Senin, 09 Mei 2016

Ta'wil



Makalah
 makalah ta’wil dan konsep Kultural Teks

Diajukan sebagai Tugas UTS
Mata Kuliah Bahtsul Kutub Tafsir
Jurusan Tafsir Hadits / 3-B Fakultas Adab Dakwah dan Ushuluddin

Dosen Pengampu  :












Disusun Oleh :
(Nur Inayah [14123441320])







INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam mempelajari Al-Qur’an, tentunya tidak akan terlepas dari kata Tafsir dan takwil, karena tafsir adalah sebagai penguat penjelasan adapun takwil tidak jauh berbeda dengan tafsir. khususnya bagi mereka yang memfokuskan keilmuannya untuk mendalami materi ini. Kata Tafsir sendiri memang sering digunakan untuk memperjelas dan menerangkan tentang ayat-ayat Al-Qur’an agar maknanya lebih dapat dimengerti oleh khalayak pembacanya. Dalam konteks ke-Indonesiaan sendiri, kata Tafsir sendiri selalu disandingkan dengan Al-Qur’an. Memang kata tersebut mendapatkan perhatian khusus dalam hal tersebut. Bagi muslim Indonesia sendiri, kata tersebut memang digunakan untuk memperjelas makna Al-Qur’an, terlebih Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka penafsiran akan teks tersebut memang harus dilakukan.
Nasr Hamid Abu Zaid menjelaskan dalam bukunya lebih banyak membahas tentang kata Ta’wil sendiri dibandingkan dengan kata Tafsir. Namun kedua kata tersebut memiliki kaitan yang erat bila ditinjau dalam perspektif bahasa dan budaya Arab.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi takwil menurut Nasr Hamid Abu Zaid ?
2.      Bagaiman menerapkan konsep kultural teks ?
3.      Bagaimana hubunganTakwil dan konsep kultural ?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui definisi takwil secara luas.
2.      Mengetahui dan memahami konsep kultural teks.
3.      Mengetahui adanya hubungan antara takwil dengan konsep kultural.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Takwil
Menurut bahasa Ta’wil berasal dari kata Al-awl artinya kembali atau dari kata Al ma’ah artinya tempat kembali Al-iysalah yang berarti asy- siyasah berarti mengatur. Sementara menurut ulama mutaakhirin, takwil adalah menempatkan suatu lafadz dari makna yang lebih unggul atas makna yang dibawahnya. Akan tetapi oleh para ulama salaf karena tidak sesuai dengan pengertian takwil yang sudah dijelaskan Al-Quran.
Menurut Nars Abu Zaid dalam bukunya Mafhum Nash mengatakan, takwil haruslah berawal dari kesadaran akan idiologi dan subjektivitasnya sendiri, sehinga keduanya tidak akan mengintervensi proses interpretasi. Untuk mengungkap makna yang tersembunyi dalam teks, interpreter haruslah mulai dengan sebuah pembacaan permualaan. Pembacaan ini diikuti oleh pembacaan analitis agar kunci dan gagasan-gagasan sentral teks terkuak. Melalui gagasan sentral ini, interpreter menemukan makna tersembunyi lain dan mengembangkan pembacaan-pembacaan baru. Pembacaan interpretif haruslah didasarkan atas pelibatan total pembaca dalam dunia teks.
Kata nashsh (teks) menuju analisis takwil berarti beralih dari wilayah bahasa menuju wilayah budaya menuju wilayah budaya Arab pra-Islam. Peralihan ini dilakukan dalam rangka mencari konsep teks yang mudah dipahami. Konsep tersebut merupakan konsep implisit yang dapat menemukan maknanya melalui analisis terdapat kata takwil. Pada sisi lain kata takwil di dalam al-Qur’an atau teks Arab yang terpercaya validitasnya terdapat tujuh belas kali, sebaliknya kata nash tidak ada sama sekali. Hal ini bahwa dengan mencapai pemahaman tersebut melalui kata takwil, supaya untuk mempermudah dalam berinteraksi.
            Mujahid menegaskan bahwa tafsir mengacu pada arti dhahir ayat-ayat Al-Qur’an. Sementara takwil mengacu pada bermacam-macam kemungkinan makna yang di kandung atat Al-Qur’an, dan juga lebih merujuk kepada makna ayat yang tersembunyi, ayat yang mengandung berbagai kemungkinan makna yang lain. [1]

B.     Konsep kultural teks
Menurut definisi kontemporer, teks adalah serangkaian tanda-tanda (bahasa biasa, kata-kata, maupun bahasa lainnya) yang tersusun di dalam suatu sistem relasi-relasi, yang mengandung pesan dan menghasilkan makna umum.
Dalam buku itu sendiri, di bidang semantik dari kata takwil, mengandung makna dari kata-kata al-ahlam (impian), ru’ya (impian) dan al-hadits (pembicaraan-pembicaraan). Dan juga kata-kata lainnya semisal tafsir dan ta’bir. Kedua kata tersebut memiliki pola relasi semantis yaitu pola pertama adalah relasi kata kerja dan objek, dan pola kedua adalah relasi idhafah.
Pola tersebut jika di gambarkan sebagai berikut :
A
B
Awwala----------------Ar-ru'ya
Ta'wil ar-ru'ya
Fassara----------------Ar-ru'ya
Tafsir ar-ru'ya
Abbara----------------Ar'ru'ya
Ta'bir ar-ru'ya
Awwala----------------Al-hulm
Ta'wil al-hulm
Fassara-----------------Al-Hulm
Tafsir al-hulm
Abbara-----------------Al-hulm
Ta'bir al-hulm
Awwala----------------Al-hadits
Ta'wil al-hadits
Fassara-----------------Al-hadits
Tafsir al-haidts
Kata hulm menunjukkan kata ru’ya di sebut dengan hadits, di mana kata ini menunjukkan kebersamaan antara pemilik “mimpi” dan orang lain, yaitu bahwa hadits sama dengan mengubah mimpi dari wilayah tanda-tanda visual menuju tanda-tanda suarasehingga menuju wilayah bahasa natural (biasa). Hal ini di perkuat oleh Muhammad bin Jarir ath-Thabari menafsirkan ta’wil al-hadits dalam surat Yusuf : “mimpi-mimpi yang menjadi perbincangan manusia”, relasi dari kata tersebut digambarkan sebagai berikut:
Ru’ya                               hadits                          al-Hulm
(ta’bir/ta’wil/tafsir)           (ta’wil/tafsir)              (ta’bir/ta’wil/tafsir)
Namun dalam konsep budaya dalam memahami teks, hal ini dicontohkan dalam al-Qur’an surat Yusuf  yang di dalamnya menjelaskan tentang mimpi. Untuk lebih mudah memahami teks biasanya melalui mimpi, karena dari mimpi tersebut bisa diaplikasikan dengan perkataan yang mengandung al-halm, ar-ra’yi, sehingga menjadi sebuah hadits yang akan diceritakan. Contohnya yaitu, Yusuf mengatakan kepada Bapaknya “wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya bersujud kepadaku. Lalu sang Bapak menjawab: “hai anakku, janganlah kau ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka akan membuat makar (untuk membinasakanmu). Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”  (QS. Yusuf : 4-5)   
Dari ayat di atas dapat di amati bahwa kata ru’yaka berasal dari pihak audiens/pendengar, jadi tergantung pada apa yang akan di sampaikan. 
Ayat menurut Ath- Thabari mengandung dua sisi didalam bahasa Arab, pertama dinamakan Ayah lantaran merupakan tanda yang denganya diketahui apa yang sebelumnya dan permulaanya seperti ayat yang menunjukan sesuatu yang digantikan sebagaimana syair.
Hal ini tergantung pada pihak pendengar di dalam konteks ini orang yang bermimpi itu sebagai anak kecil yang kadang tidak mengerti perbedaan antara ru’yah dan ru’ya secara jelas. Akan tetapi raja ketika menceritakan mimpinya kepada rakyatnya seraya meminta pendapat mereka, mereka menjawab “itu adalah mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menakbirkan mimpi itu.”(QS. Yusuf ayat 44). Seraya mengganti kata alhalm dengan kata ru’ya. Kata hadits di dalam wacana al-Qur’an, di dalam konteks pembicaraan tentang ru’y dan alhalm saja, ini tidak berhubungan dengan pembicara maupun audiens.
 Perbedaan semantis antara ru’yah dan ru’ya, antara ra’y (melihat) secara visual dan ra’y (pandangan/pendapat) ilmiah. kata  ru’yah seperti ru’ya menunjukkan efek indriawi secara langsung sebelum berubah menjadi “konsepsi-konsepsi” yang yunduk pada klasifikasi rasional, yang pada gilirannyanya mengubahnya menjadi pengetahuan, yakni menjadi “ilmu”.
Dengan demikian, ru’ya dan ahlam di dalam budaya Arab menjadi teks-teks yang bermakna, dari teks-teks tersebut membutuhkan penerjemahan kedalam bahasa biasa sebelum menjadi objek takwil atau tafsir. Teks-teks tersebut sama seperti gambar, atau papan atau sepenggal musik, karena komposisinya dari serangkaian tanda-tanda non linguistik yang tersusun secara khusus yang menjadikannya makna yang utuh, tidak lain interaksi makna-makna dari tanda-tanda di dalam setiap sistem. Semuanya merupakan teks-teks di dalam bahasa yang tak biasa, hal ini harus memahami pesan (risalah).
Ta’bir ar-ru’ya adalah pengeluaran apa yang berada dalam khalayan (imajinasi) yang sepadan dengan ekspresi dari apa yang ada di dalam hati, dari sini kita bisa mengetahui maksud dari ra’y dan ahlam.
Maksud dari ayat adalah pesan dariku dan kabar tentang ku, makna ayat-ayat tersebut adalah kisah-kisah mengiringi kisah, dengan pemisah dan penghubung-penghubung. Jika ayat adalah tanda, teks adalah pesan maka seluruh Wujud di dalam Al-Quran adalah serangkaian tanda-tanda yang menunjukan  ayat-ayat  pada-Nya Allah ke-Esaan-Nya.

C.    Hubungan Takwil dan konsep kultural teks
            Sebagaimana dijelaskan bahwasanya Takwil merupakan salah satu metode yang dilakukan mengenai pengetahuan secara khusus untuk menggali makna dan hukum agar isi Al-Quran dapat tersampaikan tanpa mengubah substabsinya, kaitanya dengan konsep kultural teks Al-Quran yang menjelaskan substansi ayat untuk diaplikasikan dalam kultural ataupun diterapkan dalam kehidupan.
            Selanjutnya, interpreter akan mendapatkan arah teks dengan menganlisis tranformasi dari pra-al-Quran kepada bahasa religious al-Quran. Hal ini juga akan membuat interpreter dapat mengenali apa yang historis dan apa yang temporal dalam teks al-Quran. Karenanya, Abu Zayd menerapkan takwil sebagai metode penafsiran teks-teks keagamaan, sehingga takwil dapat diartikan dengan kembali pada asal usul sesuatu, yang dimaksudkan untuk mengungkap makna dan signifikansi sebuah ayat.
Konsep takwil ini selalu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi.
Dalam salah satu karyanya Mafhum Nash, Abu Zayd mengemukakan bahwa interpretaasi adalah wajah lain dari teks. Teks dan interpretasi bagaikan sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana penyatuan antara buku dan huruf, kata-kata dengan pengalaman pembicara serta kitab suci dan tradisi. Abu Zayd memandang bahwa untuk memahami realitas kontemporer, harus memahami karakteristik budaya Arab yang memunculkan sistem nilai yang dilanggengkan sampai saat ini.
Dalam budaya di mana teks keagamaan menjadi sumber dari pengungkapan pengetahuan, maka pemahaman tentang nash (teks) menjadi sangat urgen. Menurut Abu Zayd, bahwa makna sentral teks telah beralih dari makna material menuju makna koseptual dan masuk ke dalam makna terminologi tanpa mengalami perubahan besar. Sebagaimana makna nash yang telah menjadi terminologi semantis prosedural yang menunjukkan sebagaimana yang ditujukan oleh kata itu sendiri membutuhkan penjelasan tersendiri.
Dalam tataran takwil, digolongkan menjadi 3 level konteks. Pertama, konteks merunut pewahyuan, yakni konteks historis kronologis pewahyuan yang berubah karena adanya perubahan. Urutan bacaan surat-surat dan ayat-ayat dalam mushaf al-Quran. Kedua, konteks pretensi (perintah, larangan, kisah dll). Ketiga, susunan linguistik yang lebih kompleks dari sekadar gramatikal (pemisahan, pengaitan antara ayat, penghapusan, dan pengulangan dll).
            Banyak ayat Al-Quran yang mengarahkan manusia untuk membaca ayat-ayat Allah didalam  alam, manusia dan dalam dirinya sendiri. Antaranya saling mendukung antara teks bahasa, alam dan manusia.
            Dalam membagi macam-macam makna, para mutakalimin menjadikan makna linguistik sebagaiman dari cabang rasional melalui tangkapan-tangkapan indrawi. Karean makna Al-Quran adalah linguistik, maka mengungkap makna ini dengan menakwilkan tanda-tanda / ayat-ayat tidak mungkin berahasil melepaskanya dari pemahaman tentang alam.

D.    Tambahan
Al-halm merupakan sesuatu perilaku, atau sopan santun dalam bertingkah laku. Contohnya sikap di dalam negara Arab, biasanya menggunakan adat kesopanan dalam penghormatan, misalnya anak kecil dengan orang dewasa, pastinya berbeda dengan orang dewasa.
Ta’wil itu lebih jelas keterangannya di bandingkan dengan tafsir, karena tafsir merupakan penjelasan kandungan dari ayat, adapun ta’wil merupakan penjelasan yang lebih mendalam sekaligus dengan metodenya, baik dengan metode tahlili, ijmali maupun maudu’i.
Konsep/referensi/pikiran :
·         Menggunakan simbol
·         Fikiran
·         Acuan Referensi




























BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari penjelasan mengenai takwil dan konsep kultural teks bahwasanya dalam memahai ayat-ayat Alquran, sangatlah harus memahami ayat tersebut dan diaktualisasikan kedalam kehidupan. Dalam menjelaskan adanya takwil pada zaman Nabi, sahabat dan tabiin sangatlah berbeda pada saat ini, karena para mufassir pada saat ini disesuaikan dalam menafsirkan ayat-ayat kedalam  situasi yang sejalan sezaman dan saat ini.
Adapun dalam memahami teks pada konteks kultural teks, hal itu perlu diketahui adanya al-halm, ar-ra’yi, dan hadits. Supaya kita bisa memahami maksud dari teks yang di bicarakan karena ketiga kata tersebut saling berkaitan, jika tidak memahami dari salah satunya maka sulit di pahami oleh pendengar. Pada intinya pembahasan ini menjelaskan bagaimana agar kita memahami maksud dari sebuah mimpi kemudian menjadi teks lalu di ceritakan sehingga menjadi sebuah pembicaraan dari teks tersebut.












DAFTAR PUSTAKA
Zaid Nasr Hamid Abu. 2003. Teks Otoritas Kebenaran. Jogjakarta: LKiS.
Di unduh jam.15:30, hari selasa tanggal 19/11/2013.
Thameem Ushama. 2000. metodologi Tafsir Al-Qur’an. Jakarta : Riora Cipta.


[1] Thameem Ushama, metodologi Tafsir Al-Qur’an, Jakarta : Riora Cipta, 2000, hal. 4-5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post