BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai kitab
suci dan pedoman hidup manusia mempunyai karakteristik yang terbuka untuk
ditafsirkan. Ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an
sebagai respon umat islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak
pernah berhenti atau pun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis
mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan
munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an.
Pembagian madzhab
penafsiran menjadi tiga periode yaitu, klasik, pertengahan dan kontemporer
agaknya didasarkan dan paradigma yang mendasari masing-masing periode tersebut.
Dalam makalah ini akan
menguraikan madzhab tafsir pada periode pertegahan yang mengisyaratkan bahwa sistem dan pola
penafsiran periode ini tidak lepas dari perkembangan pemikiran manusia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
saja sumber tafsir afirmatif nalar ideologis?
2.
Siapa
sajakah tokoh-tokoh yang menganut madzhab afirmatif nlar ideologis?
3.
Bagaimanakah
karakteristik tafsir afirmatif nalar ideologis?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
sumber tafsir afirmatif nalar ideologis.
2.
Mengetahui
tokoh-tokoh madzab tafsir afirmatif nalar ideologis.
3.
Mengetahui
karakterristik tafsir afirmatif nalar ideologis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber Tafsir Afirmatif Nalar Ideologis
Sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16
Hijriah yang ditandai dengan munculnya produk penafsiran yang lebih sistematis,
terutama dengan terkodifikasinya banyak karya tafsir. Dalam peta sejarah
pemikiran Islam, priode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan bagi ilmu
pengetahuan. Priode ini, salah satunya, ditandai dengan berkembang pesatnya
forum diskusi antar ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat,
kalam, dan hadits. Hal ini mengundang adanya justifikasi kebenaran dari
masing-masing pihak, khususnya tentang Al-Qur’an. Inilah yang menurut Abdul
Mustaqim menjadi suatu “embrio” akan saratnya kepentingan subjektif yang
mewarnai produk tafsir pada masa ini. Terlebih lagi ketika pemerintah mendukung
madzhab atau aliran tertentu, karena kuatnya pengaruh pemerintah dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.[1]
Rosulullah Saw. adalah orang pertama yang berhak untuk menafsirkan
al-Qur`an, karena pada masa Nabi saw. persoalan yang berkaitan dengan persoalan
umat bisa langsung ditanyakan kepada beliau. Lain halnya penafsiran pada masa
pertengahan ini dipergunakan beberapa pendekatan diantaranya:
Al-Qur`an merupakan sumber rujukan utama bagi kaum muslimin di
dunia, karena sesuai dengan fitrahya Al-Qur`an adalah pedoman utama bagi
manusia. Segala problem kehidupan dibahas dalam Al-Qur`an, sehingga banyak
kajian terhadap Al-Qur`an yang lebih menekankan pada penjelasan serta
penafsiran makna-makna ayat Al-Qur`an dibanding kajian yang lain yang
berhubungan dengan Al-Qur`an seperti kajian tentang ilmu qira`at,
nasikh-mansukh, munasabah, dan asbab an-nuzul.[2]
Sumber rujukan yang ke dua dalam menafsiri Al-Qur`an yaitu hadits.
Hadits merupakan penguat dalam menafsirkan ayat Al-Qur`an sehingga penukilan
hadits dari Rosul saw. harus shohih. Tidak diperbolehkan penafsiran dilakukan
dengan mengambil hadis yang dhoif maupun maudhu. Jika seorang mufassir
Al-Qur`an mendapatkan tafsir yang shohih dari Rosulullah saw., maka tidak boleh
mengambil yang lain dan haram menafsiri dengan ra`yunya. Karena Rosulullah saw.
ditugasi oleh Allah untuk menjelaskan kepada umat manusia apa yang diturunkan
oleh Allah kepadanya. Maka meninggalkan riwayat (tafsir) yang shohih dari Nabi
saw. dan menggunakan ra`yu tergolong tafsir
birra`yi yang dilarang.[3]
Pemahaman dan ijtihad merupakan pendekatan para mufassir dalam
menafsirkan Al-Qur`an. Pendekatan ini hanya dilakukan jika mereka tidak
menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitab Allah dan juga tidak menemukan dari
penjelasan Nabi saw.[4]
Apa yang dinukil dari Rosululah saw. dan
dari sahabat tidak mencakup semua ayat. Yang ditafsiri hanyalah yang sulit
dipahami saja karena dengan kian menjauhnya umat manusia dari masa Rosulullah
saw. Maka para ulama menggeluti tafsir dari lingkungan tabi`in dianggap sebagai
penyempurna kekurangan dan penyelesaian masalah yang sulit dipecahkan.
Para ulama menetapkan syarat yang harus dimiliki oleh yang ingin
menafsiri Al-Qur`an dengan ra`yu yaitu harus menguasai sejumlah disiplin ilmu
agar tidak terjebak dalam kesalahan dan
tidak tergolong bicara tentang Allah tanpa ilmu. Ilmu yang harus dimiliki
oleh ahli tafsir :[5]
1.
Ilmu
lughoh (bahasa)
Dengannya sang penafsir Al-Qur`an dapat menguraikan kedudukan dan
makna kata sesuai dengan kaidah bahasa.
2.
Ilmu
Nahwu karena makna sartu kata berbaeda
dengan perubahan posisi.
3.
Ilmu
shorof (perubahan kata) Dengannya seseorang mengetahui struktur dan bentuk kata
atau kalimat.
4.
Ilmu
Isytiqaq (pecahan kata) suatu isim ia pecahannya dari dua kata benda maka akan
beda pula.
5.
Ilmu
qira`at (bacaan) Dengan mengetahui ilmu ini, sang penafsir al-Qur`an akan bisa
mentarjih (memilih yang lebih kuat) dari qiroat yang ada.
6.
Ilmu
usuludin atau ilmu kalam, ilmu usul fiqih, ilmu asbab an-nuzul, imu al-qisos,
ilmu nasikh mansukh, ilmu mauhibah.
Dari ilmu yang disebut diatas tidak mencakup semua ilmu yang dibutuhan
dalam tafsir, karena Al-Qur`an mencakup
berita umat-umat terdahulu dan peristiwa masa lalu sehingga masih banyak ilmu
untuk dapat mendalaminya .
B.
Tokoh-Tokoh Mufasir Priode Pertengahan[6]
Sebelum para mufasir memulai
aktifitas penafsirannya, terlebih dahulu mereka telah menekuni suatu disiplin
ilmu tertentu secara khusus dengan paham atau madzhab tertentu. Berangkat dari
hal tersebut muncullah berbagai tokoh mufasir sesuai dengan disiplin ilmu yang
ia tekuni dan atau madzhab yang ia anut. Al Farra misalnya, adalah seorang ahli
dalam disiplin ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran Abbasiyah pendukung
Mu’tazilah. Ibnu Jarir ath-Thabari disamping sebagai tokoh sejarawan muslim,
secara teologis ia posisinya mirip al-asy’ari yang cenderung mengambil jalan
tengah antara ahli hadits dan rasonalis mu’tazilah. Sedangkan az-Zamakhsyari
adalah ahli bahasa dan sastra yang terlahir di daerah basis kaum mu’tazilah
sehingga ikatan emosionalnya dengan mu’tazilah tidak dapat disangkal ikut
berpengaruh. Masih dalam wilayah tafsir yang bernuansa teologis tetapi dari
aliran lain, tampilah Fahruddin ar-Razi, seorang mutakallim Asy’ariah yang juga
ahli dalam bidang filsafat. Dari kelompok ini tampil pula al-Baidawi yang
berusaha merespon capaian az-Zamkhsari dan ar-Razi. Dalam wilayah pendukung
fiqh beserta madzhab-madzhabnya, muncul al Khiya’ al-Harasi dari Madzhab
Syafi’i, al-Qurtubi dan Ibn al–‘Arabi dari Madzhab Maliki, al-Jashshash dari
Madzhab Hanafi. Sedang dari kalangan sufi, tampil Ibn ‘Arabi, seorang
propagandis teori wihdatu wujud dalam tasawuf.
Dari kalangan filosof , juga tampil ahli-ahli filsafat Islam yang berkepentingan untuk menjustifikasi gagasan filsafatnya dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Tokoh tasawuf praktis diawali oleh al-Alusi seorang pendukung Thariqah Naqshabandiyah. Dari kalangan Syi’ah tampil Mula Muhsin al-Rasi, Abu ‘Ali al-Thabarsi, juga al-Syaukani yang mewakili teologi Syi’ah Zaydiyah. Dari para ahli kisah atau ahl al-atsar ada Ibnu Katsir, al-Tsa’labi dan Abdurrahman al-Tsa’labi. Demikian pula yang ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin Al-Mahalli, Al-Nisaburi, al-Qadhi Abdul Jabbar dan masih banyak lagi Mufassir yang memiliki disiplin ilmu tertentu.
Dari kalangan filosof , juga tampil ahli-ahli filsafat Islam yang berkepentingan untuk menjustifikasi gagasan filsafatnya dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Tokoh tasawuf praktis diawali oleh al-Alusi seorang pendukung Thariqah Naqshabandiyah. Dari kalangan Syi’ah tampil Mula Muhsin al-Rasi, Abu ‘Ali al-Thabarsi, juga al-Syaukani yang mewakili teologi Syi’ah Zaydiyah. Dari para ahli kisah atau ahl al-atsar ada Ibnu Katsir, al-Tsa’labi dan Abdurrahman al-Tsa’labi. Demikian pula yang ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin Al-Mahalli, Al-Nisaburi, al-Qadhi Abdul Jabbar dan masih banyak lagi Mufassir yang memiliki disiplin ilmu tertentu.
C.
Karakteristik Tafsir Firmatif Nalar
Ideologis[7]
Tafsir merupakan salah satu bentuk
usaha pemikiran dan pengkajian Al-Qur`an oleh manusia yang dilingkupi oleh
suasana dan kondisi tertentu sehingga mempengaruhi corak dan karakteristik
produk tafsir tersebut. Sebagaimana karya tafsir yang dihasilkan oleh para
sahabat dan tabiin era klasik yang memiliki kekhususan, maka karya tafsir pada
masa pertengahan ini pun demikian. Diantara karakteristik tersebut adalah:
1. Adanya
gagasan asing dalam tafsir
Dengan memperhatikan latar belakang
sang mufasir menjadi mudah kiranya untuk dimengerti bahwa hal tesebut telah
membawa pada penyusunan tafsir sesuai dengan karakter mufasir. Inilah yang
menyebabkan adanya pemaksaan, baik disengaja maupun tidak, gagasan “asing”
dalam karya tafsirnya. Yang dimaksud gagasan asing disini adalah pemaksaan
kehendak pemahaman teks sesuai dengan penguasaan ilmu, aliran, atau madzhab
sang mufasir yang dirasa jauh dari konteks sebenarnya. Contohnya; dalam tafsir
al-Kasyaf karya az-Zamkhsyari, ketika ia menafsirkan QS. al-Qiyamah ayat 22-23;
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23)
Artinya:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka Melihat.”
Dalam ayat tersebut Az-Zamakhsyari
mengesampingkan makna dzahir kata nadzirah yang berarti melihat, sebab menurut
paham mu’tazilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Dan ayat tersebut dimasukannya
ke dalam katagori ayat mutasyabihat. Contoh yang lain, Al-Baidhawi dalam Anwar
Al Tanzil Wa Asrar al-Tawil, berupaya untuk memegang pandangan kaum sunni, yang
menjadi madzhab yang dianutnya, dalam menafsirkan makna iman dan munafik pada
QS. Al Baqarah ayat 2-3. Meskipun sebelumnya ia menjelaskan juga makna kedua
kata tersebut menurut kaum Mu’tazilah dan Khawarij, namun pada akhirnya beliau
mentarjih pandangan madzhab ahli sunah.
2. Banyaknya Pengulangan
penjelasan
Contoh yang dihadirkan dalam hal ini
adalah sebagaimana yang disebutkan oleh
Abdul Mustaqim, terhadap kitab tafsir Mafatih al-Gaib karya Ar-Razi yang
sering mendiskusikan tentang hal-hal seputar paham jabariah dan qadariah pada
hampir setiap surat.
3. Bersifat
Parsial (Atomistik)
Tafsir pada masa ini umumnya
menggunakan metode tahlili atau tajzi’i yang kecenderungan utamanya
memperlakukan Al-Qur`an secara atomistik. Salah satu Contohnya adalah
penjelasan Al Farra dalam Ma’anil Qur’an pada QS. Al Fatihah yang hanya
terkonsentrasikan pada susunan gramatikal bahasa semisal lafadz alif pada
Basmalah, I’rab lafad Ghair dan makna La dalam potongan ayat terakhir (Wala al
dhallin) daripada menjelaskan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Ketiga karakteristik tersebut secara
tersurat menandakan ciri kelemahan atau sisi negatif dari karya-karya tafsir
pada era pertengahan. Disamping itu, corak dan keberagaman penafsiran Al-Qur’an
pada masa ini mengisyaratkan akan kekayaan khazanah pemikiran umat islam yang
digali dari al-Qur`an.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada abad pertengahan, tradisi penafsiran Al-Qur`an lebih
didominasi oleh kepentingan politik, madzhab, atau ideologi keilmuan tertentu,
sehingga Al-Qur`an seringkali diperlakukan sekedar sebagai legitimasi
(benar-benar) bagi kepentingan tersebut.
Al Qur’an sebagai pedoman tershahih
milik umat Islam mesti menjadi pemecah permasalahan hidup, dunia dan akhirat.
Melalui penafsiran Al-Qur`an umat islam bisa hidup sejalur dengan zaman yang
semakin maju dan berkembang sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an.
DAFTAR PUSTAKA
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Nun Pustaka.
2003.
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein. Ensikloedia Tafsir Jilid 1. Jakarta
Pusat: Kalam Mulia. 2010.
Al-Munawar,
Said Agil Husin. Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta 2002.
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: LKIS. 2010.
[1] Abdul Mustaqim. Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka),
, 2003
[2]
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, yogyakarta: LKIS. 2010.
[3]
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Ensikloedia Tafsir Jilid 1, hlm. 257.
[4]
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, hlm.
67. Th. 2002
[5] Op.
Cit., Muhammad Husein Adz-Dzahabi.
[6]
Op. Cit., Abdul Mustqim. 2003.
[7] Op. Cit., Abdul Mustaqim. 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar