Senin, 09 Mei 2016

Teks dan Problemtika Konteks



KATA PENGANTAR
                                                                                    
         Segala piji bagi allah tuhan semesta alam. Dialah yang telah menganugrahkan al qur'an sebagai petunjuk bagi manusia, sebagi pembeda antara yang haq dan yang batil, sebagai peringatan bagi manusia yang lupa akan tujuan hidup dan hanyalah dia yang maha megetahui makna dan maksud kandunganya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi muhammad SAW. Sebagai penyampai,pengamat,serta penafsir pertama dalam penafsiran al qur'an.Dengan pertolongan allah makalah ini dapat kami selesaikan dan makalah ini sengaja  kami susun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah metodologi tafsir jurusan tafsir hadits.
        Penulis menyadari akan segala kekurangan dan kesalahan yang ada dalam makalah ini. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis mengharapkan kritik dan sarannya, agar penulis dapat memperbaiki makalah yang lebih baik untuk selanjutnya. Dengan demikian, masih ada orang yang peduli dengan karya penulis dan semoga saja penulisan makalah ini ada manfaatnya, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua yang mempelajarinya dan semoga makalah   ini bisa menjadi penunjang kegiatan belajar ke jenjang selanjutnya. Amin


                                                                                                        Cirebon,24 September  2013


                                                                                                                          penulis
                                                                            








KATA PENGANTAR................................................................................................................1

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
                                                                             
BAB I  PENDAHULUAN
      A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................3
      B. Rumusan Masalah............................................................................................................3
      C.Tujuan dan kegunaan........................................................................................................3
                                                                                                                                                  
BAB  II PEMBAHASAN
1.      Interpretasi atas teks-teks dan konteks-konteks agama............................................4

2.      Dampak pengabaian konteks oleh wacana agama...................................................8

BAB III PENUTUP
      A.Kesimpulan.....................................................................................................................12                                        










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Dalam menginterpretasikan suatu teks-teks agama terkadang para pembaca hanya mengedepankan teks dan melupakan konteks dari teks itu sendiri. Padahal suatu teks hanyalah sebagian kecil dari adanya struktur yang lebih luas yaitu struktur budaya atau sosial. Namun, untuk menghasilkan makna teks yang sejati itu menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas berbagai konteks. Oleh karena itu, penting sekali bagi para pembaca (penafsir) untuk mengetahui level-level konteks terutama pada konteks eksternal (asbabun nuzul) dan konteks internal (khususnya konteks linguistik). Dan membongkar fenomena konteks merupakan langkah yang mendasar untuk membangun kesadaran ilmiah terhadap teks-teks agama dan norma-norma pembentukan maknanya untuk menyelamatkan kesadaran publik dari ketersisihan dinamika sejarah dan keterkurungan dalam benteng masa lampau.
B.     Rumusan Masalah
1.    Interpretasi atas teks-teks agama
2.      Interpretasi atas konteks-konteks agama
3.      Dampak pengabaian konteks oleh wacana agama
C.     Tujuan Masalah adalah memahami teks dan problematika konteks dalam wacana agama












BAB II
PEMBAHASAN
TEKS DAN PROBLEMATIKA KONTEKS
            Interpretasi terhadap al-quran dan hadits memang penting bagi wacana agama. Interpretasi yang sejati yaitu yang menghasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas berbagai level konteks. Namun wacana-wacana yang ada biasanya mengabaikan beberapa level konteks, demi memproteksi pelacakan makna yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk itu pada pembahasan ini akan lebih diperhatikan pada:
1.      Membongkar fenomena pengabaian konteks dalam wacana agama, yang cenderung mengabaikan konteks budaya, konteks historis, dan konteks narasi linguistik dari teks yang menjadi objek penafsiran. 
2.      Mengungkap dampak dari fenomena itu pada wilayah pemikiran, sosial dan politik yang amat berpengaruh bagi kalangan masyarakat awam dan terutama para cerdikiawan dan tokoh berpengaruh dibidang pendidikan.
Teks agama tidak dapat dipisahkan dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Teks tidak mengenyampingkan hakikat keberadaanya sebagai teks linguistik dengan segala implikasi kebahasaannya. Teks terkait dengan ruang dan waktu. Teks tidak berada diluar kategori bahasa dan memiliki praeksistensi atasnya, yaitu firman Tuhan dalam absolusitasnya, sehingga tidak memiliki kaitan apapun dengan kita manusia, dan kita tidak memiliki prangkat epistimologis dan prosedural untuk mengkajinya. Hakikat firman Tuhan mendapat perhatian yang cukup oleh para pendahulu kita, seperti  golongan mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-quran adalah baru atau makhluk, sementara kelompok lain mengatakan bahwa al-quran sebagai kalam Tuhan mempunyai sifat qodim.
Seorang ulama yaitu Abdul Qohir  Al-jurjani menemukan fakta yang prinsip bahwa kajian atas puisi atau teks sastra secara uum dan pelacakan terhadap aturan-aturan yang membentuknya serta mekanisme produksi maknanya merupakan pengantar yang tidak bisa diabaikan didalam mengkaji teks-teks keagamaan. Beliau memperlakukan al-quran sebagai teks linguistik yang keberadaannya tidak berbeda dengan teks-teks lain kecuali dalam tingkat sejauh mana aturan-aturan umum membentuk teks dimanfaatkan. Menurut beliau al-quran adalah kalam yang sama dengan kalam kalam lainnya, yang dihasilkan oleh norma-norma umum yang membentuk kalam tersebut. Dalam bahasa kontemporer al-quran adalah teks linguistik yang sama dengan teks-teks linguistik lainnya, yang tidak mungkin difahami dan dianalisis serta diungkap aturan-aturan internalnya, kecuali melalui pengungkapan norma-norma umum tadi, yaitu norma-norma pembentukan teks dalam bahasa tertentu dan dalam kerangka kebudayaan itu sendiri.
            Istilah konteks sekalipun dari segi bentuk kata adalah tunggal, tetapi menunjukan keragaman yang hingga sekarang agaknya belum tuntas dirumuskan dalam study teks. Disini akan lebih ditekankan pada level-level konteks eksternal (konteks interpersonal), konteks internal (relasi antar unsur), konteks linguistik (komposisi kalimat), dan terakhir konteks pembacaan atau konteks penafsiran.
            Teks-teks agama keberadaanya sebagai teks linguistik bukan berati mengabaikan watak tekstualitasnya yang spesifik. Bukan sebatas tataran pengirim/pengujar teks. Sebab karakter tekstualitas al-quran didasarkan pada realitas-realitas kemanusiaan yang profan, yang bersifat sosiologis, kultural, dan kebahasaan. Keberadaan firman Tuhan yang kudus baru menjadi perhatian hanya pada momen dimana kalam tersebut diposisikan secara manusiawi yaitu ketika nabi Muhammad mengujarkannya dalam bahasa arab.
1.    Yang dimaksud dengan konteks kultural dari teks-teks linguistik adalah segala hal yang merupakan kerangka epistimologi bagi terjadinya komunikasi kebahasaan, Atau bisa dikatakan jika bahasa merupakan aturan yang bersifat konfensi sosial, mulai dari tingkat fonotik hingga sematik, maka norma-norma ini hanya dapat menjalankan fungsinya berdasarkan pada kerangka kebudayaan yang lebih luas dalam pengertian tadi. Kerangka epistimologi seperti ini adalah kebudayaan dengan segenap kebiasaan, adat istiadat, dan tradsinya. Itulah yang terjelma dalam bahasa yang norma-normanya tak mungkin dideteksi secara tuntas oleh ilmu sosiolinguistik terlepas dari capaiannya yang tidak bisa diabaikan. Sekalipun pandangan dan konsepsi merupakan bagian dari sistem kebudayaan, namun bahasa hanya menunjukan secara simbolis saja. Dan jika kominikasi dalam bahasa literer tidak akan terwujud dalam tataran kalimat kecuali melalui pertisipasi budaya antara pengirim dan penerima, maka makna teks lebih-lebih tidak akan terungkap kecuali melalui konteks kulturalnya.
            Pada aspek kultural ini dibedakan antara segi epistimologis dan segi ideologis. Epistimologi dalam pengertian kultural adalah kesadaran masyarakat secara umum, terlepas dari perbedaan antara kelompok yang disebabkan status sosial mereka. Sementara ideologi adalah kesadaran kelompok yang mempertaruhkan kepentingannya didalam melawan kepentingan-kepentingan kelompok lain dalam suatu masyarakat tertentu. Diantara kedua tipe teks yang berlawanan ini terdapat teks-teks kebahasaan dan komunikatif, dimana sistem kebahasaan berfungsi sebagai saluran komunikasi yang mencerminkan aspek epistimologis, sementara aspek ideologinya muncul melalui teks. perbedaan ini pada dasarnya muncul dari ideologi pengirim. Dari pihak penerima sistem bahasa ini mencerminkan apa yang dapat disebut sebagai kerangka penafsiran dari pesan, sementara teks mencerminkan apa yang disebut fokus peniaian karena disini ideologi penerima turut terlibat untuk menilai dan memutuskan.
            Perbedaan antara “sistem bahasa” dengan “sistem teks” inilah yang menentukan pesan. Pada dasarnya pebedaan ini muncul dari ideologi pengirim. Dari pihak penerima sistem bahasa ini mencerminkan apa yang disebut dengan kerangka penafsiran dari pesan, sementara sistem teks-maksudnya makna dari sistem ini-mencerminkan dengan apa yang disebut fokus penilaian karena disini ideologi penerima turut terlibat untuk menilai dan memutuskan.
2. Apabila konteks kultural mencerminkan berbagai hubungan teks dengan realitas eksternal pada berbagai tingkatan, maka konteks eksternal dari teks banyak bersinggung dan lebih rumit dari sejarah pembentukannya. Konteks eksternal yang khusus terdapat pada teks-teks agama islam ini dapat kita sebut dari nama yang berkisar dari penggambaran teks itu terhadap dirinya sendiri sebagai penurunan (at-tanzil), sehingga disebut sebagai “konteks penurunan”.
                 Level-level konteks eksternal tidak sebatas fakta-fakta asbabun nuzul makki madani semata. Lebih dari itu, bahwa level-level tersebut dalam wacana al-qur’an sendiri mencakup tingkatan-tingkatan yang sangat kompleks. Sebagai contoh terdapat pesapa pertama, yaitu muhammad. Kontes ini sangat beragam sekali. Ada konteks pemberian ketenangan an peneguhan hati dalam istilah al-qur’an, namun ada juga konteks celaan, teguran dan ancaman.
3. Beranjak kepada konteks internal yang memiliki kekhususan tersendiri dalam hakikat keberadaan al-qur’an yang bukan merupak an teks tunggal dan homogen, yang mana susunan masing-masingnya itu berbeda sekali dengan urutan penurunannya.
                 Pluralitas teks dalam struktur teks al-qur’an dapat dianggap sebagai produk dari konteks kultural yang teks. Yakni mengenai peran teks al-qur’an dengan struktur yang demikian didalam menentukan struktur teks bahasa arab pada umumnya yakni, gaya sepotong-sepotong banyak ragam perpindahan satu topik ke topik yang lain sebagaimana dalam tipe karangan bahasa arab khususnya dalam teks-teks sastra. Namun persoalan ini memerlukan banyak penelitian dan pengkajian ulang untuk dapat menemukan faktor-faktor penyebab mengapa teks berstruktur semacam itu  dalam kebudayaan arab. Oleh karna itu, timbulah suatu disiplin ilmu yang disebut (munasabah bainal ayat wa suwar).
                 Kemudian level kedua dari tatanan konteks internal adalah konteks ujaran atau konteks wacana. Sebagai contoh, ada perbedaan antara konteks pengisahan dengan konteks perintah atau larangan. Konteks pengisahan pada dirinya sendiri sangat beragam. Konteks ini menciptakan konteks yang termasuk dalam konteks lain sehingga satu konteks pengisahan menjadi beragam dalam struktur teks. Selain itu juga ada konteks janji dan ancaman, konteks debat dan bantahan, konteks intimidasi dan peringatan. Yang mana masing-masing tingkatan knteks wacana ini terjelma dalam struktur bahasa dalam bingkai sistem bahasa umum dari teks. Oleh karena itu, Abdul Qahir terdorong untuk mencari sebab-sebab i’jaz/ keunggulan suatu teks atas teks-teks yang lain diluar kerangka retorika (majaz, tamtsil, tasybih, kinayah secara umum).
4.  pluralitas level konteks linguistik langsung mengantarkan pada makna “gramatikal” secara lebih luas. Sehingga analisis level konteks linguistik tidaklah cukup berhenti pada unsur-unsur kalimat atau sebatas pada pelampauan makna dari berbagai bentuk (formasi) dan stilistika (uslub) saja. Akan tetapi analisis berlanjut pada pengungkapan makna yang terdiam dalam struktur wacana. Yakni, level yang lebih dalam lagi yang terungkap dari konteks relasi intelekstualitas baik yang menetakan atau menegaskan makna yang tampak terpisah dari makna eksplisit konteks linguistik. Dengan demikian, konteks linguistik berkembang melampaui makna yang tersurat (malfudz), karena bahasa merupakan bagian dari struktur yang lebih luas yaitu stuktur budaya/sosial.
5.  konteks pembacaan atau konteks penafsiran. Proses penafsiran pada intinya adalah mengurai kode yang bukan semata-mata konteks eksternal yang disandarkan pada teks. Oleh karena itu, kehadiran pembaca yang amat mencolok dalam teks al-qur’an ini dan doronganya untuk terus-menerus memahaminya, tidak terlepas dari watak pesan pengarah dari satu dan watak penutur disisi lainnya. Jadi, konteks pembacaan merupakan salah satu bagian dari struktur konteks dan merepresentasikan bagian dari struktur teks.

Dampak Pengabaian Konteks Dalam Wacana Agama
                  Biasanya wacan keagamaan sering kali melalaikan sebagian besar level konteks. Sedangkan yang dinamakan takwil al-qur’an sama sperti proyek pembacaan kontemporer dalam mengabaikan esensi teks. Dalam wacan kegamaan lainya yaitu konsep otoritarianisme dari sisi takwil yang mengabaikan level-level konteks lainya khususnya konteks eksternal (asbabun nuzul) dan konteks internal ( khususnya konteks linguistik). Umumnya konsep ini didasarkan pada tiga potongan ayat (44,45-47) dari surat al maidah sebagai berikut : Barang siapa yang tidak memutuska dengan apa yang diturunka alloh, maka mereka itu adalah orang-orang kafir..zali...fasik. akan tetapi konteks eksternalnya mengharuskan kita melihat ayat-ayat lainnya yaitu ayat 41-50. Hal ini karena ayat in merupakan satu kesatuan yang utuh, yaitu teks yang terkait dengan konteks. Inilah signifikansi pertama dari pengabaian konteks dalam penakwilan konsep tersebut, karena membagi-bagi teks dan memahami ayat-ayat tersebut secara sepotong-sepotong dengan berhenti pada kalimat wa la taqrabu as shalah ( dan janganlah kalian mendekati “tempat” sholat).
            Konteks yang mengungkapkan format yang melandasi mekanisme-mekanisme pembacaan di atas adalah konteks keresahan yang di alami oleh wacana keagamaan akibat kontradiksi-kontradiksi yang tampak dari makna teks Al-Qur’an dalam surat Luqman ayat 34:
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok[1]. dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
            Wacana keagamaan menganggap adanya pertentangan antara makna “ويعلم فى الارحام” dengan perkembangan alat-alat penelitian medis yang memungkinkan para dokter untuk mengetahui jenis kelamin janin dan pembentukan rupa selama dalam kandungan. Dari perspektif keagamaan tentunya hal ini merupakan kerancuan yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap kebenaran teks Al-Qur`an. Hal ini mempertegas orientasi gerak takwil dari pondasi ilmiah di luar teks, bukannya dari makna teks sebagaimana disangkakan oleh wacana keagamaan.
            Ada beberapa catatan yang harus di kemukakan tentang metode penakwilan ini. Pertama berkaitan dengan motivasi takwil yaitu menghilangkan kerancuan imajinatif dari sisi wacana keagamaan terhadap kebenaran teks Al-Qur`an yang biasanya berasal dari anggapan adanya kontradiksi antara bunyi teks dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang menyebabkan berkembangnya perangkat penelitian dan analogi. Anggapan ini timbul dari pengabaian pada watak teks itu sendiri dan watak agamisnya serta pergumulannya dari perspektif bahwa Al-Qur`an adalah kitab tentang ilmu. Kedua bahwa takwil telah menjauhi konteks ayat dan maknanya untuk memasukkan ke dalam pemahaman hadits nabi yang dianggap si penakwil sebagai tafsiran ayat tersebut. Padahal bunyi hadits senada dengan ayat lain dalam konteks lain yaitu surat Ar-Ra`du ayat 8. Ketiga adalah bahwa penentuan bayi prematur sebagai masa gugurnya pembuahan indung telur pada dinding rahim merupakan penentuan yang perlu dikaji ulang karena makna linguistik kata gaidh sepenuhnya menunjukkan perkiraan disamping bahwa konteks linguistik penggunaannya di dalam ayat tersebut mempertegas (memperkuat) makna ini di mana ilmu tuhan berkaitan dengan gaidh dan ziyadah di dalam rahim. Yang keempat adalah bahwa si penakwil mendasarkan penakwilannya pada gagasan-gagasan nonilmiah meskipun di kemukakan Ibnu Katsir.
            Demikian pula tampak watak ideologis dari takwil ilmiah dan terkuaklah level-level konteks yang diabaikannya mulai dari watak teks itu sendiri sampai pada konteks linguistik. Pengabaian konteks ini menjerumuskan wacana keagamaan pada jurang angan-angan mitologis. Sesungguhnya tidak ada problem jika kita berpijak pada premis bahwa Al-Qur`an bukanlah teks ilmiah yang menawarkan konsep-konsep ilmiah, melainkan teks keagamaan yang memiliki konteks pengetahuan (epistemik) yang melahirkan maknanya.
            Persoalan fundamental lainnya dari wacana keagamaan adalah konsep otoriterisme (الحاكمية) dari sisi takwil yang mengabaikan level konteks eksternal (اسباب النزول)dan konteks internal (linguistik). Di sini yang menjadi penegasan kita adalah dengan memperhatikan konteks dengan berbagai levelnya dan memasukannya dalam proses analisis teks serta penakwilannya, maka dapat memecahkan banyak problem termasuk di dalamnya adalah problem fiqh yang terkait dengan penentuan Nasikh Mansukh bahkan penentuan Asbab An-Nuzul-sebagai salah satu level konteks eksternal- dapat dilakukan dengan menganalisis konteks internal linguistik. Kita lihat bahwa wacana keagamaan dengan berbagai kecenderungannya  (ideologis, ekonomi, sosial maupun politis) berusaha mencengkramkan hegemoninya atas nalar umat dan budayanya. Dia ingin menjadi otoritas kehidupan kita sebagai ideologi tetapi dia menyembunyikan anggapan bahwa otoritas terpresentasikan dalam kuasa teks yang tidak berbunyi kecuali melalui penakwilan.
            Wacana keagamaan berada di persimpangan antara metode pembacaan tendensius- ideologis dan landasan pembacaan literal (tekstual) yang membakukan makna teks pada level makna historis. Pada pembacaan yang pertama wacana agama berpegang teguh pada diktum “teks secara semantis berlaku untuk setiap ruang dan waktu” sedangkan pada pembacaan kedua dia berpegang teguh pada diktum “ujaran dipahami menurut pemahaman mereka ysng hidup sezaman dengan turunnya ujaran tersebut”. Ini dilakukan berdasarkan kedalaman iman generasi pertama di satu sisi, dan hubungan langsung mereka dengan nabi di sisi lainnya.
            Wacana keagamaan tidak hanya bersandarkan pada kedua diktum kontradiktif ini, tetapi secara substansi ia bertitik tolak pada anggapan negatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan keagamaan yang terpisahkan dari bidang-bidang pengetahuan lainnya. Dalam peradaban, pengetahuan keagamaan tidak berkaitan dengan perkembangan kesadaran secara umum, tetapi pada dasarnya berkaitan dengan kadar emosional di satu sisi dan tingkat ketundukan dan kepatuhan dalam ritual keagamaan yang tercantum dalam ibadah di sisi lain
Pembicaraan tentang pengaruh intelektual dan sosial dari pengabaian wacana keagamaan terhadap level-level konteks di dalam penakwilan teks-teks keagamaan mengantarkan kita langsung bukan saja pada krisis pemikiran Arab, tetapi juga pada krisis realitas Arab dengan berbagai levelnya.Di sini kita tidak akan membahas tentang sebab-sebab krisis maupun indikasi-indikasinya atau mendiskusikan akar historisnya akan tetapi kita akan membahas tentang uraian kita tentang pengaruh-pengaruh yang diakibatkan takwilan-takwilan wacana keagamaan terhadap kadar kontribusinya dalam memperdalam krisis. Berbeda dengan klaim wacana keagamaan bahwa dirinyalah yang memiliki kunci bagi semua level krisis. Pengaruh umum yang tampak mencolok pada semua level adalah transformasi teks-teks keagamaan-akibat di keluarkan dari konteks sosiokulturalnya dengan memfokuskan pada sisi penutur teks.
Sesungguhnya jika harus selalu berpijak pada otoritas teks-teks islam, maka pemecahan masalah akan menyebabkan persoalan menjadi semakin kompleks, meski harus diakui bahwa wacana keagamaan telah menyuguhkan solusi yang berguna. Hal ini karena berpijak pada otoritas teks-teks islam di dalam memecahkan persoalan pada dasarnya mengakibatkan terabaikannya hak sesama warga negara, dalam hal ini nonmuslim, dan orang-orang yang berhak memahami teks-teks keagamaan mereka sebagai solusi permasalahan itu sendiri. Karena sesungguhnya pemahaman teks berdasarkan ideologis, sedangkan solusi yang dikemukakan beragam. Maka persoalan tersebut malah bertambah kompleks, karena dalam hal ini kewarganegaraan menjadi tersembunyi karena afiliasi akidah dan menjadi terbuka lebar pintu perpecahan sosial yang pada gilirannya menambah kompleksitas persoalan dan begitupun seterusnya.




















BAB III
KESIMPULAN
Al-Qur`an adalah teks linguistik yang sama dengan teks-teks linguistik lainnya dan tidak mungkin dipahami dan dianalisis  serta diungkap aturan-aturan internalnya, kecuali melalui pengungkapan norma-norma umum tadi yaitu norma-norma pembentukan teks dalam bahasa tertentu dan dalam kerangka kebudayaan itu sendiri.
Level-level konteks eksternal bukan sebatas fakta-fakta asbab an-nuzul, makki madani semata tapi  lebih dari itu level-level tersebut dalam struktur wacana Al-Qur`an sendiri mencakup tingkatan-tingkatan yang sangat kompleks. Sebagai misal terdapat pesapa pertama yaitu Muhammad, Istri istri nabi dan yang lainnya. Level konteks internal diantaranya yaitu konteks ujaran atau konteks wacana.
Hasil-hasil yang diakibatkan metode takwil ini tidak jauh lebih penting dari pembacaan kontemporer atau pembacaan tekstual dan permasalahan kontemporer atau tipe-tipe pembacaan tendensius lainnya. Karena pertama, menentang kemungkinan kemajuan-
kemajuan ilmu setelah masa takwil dan tidak membuka pintu bagi pembacaan-pembacaan selanjutnya dengan lebih maju pada tataran pengetahuan.Kedua, ketika mempertautkan antara cakrawala pengetahuan modern dengan ijtihad-ijtihad penakwilan tradisional, wacana ini tidak tahu bahwa dirinya terjebak pada penanaman prinsip dependensi pada kuasa masa lalu. Sehingga kreativitas selalu tergantung pada kuasa (otoritas) eksternal lainnya bukannya pengalaman dalam pengertian ilmiah dan dinamis. Ketiga, wacana ini tidak hanya turut menyumbat kemungkinan-kemungkinan kreativitas nalar dan ilmu, tetapi mengabadikan dependensi politik, sosial dan intelektual. Karena itu ia mengajarkan generasi-generasi mendatang untuk merusak pengetahuan yang tidak diakui sebagai hasil memahami prosedur-prosedur penciptaannya dan penerapan prosedur-prosedur tersebut tetap diakui sebagai hasil yang memiliki kesamaan.
           






[1] Maksudnya: manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, Namun demikian mereka diwajibkan berusaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post