KATA PENGANTAR
Segala piji bagi
allah tuhan semesta alam. Dialah yang telah menganugrahkan al qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia, sebagi pembeda antara yang haq dan yang batil, sebagai
peringatan bagi manusia yang lupa akan tujuan hidup dan hanyalah dia yang maha
megetahui makna dan maksud kandunganya. Shalawat
serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi muhammad SAW. Sebagai
penyampai,pengamat,serta penafsir pertama dalam penafsiran al qur'an.Dengan
pertolongan allah makalah ini dapat kami selesaikan dan
makalah ini sengaja kami susun
untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah metodologi tafsir jurusan tafsir hadits.
Penulis menyadari akan segala kekurangan dan kesalahan yang ada
dalam makalah ini. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis mengharapkan kritik dan
sarannya, agar penulis dapat memperbaiki makalah yang lebih baik untuk
selanjutnya. Dengan demikian, masih ada orang yang peduli dengan karya penulis
dan semoga saja penulisan makalah ini ada manfaatnya, khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi kita semua yang mempelajarinya dan semoga makalah ini bisa menjadi penunjang kegiatan belajar
ke jenjang selanjutnya. Amin
Cirebon,24 September
2013
penulis
KATA
PENGANTAR................................................................................................................1
DAFTAR
ISI..............................................................................................................................2
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah..................................................................................................3
B. Rumusan Masalah............................................................................................................3
C.Tujuan dan kegunaan........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
1. Interpretasi atas teks-teks dan konteks-konteks agama............................................4
2. Dampak pengabaian konteks oleh wacana
agama...................................................8
BAB
III PENUTUP
A.Kesimpulan.....................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menginterpretasikan suatu teks-teks
agama terkadang para pembaca hanya mengedepankan teks dan melupakan konteks
dari teks itu sendiri. Padahal suatu teks hanyalah sebagian kecil dari adanya
struktur yang lebih luas yaitu struktur budaya atau sosial. Namun, untuk
menghasilkan makna teks yang sejati itu menuntut pengungkapan makna melalui
analisis atas berbagai konteks. Oleh karena itu, penting sekali bagi para
pembaca (penafsir) untuk mengetahui level-level konteks terutama pada konteks
eksternal (asbabun nuzul) dan konteks internal (khususnya konteks
linguistik). Dan membongkar fenomena konteks merupakan langkah yang
mendasar untuk membangun kesadaran ilmiah terhadap teks-teks agama dan
norma-norma pembentukan maknanya untuk menyelamatkan kesadaran publik dari
ketersisihan dinamika sejarah dan keterkurungan dalam benteng masa lampau.
B. Rumusan Masalah
1. Interpretasi atas teks-teks agama
2. Interpretasi atas konteks-konteks agama
3. Dampak pengabaian konteks oleh wacana agama
C. Tujuan Masalah adalah memahami teks dan problematika konteks dalam
wacana agama
BAB II
PEMBAHASAN
TEKS DAN PROBLEMATIKA KONTEKS
Interpretasi
terhadap al-quran dan hadits memang penting bagi wacana agama. Interpretasi
yang sejati yaitu yang menghasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna
melalui analisis atas berbagai level konteks. Namun wacana-wacana yang ada
biasanya mengabaikan beberapa level konteks, demi memproteksi pelacakan makna
yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk itu pada pembahasan ini akan lebih
diperhatikan pada:
1.
Membongkar
fenomena pengabaian konteks dalam wacana agama, yang cenderung mengabaikan
konteks budaya, konteks historis, dan konteks narasi linguistik dari teks yang
menjadi objek penafsiran.
2.
Mengungkap
dampak dari fenomena itu pada wilayah pemikiran, sosial dan politik yang amat
berpengaruh bagi kalangan masyarakat awam dan terutama para cerdikiawan dan
tokoh berpengaruh dibidang pendidikan.
Teks agama tidak dapat dipisahkan dari struktur budaya tempat ia
terbentuk. Teks tidak mengenyampingkan hakikat keberadaanya sebagai teks
linguistik dengan segala implikasi kebahasaannya. Teks terkait dengan ruang dan
waktu. Teks tidak berada diluar kategori bahasa dan memiliki praeksistensi
atasnya, yaitu firman Tuhan dalam absolusitasnya, sehingga tidak memiliki
kaitan apapun dengan kita manusia, dan kita tidak memiliki prangkat
epistimologis dan prosedural untuk mengkajinya. Hakikat firman Tuhan mendapat
perhatian yang cukup oleh para pendahulu kita, seperti golongan mu’tazilah yang mengatakan bahwa
al-quran adalah baru atau makhluk, sementara kelompok lain mengatakan bahwa
al-quran sebagai kalam Tuhan mempunyai sifat qodim.
Seorang ulama yaitu Abdul Qohir
Al-jurjani menemukan fakta yang prinsip bahwa kajian atas puisi atau
teks sastra secara uum dan pelacakan terhadap aturan-aturan yang membentuknya
serta mekanisme produksi maknanya merupakan pengantar yang tidak bisa diabaikan
didalam mengkaji teks-teks keagamaan. Beliau memperlakukan al-quran sebagai
teks linguistik yang keberadaannya tidak berbeda dengan teks-teks lain kecuali
dalam tingkat sejauh mana aturan-aturan umum membentuk teks dimanfaatkan.
Menurut beliau al-quran adalah kalam yang sama dengan kalam kalam lainnya, yang
dihasilkan oleh norma-norma umum yang membentuk kalam tersebut. Dalam bahasa
kontemporer al-quran adalah teks linguistik yang sama dengan teks-teks
linguistik lainnya, yang tidak mungkin difahami dan dianalisis serta diungkap
aturan-aturan internalnya, kecuali melalui pengungkapan norma-norma umum tadi,
yaitu norma-norma pembentukan teks dalam bahasa tertentu dan dalam kerangka
kebudayaan itu sendiri.
Istilah konteks
sekalipun dari segi bentuk kata adalah tunggal, tetapi menunjukan keragaman
yang hingga sekarang agaknya belum tuntas dirumuskan dalam study teks.
Disini akan lebih ditekankan pada level-level konteks eksternal (konteks
interpersonal), konteks internal (relasi antar unsur), konteks linguistik
(komposisi kalimat), dan terakhir konteks pembacaan atau konteks penafsiran.
Teks-teks agama
keberadaanya sebagai teks linguistik bukan berati mengabaikan watak
tekstualitasnya yang spesifik. Bukan sebatas tataran pengirim/pengujar teks.
Sebab karakter tekstualitas al-quran didasarkan pada realitas-realitas
kemanusiaan yang profan, yang bersifat sosiologis, kultural, dan kebahasaan.
Keberadaan firman Tuhan yang kudus baru menjadi perhatian hanya pada momen
dimana kalam tersebut diposisikan secara manusiawi yaitu ketika nabi Muhammad
mengujarkannya dalam bahasa arab.
1.
Yang
dimaksud dengan konteks kultural dari teks-teks linguistik adalah segala hal
yang merupakan kerangka epistimologi bagi terjadinya komunikasi kebahasaan,
Atau bisa dikatakan jika bahasa merupakan aturan yang bersifat konfensi sosial,
mulai dari tingkat fonotik hingga sematik, maka norma-norma ini hanya dapat
menjalankan fungsinya berdasarkan pada kerangka kebudayaan yang lebih luas dalam
pengertian tadi. Kerangka epistimologi seperti ini adalah kebudayaan dengan
segenap kebiasaan, adat istiadat, dan tradsinya. Itulah yang terjelma dalam
bahasa yang norma-normanya tak mungkin dideteksi secara tuntas oleh ilmu
sosiolinguistik terlepas dari capaiannya yang tidak bisa diabaikan. Sekalipun
pandangan dan konsepsi merupakan bagian dari sistem kebudayaan, namun bahasa
hanya menunjukan secara simbolis saja. Dan jika kominikasi dalam bahasa literer
tidak akan terwujud dalam tataran kalimat kecuali melalui pertisipasi budaya
antara pengirim dan penerima, maka makna teks lebih-lebih tidak akan terungkap
kecuali melalui konteks kulturalnya.
Pada aspek
kultural ini dibedakan antara segi epistimologis dan segi ideologis.
Epistimologi dalam pengertian kultural adalah kesadaran masyarakat secara umum,
terlepas dari perbedaan antara kelompok yang disebabkan status sosial mereka.
Sementara ideologi adalah kesadaran kelompok yang mempertaruhkan kepentingannya
didalam melawan kepentingan-kepentingan kelompok lain dalam suatu masyarakat
tertentu. Diantara kedua tipe teks yang berlawanan ini terdapat teks-teks
kebahasaan dan komunikatif, dimana sistem kebahasaan berfungsi sebagai saluran
komunikasi yang mencerminkan aspek epistimologis, sementara aspek ideologinya
muncul melalui teks. perbedaan ini pada dasarnya muncul dari ideologi pengirim.
Dari pihak penerima sistem bahasa ini mencerminkan apa yang dapat disebut
sebagai kerangka penafsiran dari pesan, sementara teks mencerminkan apa yang
disebut fokus peniaian karena disini ideologi penerima turut terlibat untuk
menilai dan memutuskan.
Perbedaan
antara “sistem bahasa” dengan “sistem teks” inilah yang menentukan pesan. Pada
dasarnya pebedaan ini muncul dari ideologi pengirim. Dari pihak penerima sistem
bahasa ini mencerminkan apa yang disebut dengan kerangka penafsiran dari pesan,
sementara sistem teks-maksudnya makna dari sistem ini-mencerminkan dengan apa
yang disebut fokus penilaian karena disini ideologi penerima turut terlibat
untuk menilai dan memutuskan.
2. Apabila konteks kultural mencerminkan berbagai hubungan teks
dengan realitas eksternal pada berbagai tingkatan, maka konteks eksternal dari
teks banyak bersinggung dan lebih rumit dari sejarah pembentukannya. Konteks
eksternal yang khusus terdapat pada teks-teks agama islam ini dapat kita sebut
dari nama yang berkisar dari penggambaran teks itu terhadap dirinya sendiri
sebagai penurunan (at-tanzil), sehingga disebut sebagai “konteks
penurunan”.
Level-level
konteks eksternal tidak sebatas fakta-fakta asbabun nuzul makki madani
semata. Lebih dari itu, bahwa level-level tersebut dalam wacana al-qur’an
sendiri mencakup tingkatan-tingkatan yang sangat kompleks. Sebagai contoh
terdapat pesapa pertama, yaitu muhammad. Kontes ini sangat beragam sekali. Ada
konteks pemberian ketenangan an peneguhan hati dalam istilah al-qur’an, namun
ada juga konteks celaan, teguran dan ancaman.
3. Beranjak kepada konteks internal yang memiliki kekhususan
tersendiri dalam hakikat keberadaan al-qur’an yang bukan merupak an teks
tunggal dan homogen, yang mana susunan masing-masingnya itu berbeda sekali
dengan urutan penurunannya.
Pluralitas
teks dalam struktur teks al-qur’an dapat dianggap sebagai produk dari konteks
kultural yang teks. Yakni mengenai peran teks al-qur’an dengan struktur yang
demikian didalam menentukan struktur teks bahasa arab pada umumnya yakni, gaya
sepotong-sepotong banyak ragam perpindahan satu topik ke topik yang lain
sebagaimana dalam tipe karangan bahasa arab khususnya dalam teks-teks sastra.
Namun persoalan ini memerlukan banyak penelitian dan pengkajian ulang untuk
dapat menemukan faktor-faktor penyebab mengapa teks berstruktur semacam
itu dalam kebudayaan arab. Oleh karna
itu, timbulah suatu disiplin ilmu yang disebut (munasabah bainal ayat wa
suwar).
Kemudian
level kedua dari tatanan konteks internal adalah konteks
ujaran atau konteks wacana. Sebagai contoh, ada perbedaan antara konteks
pengisahan dengan konteks perintah atau larangan. Konteks pengisahan pada
dirinya sendiri sangat beragam. Konteks ini menciptakan konteks yang termasuk
dalam konteks lain sehingga satu konteks pengisahan menjadi beragam dalam
struktur teks. Selain itu juga ada konteks janji dan ancaman, konteks debat dan
bantahan, konteks intimidasi dan peringatan. Yang mana masing-masing tingkatan
knteks wacana ini terjelma dalam struktur bahasa dalam bingkai sistem bahasa
umum dari teks. Oleh karena itu, Abdul Qahir terdorong untuk mencari
sebab-sebab i’jaz/ keunggulan suatu teks atas teks-teks yang lain diluar
kerangka retorika (majaz, tamtsil, tasybih, kinayah secara umum).
4. pluralitas level konteks
linguistik langsung mengantarkan pada makna “gramatikal” secara lebih
luas. Sehingga analisis level konteks linguistik tidaklah cukup berhenti pada
unsur-unsur kalimat atau sebatas pada pelampauan makna dari berbagai bentuk
(formasi) dan stilistika (uslub) saja. Akan tetapi analisis berlanjut
pada pengungkapan makna yang terdiam dalam struktur wacana. Yakni, level yang
lebih dalam lagi yang terungkap dari konteks relasi intelekstualitas baik yang
menetakan atau menegaskan makna yang tampak terpisah dari makna eksplisit
konteks linguistik. Dengan demikian, konteks linguistik berkembang melampaui
makna yang tersurat (malfudz), karena bahasa merupakan bagian dari
struktur yang lebih luas yaitu stuktur budaya/sosial.
5. konteks pembacaan atau konteks penafsiran.
Proses penafsiran pada intinya adalah mengurai kode yang bukan semata-mata
konteks eksternal yang disandarkan pada teks. Oleh karena itu, kehadiran
pembaca yang amat mencolok dalam teks al-qur’an ini dan doronganya untuk
terus-menerus memahaminya, tidak terlepas dari watak pesan pengarah dari satu
dan watak penutur disisi lainnya. Jadi, konteks pembacaan merupakan salah satu
bagian dari struktur konteks dan merepresentasikan bagian dari struktur teks.
Dampak Pengabaian Konteks Dalam Wacana Agama
Biasanya wacan keagamaan sering kali melalaikan sebagian besar
level konteks. Sedangkan yang dinamakan takwil al-qur’an sama sperti proyek
pembacaan kontemporer dalam mengabaikan esensi teks. Dalam wacan kegamaan
lainya yaitu konsep otoritarianisme dari sisi takwil yang mengabaikan
level-level konteks lainya khususnya konteks eksternal (asbabun nuzul)
dan konteks internal ( khususnya konteks linguistik). Umumnya konsep ini
didasarkan pada tiga potongan ayat (44,45-47) dari surat al maidah sebagai
berikut : Barang siapa yang tidak memutuska dengan apa yang diturunka alloh,
maka mereka itu adalah orang-orang kafir..zali...fasik. akan tetapi konteks
eksternalnya mengharuskan kita melihat ayat-ayat lainnya yaitu ayat 41-50. Hal
ini karena ayat in merupakan satu kesatuan yang utuh, yaitu teks yang terkait
dengan konteks. Inilah signifikansi pertama dari pengabaian konteks dalam
penakwilan konsep tersebut, karena membagi-bagi teks dan memahami ayat-ayat
tersebut secara sepotong-sepotong dengan berhenti pada kalimat wa la taqrabu
as shalah ( dan janganlah kalian mendekati “tempat” sholat).
Konteks yang
mengungkapkan format yang melandasi mekanisme-mekanisme pembacaan di atas
adalah konteks keresahan yang di alami oleh wacana keagamaan akibat
kontradiksi-kontradiksi yang tampak dari makna teks Al-Qur’an dalam surat
Luqman ayat 34:
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang
hari Kiamat; dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada
dalam rahim. dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa
yang akan diusahakannya besok[1].
dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Wacana keagamaan
menganggap adanya pertentangan antara makna “ويعلم فى
الارحام” dengan perkembangan
alat-alat penelitian medis yang memungkinkan para dokter untuk mengetahui jenis
kelamin janin dan pembentukan rupa selama dalam kandungan. Dari perspektif
keagamaan tentunya hal ini merupakan kerancuan yang mengakibatkan munculnya
keraguan terhadap kebenaran teks Al-Qur`an. Hal ini mempertegas orientasi gerak
takwil dari pondasi ilmiah di luar teks, bukannya dari makna teks sebagaimana
disangkakan oleh wacana keagamaan.
Ada beberapa
catatan yang harus di kemukakan tentang metode penakwilan ini. Pertama
berkaitan dengan motivasi takwil yaitu menghilangkan kerancuan imajinatif dari
sisi wacana keagamaan terhadap kebenaran teks Al-Qur`an yang biasanya berasal
dari anggapan adanya kontradiksi antara bunyi teks dengan kemajuan ilmu
pengetahuan yang menyebabkan berkembangnya perangkat penelitian dan analogi.
Anggapan ini timbul dari pengabaian pada watak teks itu sendiri dan watak
agamisnya serta pergumulannya dari perspektif bahwa Al-Qur`an adalah kitab
tentang ilmu. Kedua bahwa takwil telah menjauhi konteks ayat dan maknanya untuk
memasukkan ke dalam pemahaman hadits nabi yang dianggap si penakwil sebagai
tafsiran ayat tersebut. Padahal bunyi hadits senada dengan ayat lain dalam
konteks lain yaitu surat Ar-Ra`du ayat 8. Ketiga adalah bahwa penentuan bayi
prematur sebagai masa gugurnya pembuahan indung telur pada dinding rahim
merupakan penentuan yang perlu dikaji ulang karena makna linguistik kata gaidh
sepenuhnya menunjukkan perkiraan disamping bahwa konteks linguistik
penggunaannya di dalam ayat tersebut mempertegas (memperkuat) makna ini di mana
ilmu tuhan berkaitan dengan gaidh dan ziyadah di dalam rahim. Yang keempat
adalah bahwa si penakwil mendasarkan penakwilannya pada gagasan-gagasan
nonilmiah meskipun di kemukakan Ibnu Katsir.
Demikian pula
tampak watak ideologis dari takwil ilmiah dan terkuaklah level-level konteks
yang diabaikannya mulai dari watak teks itu sendiri sampai pada konteks
linguistik. Pengabaian konteks ini menjerumuskan wacana keagamaan pada jurang
angan-angan mitologis. Sesungguhnya tidak ada problem jika kita berpijak pada
premis bahwa Al-Qur`an bukanlah teks ilmiah yang menawarkan konsep-konsep
ilmiah, melainkan teks keagamaan yang memiliki konteks pengetahuan (epistemik)
yang melahirkan maknanya.
Persoalan
fundamental lainnya dari wacana keagamaan adalah konsep otoriterisme (الحاكمية)
dari sisi takwil yang mengabaikan level konteks eksternal (اسباب النزول)dan
konteks internal (linguistik). Di sini yang menjadi penegasan kita adalah
dengan memperhatikan konteks dengan berbagai levelnya dan memasukannya dalam
proses analisis teks serta penakwilannya, maka dapat memecahkan banyak problem
termasuk di dalamnya adalah problem fiqh yang terkait dengan penentuan Nasikh
Mansukh bahkan penentuan Asbab An-Nuzul-sebagai salah satu level konteks
eksternal- dapat dilakukan dengan menganalisis konteks internal linguistik.
Kita lihat bahwa wacana keagamaan dengan berbagai kecenderungannya (ideologis, ekonomi, sosial maupun politis)
berusaha mencengkramkan hegemoninya atas nalar umat dan budayanya. Dia ingin
menjadi otoritas kehidupan kita sebagai ideologi tetapi dia menyembunyikan anggapan
bahwa otoritas terpresentasikan dalam kuasa teks yang tidak berbunyi kecuali
melalui penakwilan.
Wacana keagamaan
berada di persimpangan antara metode pembacaan tendensius- ideologis dan
landasan pembacaan literal (tekstual) yang membakukan makna teks pada level
makna historis. Pada pembacaan yang pertama wacana agama berpegang teguh pada
diktum “teks secara semantis berlaku untuk setiap ruang dan waktu” sedangkan
pada pembacaan kedua dia berpegang teguh pada diktum “ujaran dipahami menurut
pemahaman mereka ysng hidup sezaman dengan turunnya ujaran tersebut”. Ini
dilakukan berdasarkan kedalaman iman generasi pertama di satu sisi, dan
hubungan langsung mereka dengan nabi di sisi lainnya.
Wacana keagamaan
tidak hanya bersandarkan pada kedua diktum kontradiktif ini, tetapi secara
substansi ia bertitik tolak pada anggapan negatif terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan keagamaan yang terpisahkan dari bidang-bidang pengetahuan lainnya.
Dalam peradaban, pengetahuan keagamaan tidak berkaitan dengan perkembangan
kesadaran secara umum, tetapi pada dasarnya berkaitan dengan kadar emosional di
satu sisi dan tingkat ketundukan dan kepatuhan dalam ritual keagamaan yang
tercantum dalam ibadah di sisi lain
Pembicaraan tentang pengaruh intelektual dan sosial dari pengabaian
wacana keagamaan terhadap level-level konteks di dalam penakwilan teks-teks
keagamaan mengantarkan kita langsung bukan saja pada krisis pemikiran Arab,
tetapi juga pada krisis realitas Arab dengan berbagai levelnya.Di sini kita
tidak akan membahas tentang sebab-sebab krisis maupun indikasi-indikasinya atau
mendiskusikan akar historisnya akan tetapi kita akan membahas tentang uraian
kita tentang pengaruh-pengaruh yang diakibatkan takwilan-takwilan wacana
keagamaan terhadap kadar kontribusinya dalam memperdalam krisis. Berbeda dengan
klaim wacana keagamaan bahwa dirinyalah yang memiliki kunci bagi semua level
krisis. Pengaruh umum yang tampak mencolok pada semua level adalah transformasi
teks-teks keagamaan-akibat di keluarkan dari konteks sosiokulturalnya dengan
memfokuskan pada sisi penutur teks.
Sesungguhnya jika harus selalu berpijak pada otoritas teks-teks
islam, maka pemecahan masalah akan menyebabkan persoalan menjadi semakin
kompleks, meski harus diakui bahwa wacana keagamaan telah menyuguhkan solusi
yang berguna. Hal ini karena berpijak pada otoritas teks-teks islam di dalam
memecahkan persoalan pada dasarnya mengakibatkan terabaikannya hak sesama warga
negara, dalam hal ini nonmuslim, dan orang-orang yang berhak memahami teks-teks
keagamaan mereka sebagai solusi permasalahan itu sendiri. Karena sesungguhnya
pemahaman teks berdasarkan ideologis, sedangkan solusi yang dikemukakan
beragam. Maka persoalan tersebut malah bertambah kompleks, karena dalam hal ini
kewarganegaraan menjadi tersembunyi karena afiliasi akidah dan menjadi terbuka
lebar pintu perpecahan sosial yang pada gilirannya menambah kompleksitas
persoalan dan begitupun seterusnya.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Qur`an adalah teks linguistik yang sama dengan teks-teks
linguistik lainnya dan tidak mungkin dipahami dan dianalisis serta diungkap aturan-aturan internalnya,
kecuali melalui pengungkapan norma-norma umum tadi yaitu norma-norma
pembentukan teks dalam bahasa tertentu dan dalam kerangka kebudayaan itu
sendiri.
Level-level konteks eksternal bukan sebatas fakta-fakta asbab
an-nuzul, makki madani semata tapi lebih
dari itu level-level tersebut dalam struktur wacana Al-Qur`an sendiri mencakup
tingkatan-tingkatan yang sangat kompleks. Sebagai misal terdapat pesapa pertama
yaitu Muhammad, Istri istri nabi dan yang lainnya. Level konteks internal
diantaranya yaitu konteks ujaran atau konteks wacana.
Hasil-hasil yang diakibatkan metode takwil ini tidak jauh lebih
penting dari pembacaan kontemporer atau pembacaan tekstual dan permasalahan
kontemporer atau tipe-tipe pembacaan tendensius lainnya. Karena pertama,
menentang kemungkinan kemajuan-
kemajuan ilmu setelah masa takwil dan tidak
membuka pintu bagi pembacaan-pembacaan selanjutnya dengan lebih maju pada
tataran pengetahuan.Kedua, ketika mempertautkan antara cakrawala
pengetahuan modern dengan ijtihad-ijtihad penakwilan tradisional, wacana ini
tidak tahu bahwa dirinya terjebak pada penanaman prinsip dependensi pada kuasa
masa lalu. Sehingga kreativitas selalu
tergantung pada kuasa (otoritas) eksternal lainnya bukannya pengalaman dalam
pengertian ilmiah dan dinamis. Ketiga, wacana ini tidak hanya turut
menyumbat kemungkinan-kemungkinan kreativitas nalar dan ilmu, tetapi
mengabadikan dependensi politik, sosial dan intelektual. Karena itu ia
mengajarkan generasi-generasi mendatang untuk merusak pengetahuan yang tidak
diakui sebagai hasil memahami prosedur-prosedur penciptaannya dan penerapan
prosedur-prosedur tersebut tetap diakui sebagai hasil yang memiliki kesamaan.
[1] Maksudnya: manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang
akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, Namun demikian mereka
diwajibkan berusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar