Senin, 09 Mei 2016

Tafsir Era Afirmatif



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia mempunyai karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan. Ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagai respon umat islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti atau pun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an.
Pembagian madzhab penafsiran menjadi tiga periode yaitu, klasik, pertengahan dan kontemporer agaknya didasarkan dan paradigma yang mendasari masing-masing periode tersebut.
Dalam makalah ini akan menguraikan madzhab tafsir pada periode pertegahan yang  mengisyaratkan bahwa sistem dan pola penafsiran periode ini tidak lepas dari perkembangan pemikiran manusia.
B.      Rumusan Masalah
1.       Apa saja sumber tafsir afirmatif nalar ideologis?
2.       Siapa sajakah tokoh-tokoh yang menganut madzhab afirmatif nlar ideologis?
3.       Bagaimanakah karakteristik tafsir afirmatif nalar ideologis?

C.      Tujuan Masalah
1.       Mengetahui sumber tafsir afirmatif nalar ideologis.
2.       Mengetahui tokoh-tokoh madzab tafsir afirmatif nalar ideologis.
3.       Mengetahui karakterristik tafsir afirmatif nalar ideologis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sumber Tafsir Afirmatif Nalar Ideologis

Sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16 Hijriah yang ditandai dengan munculnya produk penafsiran yang lebih sistematis, terutama dengan terkodifikasinya banyak karya tafsir. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, priode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan bagi ilmu pengetahuan. Priode ini, salah satunya, ditandai dengan berkembang pesatnya forum diskusi antar ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat, kalam, dan hadits. Hal ini mengundang adanya justifikasi kebenaran dari masing-masing pihak, khususnya tentang Al-Qur’an. Inilah yang menurut Abdul Mustaqim menjadi suatu “embrio” akan saratnya kepentingan subjektif yang mewarnai produk tafsir pada masa ini. Terlebih lagi ketika pemerintah mendukung madzhab atau aliran tertentu, karena kuatnya pengaruh pemerintah dalam perkembangan ilmu pengetahuan.[1]
Rosulullah Saw. adalah orang pertama yang berhak untuk menafsirkan al-Qur`an, karena pada masa Nabi saw. persoalan yang berkaitan dengan persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada beliau. Lain halnya penafsiran pada masa pertengahan ini dipergunakan beberapa pendekatan diantaranya:  
Al-Qur`an merupakan sumber rujukan utama bagi kaum muslimin di dunia, karena sesuai dengan fitrahya Al-Qur`an adalah pedoman utama bagi manusia. Segala problem kehidupan dibahas dalam Al-Qur`an, sehingga banyak kajian terhadap Al-Qur`an yang lebih menekankan pada penjelasan serta penafsiran makna-makna ayat Al-Qur`an dibanding kajian yang lain yang berhubungan dengan Al-Qur`an seperti kajian tentang ilmu qira`at, nasikh-mansukh, munasabah, dan asbab an-nuzul.[2]
Sumber rujukan yang ke dua dalam menafsiri Al-Qur`an yaitu hadits. Hadits merupakan penguat dalam menafsirkan ayat Al-Qur`an sehingga penukilan hadits dari Rosul saw. harus shohih. Tidak diperbolehkan penafsiran dilakukan dengan mengambil hadis yang dhoif maupun maudhu. Jika seorang mufassir Al-Qur`an mendapatkan tafsir yang shohih dari Rosulullah saw., maka tidak boleh mengambil yang lain dan haram menafsiri dengan ra`yunya. Karena Rosulullah saw. ditugasi oleh Allah untuk menjelaskan kepada umat manusia apa yang diturunkan oleh Allah kepadanya. Maka meninggalkan riwayat (tafsir) yang shohih dari Nabi saw. dan menggunakan ra`yu tergolong tafsir  birra`yi yang dilarang.[3]
Pemahaman dan ijtihad merupakan pendekatan para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur`an. Pendekatan ini hanya dilakukan jika mereka tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitab Allah dan juga tidak menemukan dari penjelasan Nabi saw.[4]
    Apa yang dinukil dari Rosululah saw. dan dari sahabat tidak mencakup semua ayat. Yang ditafsiri hanyalah yang sulit dipahami saja karena dengan kian menjauhnya umat manusia dari masa Rosulullah saw. Maka para ulama menggeluti tafsir dari lingkungan tabi`in dianggap sebagai penyempurna kekurangan dan penyelesaian masalah yang sulit dipecahkan.                                                                                                                                                                                                            
Para ulama menetapkan syarat yang harus dimiliki oleh yang ingin menafsiri  Al-Qur`an dengan ra`yu  yaitu harus menguasai sejumlah disiplin ilmu agar tidak  terjebak dalam kesalahan dan tidak tergolong bicara tentang Allah tanpa ilmu. Ilmu yang harus dimiliki oleh  ahli tafsir :[5]
1.       Ilmu lughoh (bahasa)
Dengannya sang penafsir Al-Qur`an dapat menguraikan kedudukan dan makna kata sesuai dengan kaidah bahasa.
2.       Ilmu Nahwu  karena makna sartu kata berbaeda dengan perubahan posisi.
3.       Ilmu shorof (perubahan kata) Dengannya seseorang mengetahui struktur dan bentuk kata atau kalimat.
4.       Ilmu Isytiqaq (pecahan kata) suatu isim ia pecahannya dari dua kata benda maka akan beda pula.
5.       Ilmu qira`at (bacaan) Dengan mengetahui ilmu ini, sang penafsir al-Qur`an akan bisa mentarjih (memilih yang lebih kuat) dari qiroat yang ada. 
6.       Ilmu usuludin atau ilmu kalam, ilmu usul fiqih, ilmu asbab an-nuzul, imu al-qisos, ilmu nasikh mansukh, ilmu mauhibah.
Dari ilmu yang disebut diatas tidak mencakup semua ilmu yang dibutuhan dalam  tafsir, karena Al-Qur`an mencakup berita umat-umat terdahulu dan peristiwa masa lalu sehingga masih banyak ilmu untuk dapat mendalaminya . 
B.      Tokoh-Tokoh Mufasir Priode Pertengahan[6]
Sebelum para mufasir memulai aktifitas penafsirannya, terlebih dahulu mereka telah menekuni suatu disiplin ilmu tertentu secara khusus dengan paham atau madzhab tertentu. Berangkat dari hal tersebut muncullah berbagai tokoh mufasir sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni dan atau madzhab yang ia anut. Al Farra misalnya, adalah seorang ahli dalam disiplin ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran Abbasiyah pendukung Mu’tazilah. Ibnu Jarir ath-Thabari disamping sebagai tokoh sejarawan muslim, secara teologis ia posisinya mirip al-asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadits dan rasonalis mu’tazilah. Sedangkan az-Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan sastra yang terlahir di daerah basis kaum mu’tazilah sehingga ikatan emosionalnya dengan mu’tazilah tidak dapat disangkal ikut berpengaruh. Masih dalam wilayah tafsir yang bernuansa teologis tetapi dari aliran lain, tampilah Fahruddin ar-Razi, seorang mutakallim Asy’ariah yang juga ahli dalam bidang filsafat. Dari kelompok ini tampil pula al-Baidawi yang berusaha merespon capaian az-Zamkhsari dan ar-Razi. Dalam wilayah pendukung fiqh beserta madzhab-madzhabnya, muncul al Khiya’ al-Harasi dari Madzhab Syafi’i, al-Qurtubi dan Ibn al–‘Arabi dari Madzhab Maliki, al-Jashshash dari Madzhab Hanafi. Sedang dari kalangan sufi, tampil Ibn ‘Arabi, seorang propagandis teori wihdatu wujud dalam tasawuf.
                Dari kalangan filosof , juga tampil ahli-ahli filsafat Islam yang berkepentingan untuk menjustifikasi gagasan filsafatnya dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Tokoh tasawuf praktis diawali oleh al-Alusi seorang pendukung Thariqah Naqshabandiyah. Dari kalangan Syi’ah tampil Mula Muhsin al-Rasi, Abu ‘Ali al-Thabarsi, juga al-Syaukani yang mewakili teologi Syi’ah Zaydiyah. Dari para ahli kisah atau ahl al-atsar ada Ibnu Katsir, al-Tsa’labi dan Abdurrahman al-Tsa’labi. Demikian pula yang ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin Al-Mahalli, Al-Nisaburi, al-Qadhi Abdul Jabbar dan masih banyak lagi Mufassir yang memiliki disiplin ilmu tertentu.
C.         Karakteristik Tafsir Firmatif Nalar Ideologis[7]
Tafsir merupakan salah satu bentuk usaha pemikiran dan pengkajian Al-Qur`an oleh manusia yang dilingkupi oleh suasana dan kondisi tertentu sehingga mempengaruhi corak dan karakteristik produk tafsir tersebut. Sebagaimana karya tafsir yang dihasilkan oleh para sahabat dan tabiin era klasik yang memiliki kekhususan, maka karya tafsir pada masa pertengahan ini pun demikian. Diantara karakteristik tersebut adalah:
1.       Adanya gagasan asing dalam tafsir
Dengan memperhatikan latar belakang sang mufasir menjadi mudah kiranya untuk dimengerti bahwa hal tesebut telah membawa pada penyusunan tafsir sesuai dengan karakter mufasir. Inilah yang menyebabkan adanya pemaksaan, baik disengaja maupun tidak, gagasan “asing” dalam karya tafsirnya. Yang dimaksud gagasan asing disini adalah pemaksaan kehendak pemahaman teks sesuai dengan penguasaan ilmu, aliran, atau madzhab sang mufasir yang dirasa jauh dari konteks sebenarnya. Contohnya; dalam tafsir al-Kasyaf karya az-Zamkhsyari, ketika ia menafsirkan QS. al-Qiyamah ayat 22-23;
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23)
Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.”
Dalam ayat tersebut Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna dzahir kata nadzirah yang berarti melihat, sebab menurut paham mu’tazilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Dan ayat tersebut dimasukannya ke dalam katagori ayat mutasyabihat. Contoh yang lain, Al-Baidhawi dalam Anwar Al Tanzil Wa Asrar al-Tawil, berupaya untuk memegang pandangan kaum sunni, yang menjadi madzhab yang dianutnya, dalam menafsirkan makna iman dan munafik pada QS. Al Baqarah ayat 2-3. Meskipun sebelumnya ia menjelaskan juga makna kedua kata tersebut menurut kaum Mu’tazilah dan Khawarij, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan madzhab ahli sunah.

2. Banyaknya Pengulangan penjelasan
Contoh yang dihadirkan dalam hal ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh  Abdul Mustaqim, terhadap kitab tafsir Mafatih al-Gaib karya Ar-Razi yang sering mendiskusikan tentang hal-hal seputar paham jabariah dan qadariah pada hampir setiap surat.
3.       Bersifat Parsial (Atomistik)
Tafsir pada masa ini umumnya menggunakan metode tahlili atau tajzi’i yang kecenderungan utamanya memperlakukan Al-Qur`an secara atomistik. Salah satu Contohnya adalah penjelasan Al Farra dalam Ma’anil Qur’an pada QS. Al Fatihah yang hanya terkonsentrasikan pada susunan gramatikal bahasa semisal lafadz alif pada Basmalah, I’rab lafad Ghair dan makna La dalam potongan ayat terakhir (Wala al dhallin) daripada menjelaskan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Ketiga karakteristik tersebut secara tersurat menandakan ciri kelemahan atau sisi negatif dari karya-karya tafsir pada era pertengahan. Disamping itu, corak dan keberagaman penafsiran Al-Qur’an pada masa ini mengisyaratkan akan kekayaan khazanah pemikiran umat islam yang digali dari al-Qur`an.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Pada abad pertengahan, tradisi penafsiran Al-Qur`an lebih didominasi oleh kepentingan politik, madzhab, atau ideologi keilmuan tertentu, sehingga Al-Qur`an seringkali diperlakukan sekedar sebagai legitimasi (benar-benar) bagi kepentingan tersebut.
Al Qur’an sebagai pedoman tershahih milik umat Islam mesti menjadi pemecah permasalahan hidup, dunia dan akhirat. Melalui penafsiran Al-Qur`an umat islam bisa hidup sejalur dengan zaman yang semakin maju dan berkembang sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an.










DAFTAR PUSTAKA
Mustaqim, Abdul.  Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Nun Pustaka. 2003.
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein. Ensikloedia Tafsir Jilid 1. Jakarta Pusat: Kalam Mulia. 2010.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.  Jakarta 2002.
Mustaqim, Abdul.  Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: LKIS. 2010.



[1] Abdul  Mustaqim.  Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka), , 2003
[2] Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, yogyakarta: LKIS. 2010.
[3] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Ensikloedia Tafsir Jilid 1, hlm. 257.
[4] Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, hlm. 67. Th. 2002
[5] Op. Cit., Muhammad Husein Adz-Dzahabi.
[6] Op. Cit., Abdul Mustqim. 2003.
[7]  Op. Cit., Abdul Mustaqim. 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post