Makalah
makalah ta’wil dan konsep Kultural Teks
Diajukan sebagai Tugas UTS
Mata Kuliah Bahtsul Kutub Tafsir
Jurusan Tafsir Hadits / 3-B Fakultas Adab Dakwah dan Ushuluddin
Dosen Pengampu :
Disusun
Oleh :
(Nur
Inayah [14123441320])
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam mempelajari Al-Qur’an, tentunya tidak akan terlepas dari kata
Tafsir dan takwil, karena tafsir adalah sebagai penguat penjelasan adapun
takwil tidak jauh berbeda dengan tafsir. khususnya bagi mereka yang memfokuskan
keilmuannya untuk mendalami materi ini. Kata Tafsir sendiri memang sering
digunakan untuk memperjelas dan menerangkan tentang ayat-ayat Al-Qur’an agar
maknanya lebih dapat dimengerti
oleh khalayak pembacanya. Dalam konteks ke-Indonesiaan sendiri, kata Tafsir
sendiri selalu disandingkan dengan Al-Qur’an. Memang kata tersebut mendapatkan
perhatian khusus dalam hal tersebut. Bagi muslim Indonesia sendiri, kata tersebut
memang digunakan untuk memperjelas makna Al-Qur’an, terlebih Al-Qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka penafsiran akan teks tersebut
memang harus dilakukan.
Nasr Hamid Abu Zaid menjelaskan dalam bukunya lebih
banyak membahas tentang kata Ta’wil sendiri dibandingkan dengan kata Tafsir.
Namun kedua kata tersebut memiliki kaitan yang erat bila ditinjau dalam
perspektif bahasa dan budaya Arab.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana definisi takwil menurut Nasr Hamid Abu Zaid ?
2.
Bagaiman menerapkan konsep kultural teks ?
3.
Bagaimana hubunganTakwil dan konsep kultural ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui definisi takwil secara luas.
2.
Mengetahui dan memahami konsep kultural teks.
3.
Mengetahui adanya hubungan antara takwil dengan konsep kultural.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Takwil
Menurut
bahasa Ta’wil berasal dari kata Al-awl artinya kembali atau dari kata Al ma’ah
artinya tempat kembali Al-iysalah yang berarti asy- siyasah
berarti mengatur. Sementara menurut ulama mutaakhirin, takwil adalah
menempatkan suatu lafadz dari makna yang lebih unggul atas makna yang
dibawahnya. Akan tetapi oleh para ulama salaf karena tidak sesuai dengan
pengertian takwil yang sudah dijelaskan Al-Quran.
Menurut Nars Abu Zaid dalam bukunya Mafhum Nash mengatakan, takwil haruslah
berawal dari kesadaran akan idiologi dan subjektivitasnya sendiri, sehinga
keduanya tidak akan mengintervensi proses interpretasi. Untuk mengungkap makna
yang tersembunyi dalam teks, interpreter haruslah mulai dengan sebuah pembacaan
permualaan. Pembacaan ini diikuti oleh pembacaan analitis agar kunci dan
gagasan-gagasan sentral teks terkuak. Melalui gagasan sentral ini, interpreter
menemukan makna tersembunyi lain dan mengembangkan pembacaan-pembacaan baru.
Pembacaan interpretif haruslah didasarkan atas pelibatan total pembaca dalam
dunia teks.
Kata nashsh (teks) menuju analisis takwil berarti beralih dari
wilayah bahasa menuju wilayah budaya menuju wilayah budaya Arab pra-Islam.
Peralihan ini dilakukan dalam rangka mencari konsep teks yang mudah dipahami.
Konsep tersebut merupakan konsep implisit yang dapat menemukan maknanya melalui
analisis terdapat kata takwil. Pada sisi lain kata takwil di dalam al-Qur’an
atau teks Arab yang terpercaya validitasnya terdapat tujuh belas kali,
sebaliknya kata nash tidak ada sama sekali. Hal ini bahwa dengan mencapai
pemahaman tersebut melalui kata takwil, supaya untuk mempermudah dalam
berinteraksi.
Mujahid menegaskan bahwa tafsir
mengacu pada arti dhahir ayat-ayat Al-Qur’an. Sementara takwil mengacu pada
bermacam-macam kemungkinan makna yang di kandung atat Al-Qur’an, dan juga lebih
merujuk kepada makna ayat yang tersembunyi, ayat yang mengandung berbagai
kemungkinan makna yang lain. [1]
B.
Konsep kultural teks
Menurut definisi kontemporer, teks adalah serangkaian tanda-tanda
(bahasa biasa, kata-kata, maupun bahasa lainnya) yang tersusun di dalam suatu
sistem relasi-relasi, yang mengandung pesan dan menghasilkan makna umum.
Dalam buku itu sendiri, di bidang semantik dari kata takwil,
mengandung makna dari kata-kata al-ahlam (impian), ru’ya (impian)
dan al-hadits (pembicaraan-pembicaraan). Dan juga kata-kata lainnya
semisal tafsir dan ta’bir. Kedua kata tersebut memiliki pola relasi semantis
yaitu pola pertama adalah relasi kata kerja dan objek, dan pola
kedua adalah relasi idhafah.
Pola tersebut
jika di gambarkan sebagai berikut :
A
|
B
|
Awwala----------------Ar-ru'ya
|
Ta'wil ar-ru'ya
|
Fassara----------------Ar-ru'ya
|
Tafsir ar-ru'ya
|
Abbara----------------Ar'ru'ya
|
Ta'bir ar-ru'ya
|
Awwala----------------Al-hulm
|
Ta'wil al-hulm
|
Fassara-----------------Al-Hulm
|
Tafsir al-hulm
|
Abbara-----------------Al-hulm
|
Ta'bir al-hulm
|
Awwala----------------Al-hadits
|
Ta'wil al-hadits
|
Fassara-----------------Al-hadits
|
Tafsir al-haidts
|
Kata hulm menunjukkan kata ru’ya di sebut dengan hadits,
di mana kata ini menunjukkan kebersamaan antara pemilik “mimpi” dan orang
lain, yaitu bahwa hadits sama dengan mengubah mimpi dari wilayah tanda-tanda
visual menuju tanda-tanda suarasehingga menuju wilayah bahasa natural (biasa).
Hal ini di perkuat oleh Muhammad bin Jarir ath-Thabari menafsirkan ta’wil
al-hadits dalam surat Yusuf : “mimpi-mimpi yang menjadi perbincangan manusia”,
relasi dari kata tersebut digambarkan sebagai berikut:
Ru’ya hadits al-Hulm
(ta’bir/ta’wil/tafsir) (ta’wil/tafsir) (ta’bir/ta’wil/tafsir)
Namun dalam konsep budaya dalam memahami teks, hal ini dicontohkan
dalam al-Qur’an surat Yusuf yang di
dalamnya menjelaskan tentang mimpi. Untuk lebih mudah memahami teks biasanya
melalui mimpi, karena dari mimpi tersebut bisa diaplikasikan dengan perkataan
yang mengandung al-halm, ar-ra’yi, sehingga menjadi sebuah hadits yang
akan diceritakan. Contohnya yaitu, Yusuf mengatakan kepada Bapaknya “wahai
ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari, dan
bulan; kulihat semuanya bersujud kepadaku. Lalu sang Bapak menjawab: “hai
anakku, janganlah kau ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka
mereka akan membuat makar (untuk membinasakanmu). Sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.” (QS. Yusuf
: 4-5)
Dari ayat di atas dapat di amati bahwa kata ru’yaka berasal
dari pihak audiens/pendengar, jadi tergantung pada apa yang akan di
sampaikan.
Ayat menurut Ath- Thabari mengandung dua sisi didalam bahasa Arab,
pertama dinamakan Ayah lantaran merupakan tanda yang denganya diketahui apa
yang sebelumnya dan permulaanya seperti ayat yang menunjukan sesuatu yang
digantikan sebagaimana syair.
Hal ini tergantung pada pihak pendengar di dalam konteks ini orang
yang bermimpi itu sebagai anak kecil yang kadang tidak mengerti perbedaan
antara ru’yah dan ru’ya secara jelas. Akan tetapi raja ketika
menceritakan mimpinya kepada rakyatnya seraya meminta pendapat mereka, mereka
menjawab “itu adalah mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu
menakbirkan mimpi itu.”(QS. Yusuf ayat 44). Seraya mengganti kata alhalm
dengan kata ru’ya. Kata hadits di dalam wacana al-Qur’an, di dalam
konteks pembicaraan tentang ru’y dan alhalm saja, ini tidak
berhubungan dengan pembicara maupun audiens.
Perbedaan semantis antara ru’yah
dan ru’ya, antara ra’y (melihat) secara visual dan ra’y (pandangan/pendapat)
ilmiah. kata ru’yah seperti ru’ya
menunjukkan efek indriawi secara langsung sebelum berubah menjadi “konsepsi-konsepsi”
yang yunduk pada klasifikasi rasional, yang pada gilirannyanya mengubahnya
menjadi pengetahuan, yakni menjadi “ilmu”.
Dengan demikian, ru’ya dan ahlam di dalam budaya Arab
menjadi teks-teks yang bermakna, dari teks-teks tersebut membutuhkan
penerjemahan kedalam bahasa biasa sebelum menjadi objek takwil atau tafsir.
Teks-teks tersebut sama seperti gambar, atau papan atau sepenggal musik, karena
komposisinya dari serangkaian tanda-tanda non linguistik yang tersusun secara
khusus yang menjadikannya makna yang utuh, tidak lain interaksi makna-makna dari
tanda-tanda di dalam setiap sistem. Semuanya merupakan teks-teks di dalam
bahasa yang tak biasa, hal ini harus memahami pesan (risalah).
Ta’bir ar-ru’ya adalah
pengeluaran apa yang berada dalam khalayan (imajinasi) yang sepadan dengan
ekspresi dari apa yang ada di dalam hati, dari sini kita bisa mengetahui maksud
dari ra’y dan ahlam.
Maksud dari ayat adalah pesan dariku dan kabar tentang ku, makna
ayat-ayat tersebut adalah kisah-kisah mengiringi kisah, dengan pemisah dan penghubung-penghubung.
Jika ayat adalah tanda, teks adalah pesan maka seluruh Wujud di dalam Al-Quran
adalah serangkaian tanda-tanda yang menunjukan
ayat-ayat pada-Nya Allah ke-Esaan-Nya.
C.
Hubungan Takwil dan konsep kultural teks
Sebagaimana
dijelaskan bahwasanya Takwil merupakan salah satu metode yang dilakukan
mengenai pengetahuan secara khusus untuk menggali makna dan hukum agar isi Al-Quran
dapat tersampaikan tanpa mengubah substabsinya, kaitanya dengan konsep kultural
teks Al-Quran yang menjelaskan substansi ayat untuk diaplikasikan dalam
kultural ataupun diterapkan dalam kehidupan.
Selanjutnya, interpreter akan mendapatkan arah teks dengan menganlisis
tranformasi dari pra-al-Quran kepada bahasa religious al-Quran. Hal ini juga
akan membuat interpreter dapat mengenali apa yang historis dan apa yang
temporal dalam teks al-Quran. Karenanya, Abu Zayd menerapkan takwil sebagai
metode penafsiran teks-teks keagamaan, sehingga takwil dapat diartikan dengan
kembali pada asal usul sesuatu, yang dimaksudkan untuk mengungkap makna dan signifikansi
sebuah ayat.
Konsep takwil ini
selalu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks
secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit
teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi.
Dalam salah satu
karyanya Mafhum Nash, Abu Zayd mengemukakan bahwa interpretaasi adalah wajah
lain dari teks. Teks dan interpretasi bagaikan sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan sebagaimana penyatuan antara buku dan huruf, kata-kata dengan pengalaman
pembicara serta kitab suci dan tradisi. Abu Zayd memandang bahwa untuk memahami
realitas kontemporer, harus memahami karakteristik budaya Arab yang memunculkan
sistem nilai yang dilanggengkan sampai saat ini.
Dalam budaya di mana
teks keagamaan menjadi sumber dari pengungkapan pengetahuan, maka pemahaman
tentang nash (teks) menjadi sangat urgen. Menurut Abu Zayd, bahwa makna sentral
teks telah beralih dari makna material menuju makna koseptual dan masuk ke
dalam makna terminologi tanpa mengalami perubahan besar. Sebagaimana makna nash
yang telah menjadi terminologi semantis prosedural yang menunjukkan sebagaimana
yang ditujukan oleh kata itu sendiri membutuhkan penjelasan tersendiri.
Dalam tataran takwil,
digolongkan menjadi 3 level konteks. Pertama, konteks merunut pewahyuan, yakni
konteks historis kronologis pewahyuan yang berubah karena adanya perubahan.
Urutan bacaan surat-surat dan ayat-ayat dalam mushaf al-Quran. Kedua, konteks
pretensi (perintah, larangan, kisah dll). Ketiga, susunan linguistik yang lebih
kompleks dari sekadar gramatikal (pemisahan, pengaitan antara ayat, penghapusan,
dan pengulangan dll).
Banyak ayat Al-Quran
yang mengarahkan manusia untuk membaca ayat-ayat Allah didalam alam, manusia dan dalam dirinya sendiri.
Antaranya saling mendukung antara teks bahasa, alam dan manusia.
Dalam membagi
macam-macam makna, para mutakalimin menjadikan makna linguistik sebagaiman dari
cabang rasional melalui tangkapan-tangkapan indrawi. Karean makna Al-Quran
adalah linguistik, maka mengungkap makna ini dengan menakwilkan tanda-tanda /
ayat-ayat tidak mungkin berahasil melepaskanya dari pemahaman tentang alam.
D.
Tambahan
Al-halm
merupakan sesuatu perilaku, atau sopan santun dalam bertingkah laku. Contohnya
sikap di dalam negara Arab, biasanya menggunakan adat kesopanan dalam
penghormatan, misalnya anak kecil dengan orang dewasa, pastinya berbeda dengan
orang dewasa.
Ta’wil
itu lebih jelas keterangannya di bandingkan dengan tafsir, karena tafsir
merupakan penjelasan kandungan dari ayat, adapun ta’wil merupakan penjelasan
yang lebih mendalam sekaligus dengan metodenya, baik dengan metode tahlili,
ijmali maupun maudu’i.
Konsep/referensi/pikiran
:
·
Menggunakan simbol
·
Fikiran
·
Acuan Referensi
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari penjelasan mengenai takwil dan konsep kultural teks bahwasanya
dalam memahai ayat-ayat Alquran, sangatlah harus memahami ayat tersebut dan
diaktualisasikan kedalam kehidupan. Dalam menjelaskan adanya takwil pada zaman
Nabi, sahabat dan tabiin sangatlah berbeda pada saat ini, karena para mufassir
pada saat ini disesuaikan dalam menafsirkan ayat-ayat kedalam situasi yang sejalan sezaman dan saat ini.
Adapun dalam memahami teks pada konteks kultural teks, hal itu
perlu diketahui adanya al-halm, ar-ra’yi, dan hadits. Supaya kita bisa memahami
maksud dari teks yang di bicarakan karena ketiga kata tersebut saling
berkaitan, jika tidak memahami dari salah satunya maka sulit di pahami oleh
pendengar. Pada intinya pembahasan ini menjelaskan bagaimana agar kita memahami
maksud dari sebuah mimpi kemudian menjadi teks lalu di ceritakan sehingga
menjadi sebuah pembicaraan dari teks tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Zaid Nasr Hamid Abu. 2003. Teks
Otoritas Kebenaran. Jogjakarta: LKiS.
Di unduh jam.15:30, hari selasa tanggal 19/11/2013.
Thameem
Ushama. 2000. metodologi Tafsir Al-Qur’an. Jakarta : Riora Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar