telah keluar dari "rumah besar Sunni".
Tafsîr ijtimâ'i-hudâ`î yang dipelopori oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M.) ini muncul dari keresahan melihat tafsir-tafsir yang berkembang hingga saat itu, di mana pesan-pesan al-Quran sebagai petunjuk (hudan) seperti tenggelam dalam lautan pembahasan tatabahasa, balaghah, ilmu kalam, dan falsafat yang melingkupi teks-teks al-Quran.
Tafsîr ‘ilmî, atau tafsir saintifik, dibangun diatas keyakinan bahwa agama yang benar dan ilmu pengetahuan adalah dua saudara yang saling membantu menuju yang haqq. Agama yang benar termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat Qur'âniyah, sementara ilmu pengetahuan termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat kawniyah. Keduanya tak mungkin saling bertentangan, karena sama-sama diciptakan oleh Allah SWT. yang Maha Mengetahui. Barangkali orang pertama yang mengenalkan corak tafsir seperti ini adalah Imam al-Ghazâlî (w. 520 H.) dalam bukunya, Jawâhirul Qur`ân
B.     Tokoh dan karyanya tafsir Sunni[4]
1.      Abu Hasan Al Asy’Ari
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Abi Musa Al Asy’ari. Ia dilahirkan di kota Basrah pada tahun 260 H/875 M dan wafat tahun 324/953 M dalam usia 46 tahun ketika hijrah ke kota Baghdad.
    Hasil karya Abu Hasan Ali Asy’ari.
Beliau termasuk ulama besar, ahli bahasa, ahli fiqih, tafsir, hadis dan ilmu tauhid yang lebih di dalamnya. Karya Tulisnya banyak diantaranya dibidang teologi Islam yang menjadi pegangan dan merupakan titik tolak pengembangan madzhab, yang antara lain:
a)   Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaf al Mushallin.
Kitab ini disusun beliau sebelum keluar dari mu’tazilah dan berisi paham golongan umat islam dan beberapa permasalahan dalam ilmu kalam.
b)   Al-ibanah’an Ushul ad-Dinayah.
Isinya pokok-pokok pikiran akidah ahlus sunnah. Al Luma’, kitab ini berisikan pula pokok pikiran ahlus sunnah dalam ilmu kalam dan menyoroti beberapa bantahan lawan.
2.    Abu Mansur Al-Maturidi
a.    Riwayat hidup Abu Mansur Al-Maturidi
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Muhammad Abu Mansur, ia lahir di Matured sebuah kota kecil di Samarkand sekarang daerah Suryet/Uzbekistan tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, (diperkiraan pertengahan abad ke-3 H. dan wafatnya 333H/944 M). Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi (W. 286H). Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun (232-274/847-861 M).
C.    Bentuk dan Metode Tafsir Syi’ah
 Syî’ah berasal dari bahasa arab, artinya pengikut atau golongan kata jamaknya adalah Syiya’un. Dari Syî’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra. Adalah orang yang berhak menjadi kholifah menggantikan Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan kholifah Abu Bakkar as-Siddik, Umar bin Kattab, Utsman bin Affan adalah penggasab (perampas) kedudukan kholifah.[5] 
Dalam paham syiah terdapat banyak golongan dan sekte sebagian dari mereka telah melewati dan melampaui batas dalam menunjukkan siap kasih sayang kepada Ali bin Abi Tholib. Sebagian lagi dipengaruhi oleh doktrin mereka dan sebagian lainnya bersikap moderat. Sikap objektif yang ada pada kelompok ini memunculkan paham bahwa segala sesuatu yang baik akan dikaitkan dengan apa yang mereka yakini bahkan tidak segan menganggap buruk hal yang berlawanan dengan pemikirannya.[6]
Kelompok ini ada yang mendukung Ali ra namun tidak mengkritik kholifah sebelum Ali ra (Abu Bakar, Umar dan Utsman). Sementara sebagian lain tidak senang dan menganggap kholifah yang tiga itu sesat. Karena dianggap telah merampas hak Ali ra.[7] Hal demikian juga terlihat dalam beberapa penafsiran mereka dalam ayat al- Qur’an. Contohnya dalam menafsirkan QS. Adz-Dzariyat:8-9 dan QS.An-Naba’:1-3:
ö/ä3¯RÎ) Å"s9 5Aöqs% 7#Î=tGøƒC ÇÑÈ 7sù÷sムçm÷Ztã ô`tB y7Ïùé& ÇÒÈ 
“Sesungguhnya kamu benar-benar dalam Keadaan berbeda pendapat[8], dipalingkan daripadanya (Rasul dan Al-Quran) orang yang dipalingkan.”( QS. Adz-Dzariyat:8-9)
Penafsiran Syi’ah mengenai ayat ini menyatakan bahwa siapa yang jujur , terusterang dan setia pada wilayah Ali ra. Dia akan masuk syurga dan barang siapa yang tidak setuju dengan wilayah Ali ra. Maka akan masuk neraka. Menurut penafsiran mereka ungkapan ayat diatas mengacu kepada Ali ra.
§Ntã tbqä9uä!$|¡tFtƒ ÇÊÈ   Ç`tã Î*t6¨Z9$# ÉOÏàyèø9$# ÇËÈ   Ï%©!$# ö/ãf ÏmÏù tbqàÿÎ=tGøƒèC ÇÌÈ
“Tentang Apakah mereka saling bertanya-tanya?. Tentang berita yang besar[9].Yang mereka perselisihkan tentang ini.”(QS.An-Naba’:1-3)
Ulama madzhab syiah menafsirkan pernyataan al-Qur’an ini. Mereka mengemukakan bahwa Ali bin Abi Tholib di ceritakan telah menyatakan kepada sahabat-sahabatnya: “Demi Allah saya adalah berita benar, dimana semua bangsa berbeda bahasa mereka, demi allah berita untuk Allah lebih besar dari pada untuk saya dan tidak, demi Allah tidak ada tanda yang lebih besar dari pada saya”.[10]
Penafsiran ini terlihat aneh dan tentu saja keliru ia bertentangan dengan riwayat lain. Akan tetapi penafsiran ini didasarkan pada diroyah atau ra’yu (pikiran), atau  isyarat (indikasi). Namun bagi para mufassir ahlu sunnah wal jama’ah penafsiran yang demikian dianggap sesat, aneh, asing dan salah. Penafsiran ini juga dikontradisi, baik dengan makna eksternal (lahir) dan leksikal (bahasa).[11]
Merujuk  pada kajian yang dilakukan Rosihon Anwar, secara umum, corak tafsir Syi’ah adalah tafsir simbolik (menekankan pada aspek batin al-Qur’an) Dalam khazanah Ulum al-Qur’an, tafsir seperti ini biasa dikenal dengan tafsir bathini. Al-Dzahabi menyebut tafsir simbolik dengan ungkapan al-tafsir al-ramzi, sedangkan Habil Dabashi menggunakan istilah tafsir esoterik. Kalangan Syi’ah lebih menekankan penafsirannya pada aspekbatin al-Qur’an. Pengklasifikasian al-Qur’an menjadi dua bagian, aspek lahir dan aspekbatin, merupakan prinsip terpenting dalam penafsiran Syi’ah, terutama Syi’ah Imamiyah. Bahkan, aspek batin dianggap mereka sebagai aspek yang lebih kaya dari pada aspek lahir.[12]
Adapun metode yang dipakai kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-Qur’an, beragam. Setiap aliran dalam Syi’ah berbeda metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Tapi secara umum, seperti dikemukakan Rosihon Anwar, metode yang umum dipakai kalangan Syi'ah, ialah memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode takwil.[13]
D.    Tokoh-tokoh Tafsir Syi’ah dan Karya-karyanya[14]
Prof. Dr. Abubakar Aceh, menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai ahli tafsir pertama dari kalangan Syi’ah, karena memang beliau diklaim sebagai imam Syi’ah, pewaris utama Rasulullah. Tidak itu saja, beliau juga dianggap sebagai ahli tafsir pertama di dunia Sunni. Selanjutnya, muncul Ubay bin Ka’ab (w. 30 H) dan Abdullah bin Abbas (w. 68 H). Abdullah bin Abbas, yang biasa dipanggil dengan Ibnu Abbas memiliki karya tafsir, yaitu Tafsir Ibnu Abbas. Tafsir ini sering digunakan di dunia Syi’ah. Kedua tokoh ini disebut oleh Imam al-Suyuthi, dalam kitab al-Itqan, sebagai sepuluh ahli tafsir dari sahabat kurun pertama. Adapun dari kalangan tabi’in, di antaranya Maisam bin Yahya al-Tamanar (w. 60 H), Sa’id bin Zubair (w. 94 H), Abu Saleh Miran (w. akhir abad I H), Thaus al-Yamani (w. 106 H), Imam Muhammad al-Baqir (w. 114 H), Jabir bin Yazid al-Ju’fi (w. 127 H), dan Suda al-Kabir (w. 127 H). Yang terakhir sebenarnya bukan ulama dari kalangan Syi’ah. Tetapi beliau sangat menguasai seluk-beluk tentang Syi’ah.
Selanjutnya, ahli tafsir Syi’ah secara umum, dalam arti bukan hanya dari kalangan Syi’ah (insider) tapi juga dari luar Syi’ah (outsider), di antaranya Abu Hamzah al-Samali (w. 150 H), Abu Junadah al-Saluli (w. pertengahan abad 2 H), Abu Ali al-Hariri (w. pertengahan abad 2 H), Abu Alim bin Faddal (w. akhir abad 2 H), Abu Thalib bin Shalat (w. akhir abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w. akhir abad 2 H), Abu Utsman al-Mazani 9w. 248 H), Ahmad bin Asadi (w. 573 H), Al-Fattal al-Syirazi (w. 984 H), Jawad bin Hasan al-Balaghi (w. 1302 H), dan lain-lain.
Ada juga ulama yang menulis tafsir dengan topik-topik tertentu, seperti al-Jazairi (w.1151 H) dalam bidang hukum, al-Kasai (w.182 H) tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abul Hasan al-Adawi al-Syamsyathi (w.awal abad IV H) menulis tentang gharib al-Qur’an, Muhammad bin Khalid al-Barqi (w.akhir abad 2 H) menulis tentang asbab al-nuzul, Suduq bin Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang nasikh-mansukh, dan Ibnu al-Mutsanir (w. 206 H) menulis tentang majaz.
Sementara itu, Ignaz Goldziher menganggap Imam al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M) sebagai ulama yang pertama kali meletakkan dasar-dasar madzhab Syi’ah. Beliau menulis kitab tafsir. Sayang kitab tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali melalui cerita sepotong-sepotong. Selanjutnya, Goldziher hanya mampu menyebutkan kitab tafsir Syi’ah sejak abad ketiga hijriyah. Di antaranya, yang paling tua adalah kitab Bayan al-Sa’adat fi Maqam al-Ibadah karya al-Sulthan Muhammad bin Hajar al-Bajakhti. Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M. Pada abad keempat hijriyah muncul karya tafsir Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi. Sejak saat itulah, menurut Goldziher, bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan Syi’ah. Salah satunya adalah kitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan terdiri dari 20 bagian karya ulama besar Syi’ah, Abu Ja’far al-Thusi (460 H/1068 M).
Kemudian, Muhammad Husain al-Dzahabi menyebutkan beberapa karya tafsir Syi’ah secara lebih gamblang. Dari kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyara di antaranya tafsir karya al-Hasan al-‘Askari (w. 254 H), tafsir Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad bin ‘Iyasy al-Silmi al-Kufi (w. abad ke-3 H), tafsir 'Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. awal abad IV H), al-Tibyan karya Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan bin 'Ali al-Thusi (w. 460 H), Majma’ al-Bayan karya Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi (w. 538 H), al-Shafi karya Mala Muhsin al-Kasyi, Mir-at al-Anwar wa Misykat al-Asrar karya Abdul Lathif al-Kazirani, Tafsir al-Qur’an karya Abdullah bin Muhammad Ridla al’Alawi (w. 1242 H), Bayan al-Sa’adah fi Maqamat al-‘Ibadah karya Sulthan bin Muhammad bin Haidar al-Khurasani (w. abad XIV H), dan Ala-u al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Jawad bin Hasan al-Najafi (w. 1352 H).
Dari kalangan Syi’ah Imamiyah Isma'iliyah atau Bathiniyah, baik Mutaqadimin maupun Mutaakhirin, Imam al-Dzahabi tidak menyebutkan secara jelas karya tafsir yang muncul. Begitu juga dari kalangan Syi’ah Babiyah dan Bahaiyah. Karena memang dari tiga aliran Syi'ah ini tidak banyak kitab tafsir yang dijumpai, disebabkan ulama dari kalangan ini tidak memfokuskan diri mengarang kitab tafsir.
Selanjutnya, dari kalangan Syi’ah Zaidiyah ada beberapa karya tafsir. Di antaranya Gharib al-Qur’an karya Imam Zaid bin Ali, al-Tahdzib karya Muhsin bin Muhammad bin Karamah al-Zaidi (w. 464 H), al-Taisir fi al-Tafsir karya Hasan bin Muhammad al-Nahawi al-Zaidi (w. 791 H), tafsir Ibn al-Aqdlam, Tafsir Ayat al-Ahkam karya Hasan bin Ahmad al-Najari, Muntaha al-Maram karya Muhammad bin al-Hasan bin al-Qasim, dan Fath al-Qadir karya al-Syaukani (w. 1250 H).






BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: Tafsir Ahlusunnah adalah tafsir penganut sunnah nabi, sedangkan jama’ah berarti sahabat nabi jadi, Ahlusunnah waljama’ah adalah golongan penganut I’tikad / sunnah nabi dan para sahabat beliau.
Tokoh utama Ahlusunnah waljama’ah ialah Abu Hasan Al-Asy’ari, kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Abu Mansur Al-Maturudi. Perbeaan pendapat al-Sy’aridan al-Maruridi mengenai masalah: iman, sifat Tuhan, qada dan qadar, dan pelaku dosabesar.
Realitas apapun yang terjadi dalam penafsiran al-Qur'an di kalangan Syi'ah, patut kita hargai, bahwa kelompok ini telah memberikan sumbangan yang begitu besar dalam khazanah tafsir al-Qur'an di dunia Islam. Setidaknya, kita bisa mengambil sesuatu yang baik dari mereka untuk kita kembangkan, dalam rangka mencari metode yang sesuai dalam menafsirkan al-Qur'an. Dan adapun ada metode mereka yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran yang selama ini kita kenal, bisa kita jadikan cermin, supaya kita tidak terjerumus ke lubang yang sama. Bukankah Rasulullah saw. telah mewasiatkan, khudz ma shafa wa da' ma kadar, “ambillah sesuatu yang baik dan tinggalkanlah sesuatu yang buruk”.












[1]  M. QuraishShihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992)
[2]  Ibid. Hlm 73.
[4] Ibid.
[5] A.Nasir, Sahilun. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah Ajaran dan perkembangannya. Cet-1, Jakarta Rajawali Pers, hlm.72.
[6]  Thameem Ushama. 2000. Metodologi Tafsir Al-Qur’an: kajian Kritis, Objektif dan komprehensif.terj. Hasan Bisri & Amroeni. Jakarta: Rior Cipta, hlm.42-43.
[7]  Ibid. Hlm, 43-44.
[8]  Maksudnya berbeda Pendapat antara kaum musyrikin tentang Muhammad SAW dan Al-Quran. Namun tidak demikian menurut pandangan Syi’ah
[9] Yang dimaksud dengan berita yang besar ialah berita tentang hari berbangkit. Hal ini pun berbeda dengan pandangan syiah.
[10] Ibid, hlm. 44
[11] Ibid, hlm. 45
[12]  Lihat makalah berjudul “Teori dan Metodelogi Tafsir Ahlus Sunnah Sufi dan Syiah”  dalam situs http://www.file:///E:/BERSAMA%20WUJUDKAN%20IMPIAN%20%20Teori%20dan%20Metodologi%20%20Tafsir%20Ahlus%20Sunnah,%20Sufi,%20dan%20Syiah.htm
[13] Ibid.
[14] Ibid.

2 komentar:

  1. mantap...
    apakah mbak punya artikel khusus yang menerangkan tentang perbedaan tafsir syi'ah dan tafsir sunni secara garis besarnya?

    BalasHapus

Ads Inside Post