BAB I
PENDAHULUAN
Oleh : Nailu Farh dan Mutawakkil Faqih
(IAINSyekh Nurati Cirebon)
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an yang merupakan
bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan
pun dan di mana pun memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan
tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang indah, dan pada saat yang sama
mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami
bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat
berbagai faktor.
Kajian interpretasi al-Quran
sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. Terbukti bahwa hadits Rasulullah saw.
berfungsi sebagai penjelas bagi al-Quran. Selanjutnya kajian sputar al-Quran
mengalami perkembangan yang dinamis seiring dengan perkembangan kondisi sosial
budaya dan peradaban manusia.Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya
tafsir mulai zaman klasik sampai kontemporer.Dengan metode dan corak yang cenderung
memiliki perbedaan.Keinginan ulama (Mufassir) untuk terus mendialogkan teks
al-Quran yang terbatas, dengan problem sosial yang terus berkembang tersebut
menjadi salah satu latar belakang munculnya tafsir kontemporer.Semangat
reintrepertasi ini dibuktikan dengan munculnya beberapa pendekatan tafsir
al-Quran mulai dari tafsir Ijlami (Global), Tahlili (Analisis), Muqarin
(Perbandingan), hingga Maudhu’i (Tematis).
Salah satu nama
yang turut memberikan kontribusi dalam menginterpretasikan al-Qur’an pada era
kontemporer adalah Fazlur Rahmanyang terkenal dengan metode sosio-historis
dengan pendekatan hermeneutika Double Movement (Gerakan Ganda), dan Sintesis
Logisnya (Maudhu’i). Maka dengan alasan yang demikian, perlu kiranya berusaha
untuk mengetahui siapa itu Fazlur Rahman?, bagaimana karya-karyanya?, dan
bagaimana pula penggunaan metodologinya yang dikenal (double movement) dalam
menginterpretasi al-Qur’an.
BAB II
PEMBHASAN
A.
Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman adalah salah satu mufassir liberal-reformatif yang
diberi kesempatan “sejarah” untuk menerapkan gagasan neomodernisnya.Dia lahir
di anak benua Indo-Pakistan pada 21 September 1919 tepatnya di Hazara di Barat
Laut Pakistan.[1]Fazlur
Rahman dibesarkan dalam tradisi keluarga yang shalih yang bermadzhab Hanafi,
sebuah madzhab yang lebih bersifat rasionalis dibandigkan dengan madzhab
lainnya, seperti Maliki, Syafi’ie dan Hanbali.Ayahnya adalah salah seorang
ulama tradisional yang menanamkan kepadanya pendidikan dasar keagamaan.
Pendidikan dasar yang dilalui Fazlur Rahman
pada usia sekolah adalah dalam bidang wacana Islam Tradisional dibawah
bimbingan ayahnya. Wacana pendidik[2]an
Islam tradisional biasanya di awali dengan menghafal teks al-Quran, di samping
mempelajari bahasa Arab, Bahasa Persia, Ilmu Retorika, Sastra, Logika,
Filsafat, Kalam, Fikih, Hadits dan Tafsir. Perlu diakui bahwa, wacana- wacana
ini prosentasi dan muatannya relatif berbeda pada masing-masing madrasah.
Ketika berusia 14 tahun (1933), keluarga Fazlur Rahman hijrah ke Lahore, kota
dimana dia mengecap pendidikan modern pertamanya.[3]Meskipun
demikian, di Lahore Fazzlur Rahman juga tetap menimba pengetahuan Islam
tradisional dibawah asuhan ayahnya. Pada tahun 1940, ia menyelaikan sarjana
muda (B.A) dalam jurusan bahasa arab di universitas Punjab. Dua tahu kemudian, Fazlur
Rahman berhasil meraih gelar master of arts (M.A) dalam jurusan dan universitas
yang sama (1942). Pada tahun 1946, ia melanjutkan studi pada program doktor
(Ph.D Program) di Universitas Oxford, Iggris. dan kemudian menyandang gelar
doktor di bidang sastra pada 1950.[4]Pada
program ini Fazlur Rahman mengkonsentrasikan kajiannya dalam jurusan filsafat.
Pada periode 1962-1968 setelah kembali ke Pakistan Fazlur Rahman menduduki
jabatan yang penting sehingga terlihat secara intens upaya menafsirkan ajaran
Islam dalam program pembaharuan di Pakistan. Dia diangkat sebagai direktur
central Institute of islamic Research dan sebagai anggota Advisory Council of
Islamic Ideology. Lembaga tersebut dibentuk untuk mengadakan penelitian dan
menafsirkan ajaran Islam dalam pengertian rasional dan Ilmiah untuk kebutuhan
masyarakat modern dan progresif.[5]
Dilihat dari karya-karyanya, setidaknya ia menguasai bahasa Inggris, Latin,
Yunani, Prancis, Jerman, dan Turki. Disamping dia juga mengusai bahasa Urdu,
Arab, dan Persia.[6]
B.
Karya-karya Fazlur Rahman
Karya-karya Fazlur
Rahman yang dipublikasikan dalam bentuk buku seluruhnya adalah : Avicennas
Psychology (1952), Prophecy in Islam; Philosophy and Ortodoxy (1958), Islamic
Metodology in History (1965), Islam (1966), The Philosophy of Mulla Sadra
(1975), Major Themes of The Quran (1980), Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition
(1982), Health and Medicine in Islamic Tradition; Change and
Identity (1987), Revival and Reform in Islam (2000).[7]
C.
Metodologi Tafsir Fazlur Rahman
Dalam menafsirkan
teks kitab suci perlu diaplikasikan metode yang tepatagar dapat menangkap makna
dan pesan moral al-Qur’an secara memadai, sehingga tercipta suatukesatuan yang
utuh.Metodologi tafsir Fazlur Rahman dikenal dengan gerakan ganda
(bolak-balik).Gerakan pertama terdiri dari dua langkah; Langkah pertama,
memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi
atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul.Gerakan
Pertama ini disebut Fazlur Rahman sebagai ‘tugas pemahaman’ (task of understanding).
Dalam gerak pemahaman ini, Fazlur Rahman mensyaratkan kajian-kajian bidang lain
yang menunjang pemahaman yang tepat. Di samping pengetahuan tentang bahasa al
Qur’an (tata bahasa, gaya bahasa, dan lain-lain), suatu kajian tentang pandangan-pandangan
kaum muslimin-khususnya generasi awal akan membantu. Artinya, dipergunakan
pendekatan linguistik dan historis (kritis). Akan tetapi, pandangan- pandangan
tersebut harus menduduki tempat kedua dalam materi-materi obyektif yang
digariskan di atas, karena walaupun penafsiran-penafsiran historis atas al
Qur’an akan membantu, juga harus mendapatkan penilaian dari pemahaman yang diperoleh
dari al-Qur’an sendiri.[8]
Gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang
harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang.Gerakan kedua
ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga
situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas- prioritas
moral tersebut. Dengan kata lain, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus
ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang konkret di masa
sekarang.[9]
Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah al- Qur’an
akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para
ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial
muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya adalah kerja
ahli etika.Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap
momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran.Apabila hasil-hasil
pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan
baik dalam memahami al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang.Sebab,
tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah
direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, sedangkan dalam
konteks sekarang tidak bisa.
Double Movement
dan persoalan kontemporer gagasan hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman ini
merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika kita mencoba mencermati dan
mengkaitkannya dengan persoalan kontemporer.Salah satu contoh adalah persoalan
poligami. Sebagaimana contoh penerapan penafsiranal-Qur’an dengan pendekatan/metodehermeneutika
double movement pada kasus poligami yang oleh beberapakalangan dianggap bahwa
penafsiranterhadap ayat-ayat tersebut cenderung diskriminatif. Walaupundengan
alasan-alasan yang berbeda apakah poligami atau monogami, yang jelas konsep
poligami ini tertulis dalam al-Qur’an.[10]Interpretasi
dan reinterpretasinya adalah al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3 berikut:
÷bÎ)ur÷LäêøÿÅzwr&(#qäÜÅ¡ø)è?Îû4uK»tGuø9$#(#qßsÅ3R$$sù$tBz>$sÛNä3s9z`ÏiBÏä!$|¡ÏiY9$#4Óo_÷WtBy]»n=èOuryì»t/âur(÷bÎ*sùóOçFøÿÅzwr&(#qä9Ï÷ès?¸oyÏnºuqsù÷rr&$tBôMs3n=tBöNä3ãY»yJ÷r&4y7Ï9ºs#oT÷r&wr&(#qä9qãès?ÇÌÈ
3. dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ayat diatas turun
sebagairespon terhadap perilaku laki-laki
darianak-anak yatim baik laki-laki ataupun perempuan yang sering
menyelewengkan harta kekayaan mereka. Kemudian al-Qur’an menyerukan agarmereka
(laki-laki) tidak menyelewengkanharta kekayaan itu, dan mereka bolehmengawini
(perempuan yatim) sampai empat orang di antara mereka, asalkanmereka dapat
berlaku adil. Seruan al-Qur’anini
didukung pula oleh ayat yang lain, yangturun sebelumnya, yaitu dalam surat an-Nisa’ayat
127.
y7tRqçGøÿtGó¡ourÎûÏä!$|¡ÏiY9$#(È@è%ª!$#öNà6ÏGøÿã£`ÎgÏù$tBur4n=÷FãöNà6øn=tæÎûÉ=»tGÅ3ø9$#ÎûyJ»tGtÏä!$|¡ÏiY9$#ÓÉL»©9$#w£`ßgtRqè?÷sè?$tB|=ÏGä.£`ßgs9tbqç6xîös?urbr&£`èdqßsÅ3Zs?tûüÏÿyèôÒtFó¡ßJø9$#urÆÏBÈbºt$ø!Èqø9$#cr&ur(#qãBqà)s?4yJ»tFuù=Ï9ÅÝó¡É)ø9$$Î/4$tBur(#qè=yèøÿs?ô`ÏB9öyz¨bÎ*sù©!$#tb%x.¾ÏmÎ/$VJÎ=tãÇÊËÐÈ
127. dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita.
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Quran[354] (juga memfatwakan) tentang Para wanita
yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa[355] yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka[356] dan tentang anak-anak yang
masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak
yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahuinya.
[354] Lihat surat An Nisaa' ayat 2 dan 3
[355] Maksudnya Ialah: pusaka dan maskawin.
[356] Menurut adat Arab Jahiliyah seorang Wali berkuasa atas wanita
yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. jika wanita yatim itu
cantik dikawini dan diambil hartanya. jika wanita itu buruk rupanya,
dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya Dia tetap dapat menguasai
hartanya. kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.
Dilihat dari Asbab al-Nuzulnya menunjukkan bahwa masalah
ini munculdalam konteks perempuan-perempuanyatim. Tetapi kemudian al
Qur’anmemperingatkan bahwa“Betapapun mereka (laki-laki) ituberupaya
(berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidakakan
dapat berlaku adil kepadaperempuan-perempuan tersebut” an-Nisa’ ayat 129
`s9ur(#þqãèÏÜtFó¡n@br&(#qä9Ï÷ès?tû÷üt/Ïä!$|¡ÏiY9$#öqs9uröNçFô¹tym(xsù(#qè=ÏJs?¨@à2È@øyJø9$#$ydrâxtGsùÏps)¯=yèßJø9$$x.4bÎ)ur(#qßsÎ=óÁè?(#qà)Gs?ur cÎ*sù©!$#tb%x.#Yqàÿxî$VJÏm§ÇÊËÒÈ
129. dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pernyataan-pernyataan
al-Qur’an di atas,menurut Fazlur Rahman terdapat sebuahdua kandungan,(antara
aspek legal dan ajaranmoral al-Qur’an), yaitu:
1. Izin untuk beristerisampai empat orang
2. Keharusan untuk berlaku adil kepada mereka.
Berdasarkan
pernytaan ini, Fazlur Rahmankemudian berkesimpulan bahwa yang benar nampaknya
bahwa diizinkannya poligami adalah padataraf legal, sementara sanksi-sanksiyang
diberikan kepadanya padahakekatnya adalah sebuah cita-citamoral yang mana
masyarakatdiharapkan bergerak ke arahnya, karena semangat yang terdapat dalam
al-Qur’an sendiri merupakan wujud dari semangat moral.[11]
Penafsiran Fazlur Rahman ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh ulamatradisional,
izinuntuk berpoligami itu mempunyai kekuatanhukum, sedangkan keharusan untuk
berbuatadil kepada istri-istri tersebut, walaupunsangat penting, terserah
kepada kebaikan si suami.
Mengenai
eksistensi al-Qur’an sendiri Fazlur Rahman lebih menekankan bahwa al-Qur’an
adalah sebuah buku seruan-seruan moral dan bukan sebagai dokumen hukum,
meskipun tidak dipungkiri bahwa al-Qur’an memang mengandung beberapa
pernyataan-pernyataan hukum.[12]
Salah satu sifat legislasi al-Qur’an adalah pada keharaman khamr yang memang
pada masa sebelumnya tepatnya pada masa awal Islam mengkonsumsi khamr nampaknya
sama sekali tidak dilarang. Berikut ini contoh ayat-ayatnya:
y7tRqè=t«ó¡oÇÆtãÌôJyø9$#ÎÅ£÷yJø9$#ur(ö@è%!$yJÎgÏùÖNøOÎ)×Î72ßìÏÿ»oYtBurĨ$¨Z=Ï9!$yJßgßJøOÎ)urçt9ò2r&`ÏB$yJÎgÏèøÿ¯R3tRqè=t«ó¡our#s$tBtbqà)ÏÿZãÈ@è%uqøÿyèø9$#3Ï9ºxx.ßûÎiüt7ãª!$#ãNä3s9ÏM»tFy$#öNà6¯=yès9tbrã©3xÿtFs?ÇËÊÒÈ
219. mereka bertanya kepadamu tentang
khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar
dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
" yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
[136] Segala minuman yang memabukkan.
Dari keterangan
ayat diatas, nampaknya tidak ada ketetapan yang jelas mengenai khamr dan judi,
melainkan hanya menggunakan kata “dosanya/madharatnya lebih besar daripada
manfaatnya. Lebih lanjut al-Qur’an pun meberikan pelarangan khusunya terhadap
dua perkara diatas dengan Qs al-Maaidah ayat 90-91 berikut:
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä$yJ¯RÎ)ãôJsø:$#çÅ£øyJø9$#urÜ>$|ÁRF{$#urãN»s9øF{$#urÓ§ô_Íô`ÏiBÈ@yJtãÇ`»sÜø¤±9$#çnqç7Ï^tGô_$$sùöNä3ª=yès9tbqßsÎ=øÿè?ÇÒÉÈ$yJ¯RÎ)ßÌãß`»sÜø¤±9$#br&yìÏ%qããNä3uZ÷t/nourºyyèø9$#uä!$Òøót7ø9$#urÎûÌ÷Ksø:$#ÎÅ£÷yJø9$#uröNä.£ÝÁtur`tãÌø.Ï«!$#Ç`tãurÍo4qn=¢Á9$#(ö@ygsùLäêRr&tbqåktJZBÇÒÊÈ
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.
91. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).Dari kedua contoh ayat diatas tentunya
ini menunjukkan legislasi (memberikan ketentuan/aturan) al-Qur’an.Dalam
penetapan suatu hukum dalam al-Qur’an tentunya dilakukan secara perlahan-lahan
dan menyesuaikan dengan problem-problem yang muncul saat itu.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulannya, metodologi
tafsir Fazlur Rahman dikenal dengan gerakan ganda (bolak-balik).Gerakan pertama
terdiri dari dua dua langkah; Langkah pertama, memahami arti atau makna suatu
pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana
jawaban dan respon Al-Qur’an muncul.Gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke
pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan
sekarang. Maka dengan demikian, al-Qur’an dapat terbukti sebagai petunjuk
sepanjang zaman, karena meskipun al-Qur’an secara teks bersifat statis, akan
tetapi interpretasinya akan selalu dinamis.
Daftar
Pustaka
Rahman, Fazlur, “Islam
dan Modernitas”, Pustaka, Bandung, 2000
Rahman, Fazlur, Islam,
Pustaka , Bandung, 2000
Sibawaihi, “Hermeneutika
Al-Quran Fazlur Rahman”, Jalasutra, Bandung, 2007,
A. Mas’adi,Ghufron,“Pemikiran
Fazlur Rahman tentang Metode Pembaharuan
Hukum islam”, Cet. I. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
Nasution, Khoiruddin,
“Riba & Poligami Sebuah Studi Atas Pemikiran Muhammad Abduh”,
Pustaka Pelajar Yogyakarta, bekerjasama
dengan Akademia Yogyakarta, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar