BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
kajian terhadap Al-Qur’an ditekankan pada bagaimana menyingkap dan menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an dan ada pula kajian Al-Qur’an dari aspek lain yang
dilakukan dalam rangka menunjang pengembangan dari kajian tafsir itu sendiri. Olehnya itu, muncul keperluan untuk menafsirkannya sebab kandungan
ayat-ayat didalam Al-quran masih membutuhkan penjelasan, agar tidak hanya
memahami Al-quran itu hanya sebagai tulisan dan kitab suci saja, melainkan
memahami yang sedalam-dalamnya bahwa Alquran merupakan pedoman yang utama dalam
hidup.
Seseorang yang ingin mengetahui tafsir harus bersungguh-sungguh dan
memiliki semangat yang besar untuk mengkaji khasanah keislaman yang tersimpan
didalam kitab-kitab klasik, khususnya kitab-kitab tafsir dan hadist. Sebagai
umat Islam yang ingin memahami Alquran, setidaknya harus menggunakan beberapa
metode penafsiran dan untuk itu harus kembali memperhatikan dari sumber-sumber
tafsir itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sumber tafsir yang digunakan pada masa Rasulullah,
sahabat dan tabi’in ?
2.
Apa yang digunakan dalam metode penafsiran pada era formatif dengan
nalar quasi-kritis ?
3.
Siapakah tokoh-tokoh Tafsir dari kalangan sahabat ?
4.
Bagaimana karakteristik penafsiran pada masa Rasulullah dan sahabat
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir
Secara etimologi kata tafsir berarti al-kasyaf (menyingkap makna
yang tersembunyi), al-idhah (menerangkan), dan al-ibanah (menjelaskan). Dari
makna ini dimaksudkan untuk memahami dan menjelaskan firman Allah
wur
y7tRqè?ù't
@@sVyJÎ/
wÎ)
y7»oY÷¥Å_
Èd,ysø9$$Î/
z`|¡ômr&ur
#·Å¡øÿs?
ÇÌÌÈ
33.
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya[1067].
[1067] Maksudnya: setiap
kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh
berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata.
Secara kategoris tafsir terbagi menjadi dua pengertian yaitu :
a.
Tafsir sebagai produk
Tafsir yang merupakan hasil dialektika seorang mufassir dengan teks
dan konteks yang melingkupinya, yang kemudian di tulis dalam kitab-kitab tafsir
baik secara lengkap maupun hanya sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an.
b.
Tafsir sebagai proses
Aktivitas berfikir yang terus menerus dilakukan untuk mendialogkan
teks Al-Qur’an dengan relitas kehidupan yang berkembang. Oleh karena itu, tafsir
ini bersifat dinamis karena memang untuk menghidupkan teks dan konteks yang
terus berubah dan berkembang. Tafsir ini telah banyak dilakukan oleh para
pengkaji Al-Qur’an baik dari kalangan muslim maupun orientalis. Pada
perkembangan epistemologi tafsir ini, telah berkembang menjadi 3 pokok
perspektif yaitu :
a)
Tafsir era formatif dengan nalar quasi-kritis.
b)
Tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis.
c)
Tafsir era reformatif dengan kritis.
B.
Tafsir Era Formatif dengan Nalar Quasi-Kritis.
Tafsir era formatif yang berbasis pada nalar quasi-kritis sudah
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad hingga abad ke2 H. Nalar quasi kritis yang
dimaksud disini adalah sebuah cara berfikir yang kurang memaksimalkan rasio
dalam menafsirkan Al-Qur’an dan juga belum mengemukakan budaya kritisme, model
berfikir ini di tandai dengan :
a.
Penggunaan simbol-simbol tokoh untuk mengatasi persoalan, pada
konteks simbol penafsiran ini yaitu nabi dan para sahabat sebagai rujukan utama
dalam penafsiran Al-Qur’an
b.
Cenderung kurang kritis dalam menerima produk penafsiran,
menghindari hal-hal yang konkrit dan realitis dan berpegang pada hal-hal yang
abstrak metafisis. Dalam konteks penafsiran, Al-Qur’an sebagai subjek,
sedangkan realitas dan penafsirannya sebagai objek. Oleh karena itu, pada era
formatif ini dominan menggunakan model tafsir bi ar-riwayah.
Nalar quasi-kritis dalam konteks penafsiran Nabi tidak dimaksudkn
untuk menunjukan kesan negatif, tetapi sekedar menunjukan bahwa penafsiran Nabi
tidak pernah salah dan dipercaya dengan tanpa kritis. Ada suatu keyakinan yang
kuat bahwa seluruh tafsir nabi berdasarkan wahyu sebagaimana dalam firman Allah
Q.S an-Najm : 3-4, padahal sebenarnya tidak semua yang keluar dari ucapan nabi
adalah wahyu sebab nabi juga sama berijtihad.
Dengan demikian, nalar quasi kritis cenderung menggunakan otoritas
dan ketokohan Nabi, sahabat, juga tabi’in dimana validitas sebuah penafsiran
diukur berdasarkan ketokohannya.
C.
Sumber Tafsir pada Masa Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in
Wahyu adalah menunjukkan informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus
ditujukan kepada orang-orang tertentu tanpa diketahui oleh orang lain. Alquran
secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu seperti dalam Al-qur’an surah
al-Syura/42: 51.
“Alquran tidak mengandung wahyu lain, sehingga dapat dikatakan bahwa
Alquran adalah bentuk wahyu yang paling tinggi. Dalam Q.s. al-Syu’ara/26:
192-196 Allah berfirman:
Sehubungan dengan pembahasan tentang sumber tafsir, baik Alquran maupun
hadis-hadist, yang keduanya dapat dijadikan sebagai sumber. Hal ini ditunjukkan
antara lain dalam hadis dari Mas’ud yang menyatakan bahwa ketika ayat ini
diturunkan, dan Banyak hadits
yang merupakan penjelasan terhadap beberapa ayat yang musykil seperti firman
Allah :
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
óOs9ur
(#þqÝ¡Î6ù=t
OßguZ»yJÎ)
AOù=ÝàÎ/
y7Í´¯»s9'ré&
ãNßgs9
ß`øBF{$#
Nèdur
tbrßtGôgB
ÇÑËÈ
82. Orang-orang yang beriman
dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah
yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Diriwayatkan dari ibn Mas’ud bahwa ketika para sahabat merasa berat
mendengar turunnya ayat ini, kemudian mereka
berkata: siapa diantara kami yang tidak menzalimi diri sendiri ? kemudian Nabi
berkata : bukan kezaliman seperti itu namun kezaliman dalam arti berbuat
syirik. Kemudian dalam Al-Qur’an dijelaskan pada Q.S. Luqman : 13 “
sesungguhnya syirik adalah kezalimna yang besar ”.
Pada masa itu, penafsiran Nabi masih bersifat global karena
peradaban Arab saat itu adalah peradaban lisan dan periwayatan bukan peradaban
tulisan dan penalaran. Nabi Muhammad juga belum merumuskan metodologi tafsir
secara sistematis sehingga tradisi penafsiran saat itu masih bersifat praktis.
Para sahabat tidak pernah melakukan kritik terhadap penafsiran Nabi. Nabi
Muhammad sangat aktif terlibat dalam proses penafsiran Al-Qur’an, tetapi tidak
semua ayat Al-Qur’an ditafsirkan oleh beliau, penafsiran ini dilakukan oleh Nabi
untuk menjelaskan ayat yang dianggap musykil oleh sebagian sahabat. Ketika itu
seorang sahabat yaitu Adi bin Hatim memahami ayat Q.S. al-Baqarah 187 ini
secara tekstual. Jadi ayat tersebut menjelaskan bahwa kebolehan seseorang untuk
makan dan minum di malam bulan Ramadhan hingga munculnya fajar di waktu subuh.
Diantara para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan Alquran, disamping
menggunakan hadis-hadis Nabi, mereka juga berijtihad dalam menetapkan maksud
suatu ayat. Hal ini mereka lakukan karena mereka telah mengetahui tentang
hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Arab, mengetahui tentang sebab-sebab
suatu ayat yang diturunkan, mengetahui adat istiadat Arab Jahiliah dan tentang
cerita-cerita Israiliyah dan sebagainya.
Dalam Al-qur’anpun di jelasakan, bahwa Israiliyat adalah berita yang
berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum muslimin banyak mengambil
cerita dari Israiliyat, sebab Nabi Muhammad saw sendiri pernah berkata: “Bila
dikisahkan kepadamu tentang ahli kitab, janganlah dibenarkan dan jangan pula
dianggap dusta”. Maksudnya adalah supaya kaum muslimin menyelidiki lebih dahulu
tentang kebenaran cerita-cerita yang dikemukakan oleh ahli kitab. Setelah nyata
kebenarannya barulah diambil sebagai kebenaran. Kisah tentang Isra’iliyat” itu
terus berkembang sesuai dengan pemikiran manusia, dikalangan para ahli tafsir ada yang
berpendapat bahwa Isra’iliyat merupakan informasi-informasi yang tidak ada
dasarnya sama sekali dan hanya sekedar manipulasi yang dilakukan oleh musuh-musuh
Islam yang sengaja menyeludupkan pada tafsir untuk merusak akidah umat Islam.
D. Metode
Penafsiran
Metode tafsir Nabi SWT kebanyakan
itu menjelaskan ayat yang masih global, ayat yang masih musykil (sulit
difahami). Metode para
sahabat untuk menafsirkan Al-Qur’an ketika para sahabat tidak menemukan riwayat
adalah dengan menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lainnya yang
mempunyai relevansi. Sebab ada keyakinan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu saling
menafsirkan satu dengan yang lainnya yang kemudian melahirkan model tafsir
maudhu’i (tematik). Setelah berakhirnya masa sahabat, kemudian tradisi
penafsiran di lanjutkan masa tabi’in yang pola penafsirannya relatif sama
tetapi ada yang membedakan hanya pada persoalan sektarianisme. Pada masa
tabi’in sudah muncul aliran tafsir berdasarkan kawasan, para mufassir dari
kalangan tabi’in menyebar ke beberapa daerah.
E.
Tokoh-Tokoh Tafsir dari Kalangan Sahabat
Pada zaman sahabat terkenal beberapa orang penafsir al-Quran seperti: Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Abdullah bin Zubair, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-As’ari dan Aisyah.
khalifah
yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay
Ibnu Ka'ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-'Asy'ari dan Abdullah bin Zubair. Dan
dari kalangan khalifah empat yang paling banyak dikenal riwayatnya tentang
tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a. sedang dari tiga khalifah yang lain hanya
sedikit sekali, karena mereka lebih terdahulu wafatnya.
Pada
masa tabi’in ada 3 aliran penafsiran yaitu :
1.
Aliran Makkah yang dipelopori oleh
Sa’id
bin Jubair (w. 712/713 M)
‘Ikrimah
(w. 723 M)
Mujahid
ibn Jabr ( w. 722 M) mereka semua
berguru pada sahabat ibn Abbas
2.
Aliran Madinah yang dipelopori oleh
Muhammad
ibn Ka’b (w. 735 M)
Zayd
ibn Aslam al-Qurazhi (w. 735 M)
Abu
‘Aliyah (w. 708 M) mereka berguru sama sahabat Ubay ibn Ka’b
3.
Aliran Irak yang dipelopori oleh
‘Alqomah
ibn Qays (w. 720 M)
‘Amir
as-Sya’bi (w. 723 M)
Hasan
al-Bashri (w. 738 M)
Qatadah
ibn Di’amah as-Sadusi (w. 735 M) mereka
berguru pada sahabat Abdullah bin Mas’ud.
Sementara ada ulama yang menambahkan yaitu aliran Bashrah yang di
pengaruhi oleh aliran Makkah dan tokoh-tokohnya yaitu Ibn Sirin, Jabir ibn Zayd
al-Azdi dan Abu Syaa’Sya’.
Pada penafsiran aliran Makkah dan Madinah cenderung bercorak
tradisional yang lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan aliran irak
cenderung bercorak rasional yang memunculkan model tafsir bi ar-ra’yi. Karena
kondisi geografis Irak jauh dari Madinah sehingga cenderung menggunakan ra’yu
(ijtihad) ketika tidak ditemukan riwayat.
Tafsir pada era Nabi, sahabat dan permulaan masa tabi’in sebagai
tafsir periode pertama yaitu sebelum dikodifikasikannya kitab-kitab hadits dan
tafsir secara mandiri. Ketika itu tafsir masih digabung dengan hadits dan
dihimpun dalam satu bab dan kebanyakan tafsir yang ditulis adalah tafsir bi
al-ma’tsur. Oleh karena itu dahulu ilmu tafsir dan hadits disebut sebagai al-‘ulum
an-naqliyyah (ilmu-ilmu periwayatan) untuk membedakan dengan al-‘ulum
an—‘aqliyah (ilmu-ilmu rasional) seperti ilmu filsafat dan matematika. Sedangkan
periode kedua bermula pada masa kodifikasi hadits secara resmi pada
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, dan periode ini berlanjut hingga munculnya
kodifikasi tafsir secara khusus dan terpisah dari hadits. Periode ketiga
terjadi pada era pasca tabi’in atau generasi atba’at-tabi’in dan para tokoh
pada periode ini antara lain :
a.
Yazid as-Sulami (w. 117 H)
b.
Sufyan ibn ;Uyainah (w.. 198 H)
c.
Syu’’bah ibn ‘Ubadah (w.205 H)
d.
Abdur Razaq ibn Hammam (w. 211 H)
Pada masa inilah pembukuan tafsir dilakukan secara khusus, yang
dimulai pada akhir masa Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah.
Antara masa sahabat dan tabi’in terjadi pergeseran mengenai rujukan
penafsiran, para sahabat tidak tertarik menggunakan riwayat israiliyyat dari ahli
kitabnya, tapi para tabi’in mulai banyak menggunakan sumber riwayat israiliyyat
sebagai rujukan penafsiran terutama untuk menafsirkan ayat-ayat kisah dimana
Al-Qur’an hanya menceritakan secara global. Hal ini banyaknya ahli kitab yang
masuk islam dan juga para tabi’in yang ingin mencari informasi lebih jelas
tentang kisah-kisah yang masih bersifat global. Tradisi penafsiran pada masa
Nabi, sahabat, dan tabi’in merupakan awal pertumbuhan dan pembentukan tafsir
sehingga dikategorikan sebagai era formatif. Pada era ini Al-Qur’an justru
relatif masih sangat terbuka untuk ditafsirkan dan belum banyak klaim-klaim
kufur terhadap orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara berbeda dari pemikiran
yang ada.
John Wansbrough memetakan karya-karya tafsir yang muncul di era
formatif klasik menjadi lima jenis yaitu :
1.
Tafsir Naratif
Yaitu
tafsir yang penjelasannya disertai dengan ulasan disekitar konteks turunnya
ayat. Contohnya tafsir karya Sulaiman ibn Muqatil ( w. 767 M)
2.
Tafsir legal
Yaitu
tafsir yang sangat kental nuansa hukumnya. Contoh tafsir karya Sulaiman ibn
Muqatil
3.
Tafsir Tekstual
Yaitu
tafsir yang lebih fokus pada uraian tentang aspek-aspek leksikon dalam ragam
bacaan al-Qur’an. Contoh tafsir Ma’ani Al-Qur’an karya al-Fara’ tafsir ini juga
menjelaskan berbagai problem gramatika dan tekstual ayat Al-Qur’an ini contoh
modelnya tafsir Fadha’il Al-Qur’an karya Abu Ubayd (w. 838 M).
4.
Tafsir Retorik
Yaitu
tafsir yang lebih menonjolkan uraian tentang retorika dan sastra Al-Qur’an, seperti
tafsir Majaz Al-Qur’an karya Abu ‘Ubaydah (w.824 M)
5.
Tafsir Alegoris
Yaitu
tafsir yng mencoba mengungkapkan makna simbolik Al-Qur’an. Contohnya tafsir
sufistik karya at-Tutsari (w. 898 M)
F.
Karaktristik Penafsiran pada Masa Rasulullah dan Sahabat
Tafsir-tafsir yang muncul di era formatif-klasik masih sangat
kental dengan nalar bayani yang bersifat deduktif, dimana teks Al-Qur’an
menjadi dasar penafsiran dan bahasa menjadi peranngkat analisisnya. Nashr Hamid
menyebutkan peradaban Arab sebagai peradaban teks. Tradisi penafsiran era
formatif cenderung menggunakan model nalar quasi-kritis, ciri-ciri dari nalar
ini adalah penggunakan metode periwayatan, simbol-simbol tokoh, menghindari
rasio, dan minimnya budaya kritisme dalam menafsirkan Al-Qur’an serta menggunakan
riwayat-riwayat israiliyyat (yang tidak jelas kebenarannya) namun diterima
sebagai kebenaran.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penafsiran era formatif yang menggunakan nalar quasi-kritis, adalah
penggunakan metode periwayatan, kurang memaksimalkan rasio, tradisi penafsiran
masih bersifat praktis dan minimnya budaya kritisme dalam menafsirkan Al-Qur’an
serta menggunakan riwayat-riwayat israiliyyat. Dengan demikian, nalar quasi
kritis cenderung menggunakan otoritas dan ketokohan Nabi, sahabat, juga tabi’in
dimana validitas sebuah penafsiran diukur berdasarkan ketokohannya.
Setiap individu
menyadari bahwa teks Alquran diwahyukan dan disampaikan pada umat Nabi Muhammad
dengan redaksi yang singkat, padat dan akurat dapat memberikan jawaban yang
tepat terhadap persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Namun tidak
semua petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dapat diterapkan secara
langsung di tengah-tengah masyarakat karena banyak di antara ayat-ayat Alquran
yang tidak memuat informasi yang rinci, terutama berkenaan dengan masalah
sosial keagamaan dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu diperlukan suatu
penafsiran yang tepat dan komprehensif sesuai kebutuhan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Mustaqim. Efistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis.
Muhammad
Husein adz-dzahabi. Ensiklopedia tafsir. Jakarta. 2010 : Radar Jaya
ofset jil 1 cet 1.
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir. Cet.
I;Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Wahid, Marzuki, Studi Al-Quran
Kotemporer.2005. Bandung: CV Pustaka Setia, cet 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar