Senin, 09 Mei 2016

Tafsir Era Formatif




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pada kajian terhadap Al-Qur’an ditekankan pada bagaimana menyingkap dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dan ada pula kajian Al-Qur’an dari aspek lain yang dilakukan dalam rangka menunjang pengembangan dari kajian tafsir itu sendiri. Olehnya itu, muncul keperluan untuk menafsirkannya sebab kandungan ayat-ayat didalam Al-quran masih membutuhkan penjelasan, agar tidak hanya memahami Al-quran itu hanya sebagai tulisan dan kitab suci saja, melainkan memahami yang sedalam-dalamnya bahwa Alquran merupakan pedoman yang utama dalam hidup.
Seseorang yang ingin mengetahui tafsir harus bersungguh-sungguh dan memiliki semangat yang besar untuk mengkaji khasanah keislaman yang tersimpan didalam kitab-kitab klasik, khususnya kitab-kitab tafsir dan hadist. Sebagai umat Islam yang ingin memahami Alquran, setidaknya harus menggunakan beberapa metode penafsiran dan untuk itu harus kembali memperhatikan dari sumber-sumber tafsir itu sendiri.
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sumber tafsir yang digunakan pada masa Rasulullah, sahabat dan tabi’in ?
2.    Apa yang digunakan dalam metode penafsiran pada era formatif dengan nalar quasi-kritis ?
3.    Siapakah tokoh-tokoh Tafsir dari kalangan sahabat ?
4.    Bagaimana karakteristik penafsiran pada masa Rasulullah dan sahabat ? 






BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Tafsir 
Secara etimologi kata tafsir berarti al-kasyaf (menyingkap makna yang tersembunyi), al-idhah (menerangkan), dan al-ibanah (menjelaskan). Dari makna ini dimaksudkan untuk memahami dan menjelaskan firman Allah
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ
33.  Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya[1067].
[1067]  Maksudnya: setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata.
Secara kategoris tafsir terbagi menjadi dua pengertian yaitu :
a.    Tafsir sebagai produk
Tafsir yang merupakan hasil dialektika seorang mufassir dengan teks dan konteks yang melingkupinya, yang kemudian di tulis dalam kitab-kitab tafsir baik secara lengkap maupun hanya sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an.
b.    Tafsir sebagai proses
Aktivitas berfikir yang terus menerus dilakukan untuk mendialogkan teks Al-Qur’an dengan relitas kehidupan yang berkembang. Oleh karena itu, tafsir ini bersifat dinamis karena memang untuk menghidupkan teks dan konteks yang terus berubah dan berkembang. Tafsir ini telah banyak dilakukan oleh para pengkaji Al-Qur’an baik dari kalangan muslim maupun orientalis. Pada perkembangan epistemologi tafsir ini, telah berkembang menjadi 3 pokok perspektif yaitu :
a)    Tafsir era formatif dengan nalar quasi-kritis.
b)   Tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis.
c)    Tafsir era reformatif dengan kritis.
B.  Tafsir Era Formatif dengan Nalar Quasi-Kritis.
Tafsir era formatif yang berbasis pada nalar quasi-kritis sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad hingga abad ke2 H. Nalar quasi kritis yang dimaksud disini adalah sebuah cara berfikir yang kurang memaksimalkan rasio dalam menafsirkan Al-Qur’an dan juga belum mengemukakan budaya kritisme, model berfikir ini di tandai dengan :
a.       Penggunaan simbol-simbol tokoh untuk mengatasi persoalan, pada konteks simbol penafsiran ini yaitu nabi dan para sahabat sebagai rujukan utama dalam penafsiran Al-Qur’an
b.      Cenderung kurang kritis dalam menerima produk penafsiran, menghindari hal-hal yang konkrit dan realitis dan berpegang pada hal-hal yang abstrak metafisis. Dalam konteks penafsiran, Al-Qur’an sebagai subjek, sedangkan realitas dan penafsirannya sebagai objek. Oleh karena itu, pada era formatif ini dominan menggunakan model tafsir bi ar-riwayah.
Nalar quasi-kritis dalam konteks penafsiran Nabi tidak dimaksudkn untuk menunjukan kesan negatif, tetapi sekedar menunjukan bahwa penafsiran Nabi tidak pernah salah dan dipercaya dengan tanpa kritis. Ada suatu keyakinan yang kuat bahwa seluruh tafsir nabi berdasarkan wahyu sebagaimana dalam firman Allah Q.S an-Najm : 3-4, padahal sebenarnya tidak semua yang keluar dari ucapan nabi adalah wahyu sebab nabi juga sama berijtihad.
Dengan demikian, nalar quasi kritis cenderung menggunakan otoritas dan ketokohan Nabi, sahabat, juga tabi’in dimana validitas sebuah penafsiran diukur berdasarkan ketokohannya.
C.  Sumber Tafsir pada Masa Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in
Wahyu adalah menunjukkan informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang-orang tertentu tanpa diketahui oleh orang lain. Alquran secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu seperti dalam Al-qur’an surah al-Syura/42: 51.
“Alquran tidak mengandung wahyu lain, sehingga dapat dikatakan bahwa Alquran adalah bentuk wahyu yang paling tinggi. Dalam Q.s. al-Syu’ara/26: 192-196 Allah berfirman:
Sehubungan dengan pembahasan tentang sumber tafsir, baik Alquran maupun hadis-hadist, yang keduanya dapat dijadikan sebagai sumber. Hal ini ditunjukkan antara lain dalam hadis dari Mas’ud yang menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, dan Banyak hadits yang merupakan penjelasan terhadap beberapa ayat yang musykil seperti firman Allah :
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ  
82.  Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Diriwayatkan dari ibn Mas’ud bahwa ketika para sahabat merasa berat mendengar turunnya ayat ini, kemudian  mereka berkata: siapa diantara kami yang tidak menzalimi diri sendiri ? kemudian Nabi berkata : bukan kezaliman seperti itu namun kezaliman dalam arti berbuat syirik. Kemudian dalam Al-Qur’an dijelaskan pada Q.S. Luqman : 13 “ sesungguhnya syirik adalah kezalimna yang besar ”.
Pada masa itu, penafsiran Nabi masih bersifat global karena peradaban Arab saat itu adalah peradaban lisan dan periwayatan bukan peradaban tulisan dan penalaran. Nabi Muhammad juga belum merumuskan metodologi tafsir secara sistematis sehingga tradisi penafsiran saat itu masih bersifat praktis. Para sahabat tidak pernah melakukan kritik terhadap penafsiran Nabi. Nabi Muhammad sangat aktif terlibat dalam proses penafsiran Al-Qur’an, tetapi tidak semua ayat Al-Qur’an ditafsirkan oleh beliau, penafsiran ini dilakukan oleh Nabi untuk menjelaskan ayat yang dianggap musykil oleh sebagian sahabat. Ketika itu seorang sahabat yaitu Adi bin Hatim memahami ayat Q.S. al-Baqarah 187 ini secara tekstual. Jadi ayat tersebut menjelaskan bahwa kebolehan seseorang untuk makan dan minum di malam bulan Ramadhan hingga munculnya fajar di waktu subuh.
Diantara para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan Alquran, disamping menggunakan hadis-hadis Nabi, mereka juga berijtihad dalam menetapkan maksud suatu ayat. Hal ini mereka lakukan karena mereka telah mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Arab, mengetahui tentang sebab-sebab suatu ayat yang diturunkan, mengetahui adat istiadat Arab Jahiliah dan tentang cerita-cerita Israiliyah dan sebagainya.
Dalam Al-qur’anpun di jelasakan, bahwa Israiliyat adalah berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum muslimin banyak mengambil cerita dari Israiliyat, sebab Nabi Muhammad saw sendiri pernah berkata: “Bila dikisahkan kepadamu tentang ahli kitab, janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta”. Maksudnya adalah supaya kaum muslimin menyelidiki lebih dahulu tentang kebenaran cerita-cerita yang dikemukakan oleh ahli kitab. Setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai kebenaran. Kisah tentang Isra’iliyat” itu terus berkembang sesuai dengan pemikiran manusia,  dikalangan para ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa Isra’iliyat merupakan informasi-informasi yang tidak ada dasarnya sama sekali dan hanya sekedar manipulasi yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam yang sengaja menyeludupkan pada tafsir untuk merusak akidah umat Islam.
D.  Metode Penafsiran  
Metode tafsir Nabi SWT  kebanyakan itu menjelaskan ayat yang masih global, ayat yang masih musykil (sulit difahami). Metode para sahabat untuk menafsirkan Al-Qur’an ketika para sahabat tidak menemukan riwayat adalah dengan menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lainnya yang mempunyai relevansi. Sebab ada keyakinan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu saling menafsirkan satu dengan yang lainnya yang kemudian melahirkan model tafsir maudhu’i (tematik). Setelah berakhirnya masa sahabat, kemudian tradisi penafsiran di lanjutkan masa tabi’in yang pola penafsirannya relatif sama tetapi ada yang membedakan hanya pada persoalan sektarianisme. Pada masa tabi’in sudah muncul aliran tafsir berdasarkan kawasan, para mufassir dari kalangan tabi’in menyebar ke beberapa daerah.
E.   Tokoh-Tokoh Tafsir dari Kalangan Sahabat
Pada zaman sahabat terkenal beberapa orang penafsir al-Quran seperti: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Abdullah bin Zubair, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-As’ari dan Aisyah.
khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka'ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-'Asy'ari dan Abdullah bin Zubair. Dan dari kalangan khalifah empat yang paling banyak dikenal riwayatnya tentang tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a. sedang dari tiga khalifah yang lain hanya sedikit sekali, karena mereka lebih terdahulu wafatnya.

Pada masa tabi’in ada 3 aliran penafsiran yaitu :
1.    Aliran Makkah yang dipelopori oleh
Sa’id bin Jubair (w. 712/713 M)
‘Ikrimah (w. 723 M)
Mujahid ibn Jabr ( w. 722 M)  mereka semua berguru pada sahabat ibn Abbas
2.    Aliran Madinah yang dipelopori oleh
Muhammad ibn Ka’b (w. 735 M)
Zayd ibn Aslam al-Qurazhi (w. 735 M)
Abu ‘Aliyah (w. 708 M) mereka berguru sama sahabat Ubay ibn Ka’b
3.    Aliran Irak yang dipelopori oleh
‘Alqomah ibn Qays (w. 720 M)
‘Amir as-Sya’bi (w. 723 M)
Hasan al-Bashri (w. 738 M)
Qatadah ibn Di’amah as-Sadusi (w. 735 M)  mereka berguru pada sahabat Abdullah bin Mas’ud.
Sementara ada ulama yang menambahkan yaitu aliran Bashrah yang di pengaruhi oleh aliran Makkah dan tokoh-tokohnya yaitu Ibn Sirin, Jabir ibn Zayd al-Azdi dan Abu Syaa’Sya’.
Pada penafsiran aliran Makkah dan Madinah cenderung bercorak tradisional yang lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan aliran irak cenderung bercorak rasional yang memunculkan model tafsir bi ar-ra’yi. Karena kondisi geografis Irak jauh dari Madinah sehingga cenderung menggunakan ra’yu (ijtihad) ketika tidak ditemukan riwayat.
Tafsir pada era Nabi, sahabat dan permulaan masa tabi’in sebagai tafsir periode pertama yaitu sebelum dikodifikasikannya kitab-kitab hadits dan tafsir secara mandiri. Ketika itu tafsir masih digabung dengan hadits dan dihimpun dalam satu bab dan kebanyakan tafsir yang ditulis adalah tafsir bi al-ma’tsur. Oleh karena itu dahulu ilmu tafsir dan hadits disebut sebagai al-‘ulum an-naqliyyah (ilmu-ilmu periwayatan) untuk membedakan dengan al-‘ulum an—‘aqliyah (ilmu-ilmu rasional) seperti ilmu filsafat dan matematika. Sedangkan periode kedua bermula pada masa kodifikasi hadits secara resmi pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, dan periode ini berlanjut hingga munculnya kodifikasi tafsir secara khusus dan terpisah dari hadits. Periode ketiga terjadi pada era pasca tabi’in atau generasi atba’at-tabi’in dan para tokoh pada periode ini antara lain :
a.    Yazid as-Sulami (w. 117 H)
b.    Sufyan ibn ;Uyainah (w.. 198 H)
c.    Syu’’bah ibn ‘Ubadah (w.205 H)
d.   Abdur Razaq ibn Hammam (w. 211 H)
Pada masa inilah pembukuan tafsir dilakukan secara khusus, yang dimulai pada akhir masa Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah. 
Antara masa sahabat dan tabi’in terjadi pergeseran mengenai rujukan penafsiran, para sahabat tidak tertarik menggunakan riwayat israiliyyat dari ahli kitabnya, tapi para tabi’in mulai banyak menggunakan sumber riwayat israiliyyat sebagai rujukan penafsiran terutama untuk menafsirkan ayat-ayat kisah dimana Al-Qur’an hanya menceritakan secara global. Hal ini banyaknya ahli kitab yang masuk islam dan juga para tabi’in yang ingin mencari informasi lebih jelas tentang kisah-kisah yang masih bersifat global. Tradisi penafsiran pada masa Nabi, sahabat, dan tabi’in merupakan awal pertumbuhan dan pembentukan tafsir sehingga dikategorikan sebagai era formatif. Pada era ini Al-Qur’an justru relatif masih sangat terbuka untuk ditafsirkan dan belum banyak klaim-klaim kufur terhadap orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara berbeda dari pemikiran yang ada.
John Wansbrough memetakan karya-karya tafsir yang muncul di era formatif klasik menjadi lima jenis yaitu :
1.    Tafsir Naratif
Yaitu tafsir yang penjelasannya disertai dengan ulasan disekitar konteks turunnya ayat. Contohnya tafsir karya Sulaiman ibn Muqatil ( w. 767 M)
2.    Tafsir legal
Yaitu tafsir yang sangat kental nuansa hukumnya. Contoh tafsir karya Sulaiman ibn Muqatil
3.    Tafsir Tekstual
Yaitu tafsir yang lebih fokus pada uraian tentang aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan al-Qur’an. Contoh tafsir Ma’ani Al-Qur’an karya al-Fara’ tafsir ini juga menjelaskan berbagai problem gramatika dan tekstual ayat Al-Qur’an ini contoh modelnya tafsir Fadha’il Al-Qur’an karya Abu Ubayd (w. 838 M).
4.    Tafsir Retorik
Yaitu tafsir yang lebih menonjolkan uraian tentang retorika dan sastra Al-Qur’an, seperti tafsir Majaz Al-Qur’an karya Abu ‘Ubaydah (w.824 M)
5.    Tafsir Alegoris
Yaitu tafsir yng mencoba mengungkapkan makna simbolik Al-Qur’an. Contohnya tafsir sufistik karya at-Tutsari (w. 898 M)
F.     Karaktristik Penafsiran pada Masa Rasulullah dan Sahabat
Tafsir-tafsir yang muncul di era formatif-klasik masih sangat kental dengan nalar bayani yang bersifat deduktif, dimana teks Al-Qur’an menjadi dasar penafsiran dan bahasa menjadi peranngkat analisisnya. Nashr Hamid menyebutkan peradaban Arab sebagai peradaban teks. Tradisi penafsiran era formatif cenderung menggunakan model nalar quasi-kritis, ciri-ciri dari nalar ini adalah penggunakan metode periwayatan, simbol-simbol tokoh, menghindari rasio, dan minimnya budaya kritisme dalam menafsirkan Al-Qur’an serta menggunakan riwayat-riwayat israiliyyat (yang tidak jelas kebenarannya) namun diterima sebagai kebenaran.
  
    















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Penafsiran era formatif yang menggunakan nalar quasi-kritis, adalah penggunakan metode periwayatan, kurang memaksimalkan rasio, tradisi penafsiran masih bersifat praktis dan minimnya budaya kritisme dalam menafsirkan Al-Qur’an serta menggunakan riwayat-riwayat israiliyyat. Dengan demikian, nalar quasi kritis cenderung menggunakan otoritas dan ketokohan Nabi, sahabat, juga tabi’in dimana validitas sebuah penafsiran diukur berdasarkan ketokohannya.
Setiap individu menyadari bahwa teks Alquran diwahyukan dan disampaikan pada umat Nabi Muhammad dengan redaksi yang singkat, padat dan akurat dapat memberikan jawaban yang tepat terhadap persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Namun tidak semua petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dapat diterapkan secara langsung di tengah-tengah masyarakat karena banyak di antara ayat-ayat Alquran yang tidak memuat informasi yang rinci, terutama berkenaan dengan masalah sosial keagamaan dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu diperlukan suatu penafsiran yang tepat dan komprehensif sesuai kebutuhan zaman.















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim. Efistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis.
Muhammad Husein adz-dzahabi. Ensiklopedia tafsir. Jakarta. 2010 : Radar Jaya ofset  jil 1 cet 1.
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir. Cet. I;Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Wahid, Marzuki, Studi Al-Quran Kotemporer.2005. Bandung: CV Pustaka Setia, cet 1



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post