BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang kaya dengan makna. Karena
saking kayanya, setiap orang bisa memaknai al-Qur’an secara berbeda-beda,
sesuai latar belakang sosial dan latar belakang pengetahuannya. Sehingga pantaslah jika Abdullah
Darraz men-tamsilkan al-Qur’an ibarat permata yang setiap sudutnya memancarkan
cahaya.[1]Begitu
juga al-Qur’an, setiap sudutnya memancarkan makna yang demikian mendalam.
Jika hal tersebut dikorelasikan dengan tradisi penafsiran al-Qur’an
kontemporer (dalam hal ini hermeneutika, yang
selalu menyatukan antara teks dan realitas) maka wajar jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu membawa latar
belakang yang berbeda. Akibatnya al-Qur’an pun ditafsirkan dengan corak dan
ragam yang berbeda-beda pula.
Keragaman
penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut dipengaruhi oleh latar belakang
para mufassir baik dari segi keilmuan maupun dari segi keberadaan sosial
masyarakatnya. Quraish sihab menjelaskan ada berbagai macam corak penafsiran
diantaranya ialah corak filsafat dan teologi.[2] Maka
kemudian muncullah penafsiran dari berbagai aliran teologi seperti yang akan
kita bahas kali ini ialah tafsir sunny, dan tafsir Syiah.
2. RumusanMasalah
1. Bagaimana metode yang digunakan dan bentuk Tafsir Ahlus sunnah (sunny)?
2. Siapa saja tokoh Tafsir Ahlus sunnah (sunny) berikut karyanya?
3. Bagaimana metode yang digunakan dan bentuk
Tafsir Syiah?
4. Siapa saja tokoh Tafsir Syiahberikut karyanya?
B.Tujuan
1. Mengetahui metode yang digunakan dan
bentuk Tafsir Ahlus sunnah (sunny).
2. Mengetahui tokoh Tafsir Ahlus sunnah (sunny) berikut karyanya.
3. Mengetahui metode yang digunakan dan bentuk
Tafsir Syiah.
4. Mengetahui tokoh Tafsir Syiah berikut karyanya.
BAB II
PEMBAHASAN
Ahlusunnah adalah penganut atau pengikut sunnah nabi
Muhammad SAW, sedangkan jama’ah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlus sunnah wal
jama’ah mengandung arti penganut I’tikad/sunnah nabi dan para sahabat beliau.
Para
penganut sejarah mensinyalir bahwa Abdullah Bin Umar dan Abdullah Ibnu Abbas
merupakan perintis gerakan kesatuan umat islam dalam satu jama’ah (Ahlusunnah
wal jama’ah). Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW
yang senantiasa memelihara sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Bahkan saat terjadi perebutan
kekuasaan Khalifah Ali bin Abu Thalib oleh Muawiyah, keduanya tidak masuk dalam
perselisihan. Mereka memilih hidup zuhud dan memfokuskan diri dalam
ibadah-ibadah untuk dekat (taqarub) kepada Allah ‘azza wajalla. Sikap muderat
itulah yang kemudian menjadi ciri teologi Ahlus sunnah wal jama’ah atau sunni.
Menurut
Nurdholis Madjid, istilah ahlus sunnah baru muncul pada kekuasaan daulah
Abbasiyah pimpinan Abu Ja’far Al-masur (137-159 H/754 – 755 M ) dan Harun Al
Rasyid (170 – 194 H/785 – 809 M), yakni pada saat Abu Hasan Al Asy’ariyah (260
– 324 H/873 – 935 M) yang beraliran Asy’ariyah dan Mansur Muhammad (w.944 M)
yang beraliran Maturidiyah mereka berdua mengaku berfaham mazhab ahlus sunnah.
Menurut
Abdul Hadi Awing, mereka yang disebut ahlus sunnnah wal jama’ah adalah yang
mengakui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah, mengakui para pemimpin islam
Khulafaur Rasyidin dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As Sunnah. Generasi pertama ahlus sunnah adalah para sahabat Rasulullah SAW, Tabi’in
dan setelah tabi’in yang dikenal dengan sebutan shalaf. Generasi selanjutnya
adalah para ulama di aliran maturidiyah dan al-asy’ariayah serta para ulama
fiqih seperti Ahmad bin Hambal (w. 241 H) Abu Hanifah, Malik bin Anas (w. 178
H) Imam Asy’ariyah, Imam Sufyan As-Syari, dll.
Keberadaan
aliran ahlus sunnnah wal jama’ah mulai kelihatan pengaruhnya saat mendapatkan
dukungan dari kekuasaan daulah Abbasiyah yang dipimpin oleh Al-Mutasyim yang
tidak ketat dalam persoalan aliran teologi. Untuk memperlihatkan dukungannya
khalifah al-mutawakil yang menjabat setelah al-mutashim,
membebaskan Ahmad bin Hambal dari tahanan dan menyatakan mu’tazilah sebagai
aliran terlarang. Bahkan pejabat-pejabat
yang masih beraliran mu’tazilah diharuskan bertobat dan masuk ke aliran ahlus
sunnah. Apabila masih bersikeras, maka tak segan-segan mereka disiksa hingga
menyatakan keluar dari keyakinanya.
Atas dasar ini, tak ada
aliran dalam Islam yang mampu menghindarkan diri dari mekanisme ta’wil
dalam arti yang luas, termasuk aliran yang mengaku paling murni
sekalipun.Maksud ta’wil dalam arti yang luas adalah seperangkat
mekanisme di lingkungan tafsir yang dipergunakan untuk mengatasi teks-teks yang
tampak tak sejalan-harmonis.Mekanisme ini bisa berbentuk majâz, ta’wîl,
sistematika tarjîh, isyârî, dan lain sebagainya.Tafsîr bil
ma`tsur, seperti tafsirnya ibnu Katsîr, yang acap disangka tak membutuhkan
mekanisme ta’wil tersebut pada hakikatnya penuh dengannya. Untuk
meletakkan hadîts dan atsar pada ayat-ayat tertentu misalnya,
dibutuhkan seperangkat metode yang dapat diukur, dan itu tak lain adalah
mekanisme ta’wil itu tadi. Juga kesadaran linguistik, alwa’yu
allughawî, untuk tidak menerima majâz sebagai bagian dari ta’wil
sejatinya adalah bagian dari ta’wil itu sendiri, mirip dengan ungkapan ‘adamul
idrâki huwa idrâkun
Demi menghindari
perdebatan devinisi apa itu suni dan sufi , kita menerima begitu adanya sebuah
“rumah besar” yang sering diasumsikan menaungi keluarga besar Sunni, tanpa
melihat kamar-kamar yang ada di dalamnya, yang boleh jadi tersekat antara satu
dengan lainnya, hingga pada posisi diametral. Rumah besar ini lazimnya
dihadapkan pada rumah lain yang berseberangan, yang ditinggali oleh Syî’ah,
Mu’tazilah, Khawârij, dan lain sebagainya. Dengan demikian, Sunni yang dimaksud
di sini adalah kelompok besar yang mencakup salafî, kalâmî
asy’arî-mâturidî, dan shûfî-sunnî (untuk membedakannya dari shûfî-falsafî
seperti Ibn ‘Arabî).Perselisihan faham teologis diantara shûfî-sunnî dan
salafî, yang biasanya berujung pada klaim paling berhak menyandang gelar
sunni misalnya, tak perlu diangkat.
Dengan memasukkan unsur
tafsir pada pemetaan ini, bisa kita kemukakan, bahwa dalam tradisi Sunni
terdapat tiga aliran tafsir: ittijâh salafî, ittijâh kalâmî, dan ittijâh
shûfî. Termasuk aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsîr, dan
termasuk aliran yang kedua adalah Attafsir al-Kabîr-nya Fakhrur Râzî,
sementara diantara tafsir yang ketiga adalah Lathâiful Isyârât-nya Imam
Al-Qusyairî. Menilik posisi aliran-aliran ini yang berada di rumah besar Sunni,
sudah barang tentu mereka memiliki garis besar metode yang sama, misalnya tafsîrul
Qur`ân bil Qur`ân, bil hadîts, bi aqwâlish shahâbah, bi
aqwâlittâbi’îin, dan billughah yang mencakup misalnya: makna lafadz
yang ditafisiri harus sesuai dengan bahasa Arab; al-Qur’an harus ditafsirkan
dengan yang umum dalam bahasa; dalam menentukan makna harus sesuai dengan
konteks (assiyâq); dalam menafsirkan harus memperhatikan
Termasuk aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsîr, dan termasuk aliran
yang kedua adalah Attafsir al-Kabîr-nya Fakhrur Râzî, sementara diantara tafsir
yang ketiga adalah Lathâiful Isyârât-nya Imam Al-Qusyairî. Menilik posisi
aliran-aliran ini yang berada di rumah besar Sunni, sudah barang tentu mereka
memiliki garis besar metode yang sama, misalnya tafsîrul Qur`ân bil Qur`ân, bil
hadîts, bi aqwâlish shahâbah, bi aqwâlittâbi'îin, dan billughah yang mencakup
misalnya: makna lafadz yang ditafisiri harus sesuai dengan bahasa Arab;
al-Qur'an harus ditafsirkan dengan yang umum dalam bahasa; dalam menentukan
makna harus sesuai dengan konteks (assiyâq); dalam menafsirkan harus
memperhatikan situasi sabab nuzûl dan alur cerita (qishshah); mendahulukan
ma'na syar'î ketimbang ma'na ‘urfî; dan lain sebagainya.
Ini berbeda misalnya dari tafsir-tafsir di luar tradisi Sunni yang tak
menerima semua konsep-konsep tafsir di muka secara sempurna. Syiah misalnya,
tak menerima hadits-hadits yang ditransmisikan melalui sanad Sunni, walau
konsep dasarnya mengenai tafsîr bil ma`tsûr sama.
Di luar kesamaan-kesamaan metode di atas, aliran-aliran Sunni juga memiliki
sejumlah perbedaan, terutama menyangkut tafsîr birra'yi. Misalnya pendekatan
aliran kalâmî terhadap ayat-ayat shifâtiyah, yang ditolak keras oleh aliran
salâfî. Imam Fakhrur Râzî yang dianggap sebagai mufassir yang berhasil
menyuguhkan teks-teks al-Quran sebagai hidangan teologis Asy'ariyah menjadi
sorotan tajam aliran Salafî. Ibn Taimiyah, pentolan aliran ini, bahkan
menyampaikan grundelannya terhadap attafsîr al-kabîr anggitannya: "fîhi
kullu syai'in illâ attafsîr", tafsir tersebut memuat segala hal kecuali
tafsir itu sendiri. Contoh lain adalah pendekatan isyârî yang dikenalkan oleh
aliran shûfî-sunnî, yang bukan saja ditolak oleh aliran salafî, tapi juga oleh
sejumlah kalangan dari aliran kalâmî.
Tafsir isyârî adalah tafsir yang menta'wili ayat-ayat al-Quran tidak sesuai
dengan apa yang dzahir, melalui petunjuk dari isyarat-isyarat esotoris yang
hanya diberikan kepada mereka yang telah sempurna dalam meniti jalan menuju
Allah SWT. Model penafsiran ini murni
mengandalkan ilham dari Allah SWT. tanpa terikat secara ketat dengan logika
bahasa, keselarasan konteks, dan dukungan premis-premis ilmiah. Dalam hal ini,
seorang mufassir diwajibkan untuk selalu mengisi hatinya hanya dengan dzikir
Allah SWT, sehingga saat ia membaca Al-Quran Allah membuka hatinya untuk
menerima pencerahan-pencerahan baru yang terkandung di dalam
isyarat-isyaratnya. "Wa'allamnâhu milladunnâ ‘ilmâ". QS. Al-Kahfi :
65. Sahl Attustarî (200-283 H.) , seorang sufi kenamaan, saat membaca ayat 22
QS Al-Baqarah[3], seperti mendapat ilham dari ‘âlamul malakût, bahwa andâd
terbesar adalah hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan, menyimpang
dari tafsir dzharinya yang adalah berhala-berhala sesembahan orang-orang kafir.
Dengan menafsiri andâd dengan nafs ammârah, Attustarî tidak bermaksud menafikan
makna dzharinya tersebut, akan tetapi itu hanya sebagai "tafsir lain"
yang ditimpakan ke dalama hatinya melalui penghampiran total kepada Allah SWT.
Tafsir isyârî atau faidhî yang lahir
dalam tradisi tasawwuf sunnî demikian ini sangat problematis. Di satu sisi ia
terpancarkan dari hati bening para peniti jalan kesucian, akan tetapi pada sisi
lain ia seperti melahirkan logika bahasa baru yang mustahil tersentuh oleh
pengalaman normal. Imam An-Nasafî, penganut tradisi tafsîr kalâmî, mengecam
model penafsiran tersebut, karena telah menarik lafadz-lafadz al-Quran dari
habitat dzahirnya. Menurut dia, menggeser lafadz al-Quran dari konteks
dzahirnya adalah bentuk ilhâd.
Selain pemetaan salafî-kalâmî-shûfî,
tradisi tafsir sunni juga terkelompokkan dalam sejumlah corak atau warna
tafsir. Sebut saja misalnya, tafsîr fiqhî, tafsîr lughowî, tafsîr adabî, tafsir
ijtimâ'î-hudâ`î, dan tafsîr ‘ilmî. Tafsîr fiqhî adalah salah satu tafsir yang
paling mulus dan tak banyak dipersoalkan. Jika ta'wil hanya berarti mencari
tahu hukum Allah (ta'wîl fiqhî) pada semua kasus yang terjadi di muka bumi,
maka hampir pasti semua aliran sunni tak akan mempermasalahkan legalitasnya.
Dalam khazanah sunni, tak ada satu aliran pun yang berani menarik diri dari
keterkaitan dengan hukum syar'î, sehingga ta'wîl fiqhî dengan demikian mutlak
diperlukan. Dan untuk memenuhi kebutuhan ini, sejumlah tafsîr fiqhî telah lahir,
seperti Ahkâmul Qur`ân karya Ibn al-‘Arabî dan Ahkâmul Qur`ân karya
al-Jashshâs.
Tafsîr lughawî lahir dari satu kenyataan bahwa al-Quran diturunkan melalui
media bahasa Arab yang jelas. "dia
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan
bahasa Arab yang jelas." QS. Asy-Syu'arâ`:193-195. Sehingga untuk
memahaminya diperlukan penguasaan yang sangat baik terhadap tatabahas dan
kosakata Arab. Ini adalah syarat mutlak bagi mufassir. Di sinilah kemudian
lahir buku-buku tafsir yang banyak atau bahkan khusus membahas sintaksis dan
morfologi Arab. Sebut misalnya Ma'ânil Qur`ân, karya Imam Al-Farrâ', Ma'ânil
Qur`ân karya Az-Zajjâj, Addurrul Mashûn karya Assamîn al-Halabî, dan lain
sebagainya.
Tafsîr adabî adalah bentuk
pertanggungjawaban ulama-ulama Islam untuk menjelaskan nilai sastra al-Quran
yang diyakini mengandung i'jâz. Corak tafsir ini banyak dielaborasi oleh
kalangan Mu'tazilah seperti Al-Jahidz (163-255 H.), ar-Rummânî (296-384 H.) dan
al-Marzabânî (297-394 H.), yang pada generasi belakangan lahirlah
al-Kasysyâf-nya Imam az-Zamakhsyarî (467-538 H.). Belakangan, generasi Sunni
juga merambah wilayah ini, seperti Imam al-Bâqilânî (328-402 H.), Abdul Qâhir
al-Jurjânî (w. 471 H.), dan kemudian generasi Imam Baidlowî (w. 685 H.) yang
mengintisarikan kandungan sastra tafsîr al-Kasysyâf dengan membuang teologi
i'tizîli-nya. Dan di era modern, corak adabî ini dielaborasi lebih mendalam
oleh Amîn al-Khoulî (1895-1966 M.) dengan asumsinya bahwa al-Quran adalah karya
sastra, sebelum merupakan yang lainnya. Kata dia, "Al-Qur`ân huwa kitâbul
‘arabiyah al-akbar", al-Quran adalah karya sastra adi agung. Ia adalah
milik umum bangsa Arah, sebelum merupakan petunjuk bagi umat Islam. Dengan ini,
al-Quran mutlak harus didekati dengan teori-teori sastra dan linguistik.
Sebagai pengampu matakuliah sastra Arab di Cairo University, pengaruhnya sangat
besar di Mesir yang saat itu merupakan kiblat akademik di Arab. Bola ilmiah
yang ia gulirkan terus menggelinding, lalu ditangkap oleh dua arus: arus
klasik, dan arus modern-sekuler. Yang pertama diwakili oleh istrinya, Binti
asy-Syâthi' (1912-1998 M.) yang menelurkan terori tafsîr bayânî, dan yang kedua
diwakili oleh muridnya, Muhammad Ahmad Khalafullâh (1904-1983 M.) yang
menelurkan tinjauan sastra terhadap kisah-kisah al-Qur'an, al-Fann al-Qashashî
fil-Qur`ân al-Karîm. Yang keterakhir ini kemudian semakin berkembang hingga
menarik al-Quran pada wilayah linguistik modern seperti semiotika, semantika,
dan hermeneutika yang oleh banyak pakar Sunni dianggap telah keluar dari
"rumah besar Sunni".
Tafsîr ijtimâ'i-hudâ`î yang dipelopori oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M.)
ini muncul dari keresahan melihat tafsir-tafsir yang berkembang hingga saat
itu, di mana pesan-pesan al-Quran sebagai petunjuk (hudan) seperti tenggelam
dalam lautan pembahasan tatabahasa, balaghah, ilmu kalam, dan falsafat yang
melingkupi teks-teks al-Quran.
Tafsîr ‘ilmî, atau tafsir saintifik,
dibangun diatas keyakinan bahwa agama yang benar dan ilmu pengetahuan adalah
dua saudara yang saling membantu menuju yang haqq. Agama yang benar
termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat Qur'âniyah, sementara ilmu pengetahuan
termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat kawniyah. Keduanya tak mungkin saling
bertentangan, karena sama-sama diciptakan oleh Allah SWT. yang Maha Mengetahui.
Barangkali orang pertama yang mengenalkan corak tafsir seperti ini adalah Imam
al-Ghazâlî (w. 520 H.) dalam bukunya, Jawâhirul Qur`ân
B.
Tokoh dan karyanya tafsir Sunni[4]
1. Abu Hasan Al Asy’Ari
Nama lengkapnya adalah Abu
Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin
Burdah bin Abi Musa Al Asy’ari. Ia dilahirkan di kota Basrah pada tahun 260
H/875 M dan wafat tahun 324/953 M dalam usia 46 tahun ketika hijrah ke kota
Baghdad.
Hasil karya Abu Hasan Ali Asy’ari.
Beliau termasuk ulama besar, ahli bahasa, ahli
fiqih, tafsir, hadis dan ilmu tauhid yang lebih di dalamnya. Karya Tulisnya
banyak diantaranya dibidang teologi Islam yang menjadi pegangan dan merupakan
titik tolak pengembangan madzhab, yang antara lain:
a) Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaf
al Mushallin.
Kitab ini disusun beliau sebelum keluar dari
mu’tazilah dan berisi paham golongan umat islam dan beberapa permasalahan dalam
ilmu kalam.
b) Al-ibanah’an Ushul ad-Dinayah.
Isinya pokok-pokok pikiran akidah ahlus sunnah.
Al Luma’, kitab ini berisikan pula pokok pikiran ahlus sunnah dalam ilmu
kalam dan menyoroti beberapa bantahan lawan.
2.
Abu Mansur
Al-Maturidi
a. Riwayat hidup Abu Mansur Al-Maturidi
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Muhammad
Abu Mansur, ia lahir di Matured sebuah kota kecil di Samarkand sekarang daerah
Suryet/Uzbekistan tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, (diperkiraan
pertengahan abad ke-3 H. dan wafatnya 333H/944 M). Gurunya dalam bidang fiqih
dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi (W. 286H). Al-Maturidi hidup
pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun (232-274/847-861 M).
C.
Bentuk dan Metode Tafsir Syi’ah
Syî’ah berasal dari bahasa arab, artinya pengikut atau golongan kata
jamaknya adalah Syiya’un. Dari Syî’ah dimaksudkan sebagai suatu
golongan dalam Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra.
Adalah orang yang berhak menjadi kholifah menggantikan Nabi, berdasarkan
wasiatnya. Sedangkan kholifah Abu Bakkar as-Siddik, Umar bin Kattab, Utsman bin
Affan adalah penggasab (perampas) kedudukan kholifah.[5]
Dalam paham
syiah terdapat banyak golongan dan sekte sebagian dari mereka telah melewati
dan melampaui batas dalam menunjukkan siap kasih sayang kepada Ali bin Abi
Tholib. Sebagian lagi dipengaruhi oleh doktrin mereka dan sebagian lainnya
bersikap moderat. Sikap objektif yang ada pada kelompok ini memunculkan paham
bahwa segala sesuatu yang baik akan dikaitkan dengan apa yang mereka yakini
bahkan tidak segan menganggap buruk hal yang berlawanan dengan pemikirannya.[6]
Kelompok ini
ada yang mendukung Ali ra namun tidak mengkritik kholifah sebelum Ali ra (Abu
Bakar, Umar dan Utsman). Sementara sebagian lain tidak senang dan menganggap
kholifah yang tiga itu sesat. Karena dianggap telah merampas hak Ali ra.[7]
Hal demikian juga terlihat dalam beberapa penafsiran mereka dalam ayat al-
Qur’an. Contohnya dalam menafsirkan QS. Adz-Dzariyat:8-9 dan QS.An-Naba’:1-3:
ö/ä3¯RÎ) Å"s9 5Aöqs% 7#Î=tGøC ÇÑÈ 7sù÷sã çm÷Ztã ô`tB y7Ïùé& ÇÒÈ
“Sesungguhnya kamu benar-benar dalam Keadaan
berbeda pendapat[8],
dipalingkan daripadanya (Rasul dan Al-Quran) orang yang dipalingkan.”( QS.
Adz-Dzariyat:8-9)
Penafsiran
Syi’ah mengenai ayat ini menyatakan bahwa siapa yang jujur , terusterang dan
setia pada wilayah Ali ra. Dia akan masuk syurga dan barang siapa yang
tidak setuju dengan wilayah Ali ra. Maka akan masuk neraka. Menurut
penafsiran mereka ungkapan ayat diatas mengacu kepada Ali ra.
§Ntã tbqä9uä!$|¡tFt ÇÊÈ Ç`tã Î*t6¨Z9$# ÉOÏàyèø9$# ÇËÈ Ï%©!$# ö/ãf ÏmÏù tbqàÿÎ=tGøèC ÇÌÈ
“Tentang Apakah mereka saling bertanya-tanya?.
Tentang berita yang besar[9].Yang
mereka perselisihkan tentang ini.”(QS.An-Naba’:1-3)
Ulama madzhab
syiah menafsirkan pernyataan al-Qur’an ini. Mereka mengemukakan bahwa Ali bin
Abi Tholib di ceritakan telah menyatakan kepada sahabat-sahabatnya: “Demi
Allah saya adalah berita benar, dimana semua bangsa berbeda bahasa mereka, demi
allah berita untuk Allah lebih besar dari pada untuk saya dan tidak, demi Allah
tidak ada tanda yang lebih besar dari pada saya”.[10]
Penafsiran ini
terlihat aneh dan tentu saja keliru ia bertentangan dengan riwayat lain. Akan
tetapi penafsiran ini didasarkan pada diroyah atau ra’yu
(pikiran), atau isyarat
(indikasi). Namun bagi para mufassir ahlu sunnah wal jama’ah penafsiran yang
demikian dianggap sesat, aneh, asing dan salah. Penafsiran ini juga
dikontradisi, baik dengan makna eksternal (lahir) dan leksikal
(bahasa).[11]
Merujuk
pada kajian yang dilakukan Rosihon
Anwar, secara umum, corak tafsir Syi’ah adalah tafsir simbolik (menekankan pada
aspek batin al-Qur’an) Dalam khazanah Ulum al-Qur’an, tafsir seperti ini biasa dikenal
dengan tafsir bathini. Al-Dzahabi menyebut tafsir simbolik dengan ungkapan al-tafsir
al-ramzi, sedangkan Habil Dabashi menggunakan istilah tafsir esoterik. Kalangan Syi’ah lebih menekankan penafsirannya
pada aspekbatin al-Qur’an. Pengklasifikasian al-Qur’an menjadi dua bagian,
aspek lahir dan aspekbatin, merupakan prinsip terpenting dalam penafsiran
Syi’ah, terutama Syi’ah Imamiyah. Bahkan, aspek batin dianggap
mereka sebagai aspek yang lebih kaya dari pada
aspek lahir.[12]
Adapun
metode yang dipakai kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-Qur’an, beragam. Setiap
aliran dalam Syi’ah berbeda metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Tapi secara
umum, seperti dikemukakan Rosihon Anwar, metode yang umum dipakai kalangan
Syi'ah, ialah memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode
takwil.[13]
D.
Tokoh-tokoh Tafsir Syi’ah dan Karya-karyanya[14]
Prof. Dr. Abubakar Aceh, menganggap Ali bin Abi Thalib
sebagai ahli tafsir pertama dari kalangan Syi’ah, karena memang beliau diklaim
sebagai imam Syi’ah, pewaris utama Rasulullah. Tidak itu saja, beliau juga
dianggap sebagai ahli tafsir pertama di dunia Sunni. Selanjutnya, muncul Ubay
bin Ka’ab (w. 30 H) dan Abdullah bin Abbas (w. 68 H). Abdullah bin Abbas, yang
biasa dipanggil dengan Ibnu Abbas memiliki karya tafsir, yaitu Tafsir Ibnu
Abbas. Tafsir ini sering digunakan di dunia Syi’ah. Kedua tokoh ini disebut
oleh Imam al-Suyuthi, dalam kitab al-Itqan, sebagai sepuluh ahli tafsir
dari sahabat kurun pertama. Adapun dari kalangan tabi’in, di antaranya Maisam
bin Yahya al-Tamanar (w. 60 H), Sa’id bin Zubair (w. 94 H), Abu Saleh Miran (w.
akhir abad I H), Thaus al-Yamani (w. 106 H), Imam Muhammad al-Baqir (w. 114 H),
Jabir bin Yazid al-Ju’fi (w. 127 H), dan Suda al-Kabir (w. 127 H). Yang
terakhir sebenarnya bukan ulama dari kalangan Syi’ah. Tetapi beliau sangat
menguasai seluk-beluk tentang Syi’ah.
Selanjutnya,
ahli tafsir Syi’ah secara umum, dalam arti bukan hanya dari kalangan Syi’ah
(insider) tapi juga dari luar Syi’ah (outsider), di antaranya Abu Hamzah
al-Samali (w. 150 H), Abu Junadah al-Saluli (w. pertengahan abad 2 H), Abu Ali
al-Hariri (w. pertengahan abad 2 H), Abu Alim bin Faddal (w. akhir abad 2 H),
Abu Thalib bin Shalat (w. akhir abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w.
akhir abad 2 H), Abu Utsman al-Mazani 9w. 248 H), Ahmad bin Asadi
(w. 573 H), Al-Fattal al-Syirazi (w. 984 H), Jawad bin Hasan al-Balaghi (w.
1302 H), dan lain-lain.
Ada juga ulama yang
menulis tafsir dengan topik-topik tertentu, seperti al-Jazairi (w.1151 H) dalam
bidang hukum, al-Kasai (w.182 H) tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abul Hasan
al-Adawi al-Syamsyathi (w.awal abad IV H) menulis tentang gharib al-Qur’an, Muhammad
bin Khalid al-Barqi (w.akhir abad 2 H) menulis tentang asbab al-nuzul, Suduq
bin Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang nasikh-mansukh, dan Ibnu al-Mutsanir
(w. 206 H) menulis tentang majaz.
Sementara itu, Ignaz
Goldziher menganggap Imam al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M) sebagai ulama yang
pertama kali meletakkan dasar-dasar madzhab Syi’ah. Beliau menulis kitab
tafsir. Sayang kitab tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali melalui cerita
sepotong-sepotong. Selanjutnya, Goldziher hanya mampu menyebutkan kitab tafsir
Syi’ah sejak abad ketiga hijriyah. Di antaranya, yang paling tua adalah kitab Bayan
al-Sa’adat fi Maqam al-Ibadah karya al-Sulthan Muhammad bin Hajar
al-Bajakhti. Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M. Pada abad keempat
hijriyah muncul karya tafsir Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi. Sejak saat
itulah, menurut Goldziher, bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan
Syi’ah. Salah satunya adalah kitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan
terdiri dari 20 bagian karya ulama besar Syi’ah, Abu Ja’far al-Thusi (460
H/1068 M).
Kemudian, Muhammad
Husain al-Dzahabi menyebutkan beberapa karya tafsir Syi’ah secara lebih
gamblang. Dari
kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyara di antaranya tafsir karya al-Hasan
al-‘Askari (w. 254 H), tafsir Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad bin ‘Iyasy
al-Silmi al-Kufi (w. abad ke-3 H), tafsir 'Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. awal
abad IV H), al-Tibyan karya Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan bin 'Ali al-Thusi
(w. 460 H), Majma’ al-Bayan karya Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi
(w. 538 H), al-Shafi karya Mala Muhsin al-Kasyi, Mir-at al-Anwar wa Misykat
al-Asrar karya Abdul Lathif al-Kazirani, Tafsir al-Qur’an karya Abdullah bin
Muhammad Ridla al’Alawi (w. 1242 H), Bayan al-Sa’adah fi Maqamat al-‘Ibadah
karya Sulthan bin Muhammad bin Haidar al-Khurasani (w. abad XIV H), dan Ala-u
al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Jawad bin Hasan al-Najafi (w. 1352
H).
Dari
kalangan Syi’ah Imamiyah Isma'iliyah atau Bathiniyah, baik Mutaqadimin maupun
Mutaakhirin, Imam al-Dzahabi tidak menyebutkan secara jelas karya tafsir yang
muncul. Begitu juga dari kalangan Syi’ah Babiyah dan Bahaiyah. Karena memang
dari tiga aliran Syi'ah ini tidak banyak kitab tafsir yang dijumpai, disebabkan
ulama dari kalangan ini tidak memfokuskan diri mengarang kitab tafsir.
Selanjutnya,
dari kalangan Syi’ah Zaidiyah ada beberapa karya tafsir. Di antaranya Gharib
al-Qur’an karya Imam Zaid bin Ali, al-Tahdzib karya Muhsin bin Muhammad bin
Karamah al-Zaidi (w. 464 H), al-Taisir fi al-Tafsir karya Hasan bin Muhammad
al-Nahawi al-Zaidi (w. 791 H), tafsir Ibn al-Aqdlam, Tafsir Ayat al-Ahkam karya
Hasan bin Ahmad al-Najari, Muntaha al-Maram karya Muhammad bin al-Hasan bin
al-Qasim, dan Fath al-Qadir karya al-Syaukani (w. 1250 H).
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: Tafsir Ahlusunnah adalah tafsir
penganut sunnah nabi, sedangkan jama’ah berarti sahabat nabi jadi, Ahlusunnah
waljama’ah adalah golongan penganut I’tikad / sunnah nabi dan para sahabat
beliau.
Tokoh utama Ahlusunnah waljama’ah ialah
Abu Hasan Al-Asy’ari, kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Abu Mansur
Al-Maturudi. Perbeaan pendapat al-Sy’aridan al-Maruridi mengenai masalah: iman,
sifat Tuhan, qada dan qadar, dan pelaku dosabesar.
Realitas apapun
yang terjadi dalam penafsiran al-Qur'an di kalangan Syi'ah, patut kita hargai,
bahwa kelompok ini telah memberikan sumbangan yang begitu besar dalam khazanah
tafsir al-Qur'an di dunia Islam. Setidaknya, kita bisa mengambil sesuatu yang
baik dari mereka untuk kita kembangkan, dalam rangka mencari metode yang sesuai
dalam menafsirkan al-Qur'an. Dan adapun ada metode mereka yang tidak sesuai
dengan kaidah-kaidah penafsiran yang selama ini kita kenal, bisa kita jadikan
cermin, supaya kita tidak terjerumus ke lubang yang sama. Bukankah Rasulullah
saw. telah mewasiatkan, khudz ma shafa wa da' ma kadar, “ambillah sesuatu yang
baik dan tinggalkanlah sesuatu yang buruk”.
[1]
M.
QuraishShihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992)
[2]
Ibid. Hlm 73.
[3]https://www.facebook.com/notes/kh-maimun-zubair/mengenal-tafsir sunni/10150107923202649 di unduh pada hari kmis, 12-11-2013 11:32.
[4]
Ibid.
[5]
A.Nasir, Sahilun. 2010. Pemikiran Kalam
(Teologi Islam): Sejarah Ajaran dan perkembangannya. Cet-1, Jakarta
Rajawali Pers, hlm.72.
[6]
Thameem Ushama. 2000. Metodologi Tafsir Al-Qur’an: kajian Kritis,
Objektif dan komprehensif.terj. Hasan Bisri & Amroeni. Jakarta:
Rior Cipta, hlm.42-43.
[7] Ibid. Hlm, 43-44.
[8] Maksudnya
berbeda Pendapat antara kaum musyrikin tentang Muhammad SAW dan Al-Quran. Namun
tidak demikian menurut pandangan Syi’ah
[9]
Yang dimaksud dengan berita
yang besar ialah berita tentang hari berbangkit. Hal ini pun berbeda dengan
pandangan syiah.
[10]
Ibid, hlm. 44
[11]
Ibid, hlm. 45
[12] Lihat
makalah berjudul “Teori dan Metodelogi Tafsir Ahlus Sunnah Sufi dan Syiah” dalam situs http://www.file:///E:/BERSAMA%20WUJUDKAN%20IMPIAN%20%20Teori%20dan%20Metodologi%20%20Tafsir%20Ahlus%20Sunnah,%20Sufi,%20dan%20Syiah.htm
[13]
Ibid.
[14] Ibid.
mantap...
BalasHapusapakah mbak punya artikel khusus yang menerangkan tentang perbedaan tafsir syi'ah dan tafsir sunni secara garis besarnya?
lope lope you kakak
BalasHapus