Senin, 09 Mei 2016

Metode Tafsir Tahlili



MAKALAH
METODE TAFSIR TAHLILI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Metodologi Tafsir
Dosen Pengampu : Muhammad Maimun, M.A., M.S.I
Disusun Oleh:
UBAIDILLAH
SYARIFAH


ADDIN / TH B / 2
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2013 M / 1433 H


Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode ijmali (global), metodemuqaran (komparatif), dan metode mawdu’i (tematik).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan dua metode tafsir pertama, yaitu tahlili danijmali, mengingat dua metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam karyanya.
Rumusan masalah


Pembahasan
1.      Pengertian metode tafsir tahlili
Metode Tahlili Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi’in.
Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaztahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jazbalaghah, dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan norma-norma akhlak. Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna.
Artinya, meyoritas mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.
Ciri-ciri Metode Tahlili
Ada dua ciri utama dalam metode tahlili:
Pertama, tafsir bi al ma’thur, yaitu penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat; penafsiran ayat dengan Hadith Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Tafsir bi al ma’thur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma’thur adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Imam Ibn Jarir al-Tabari. Tafsir al-Qur’an al-’Adim karya Ibn Kathir. Menurut W. Montgomery Watt, tafsir al-Tabari adalah tafsir al-Qur’an yang paling penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan dapat diperoleh dengan mudah. Karyanya itu dicetak pertama kali di Kairo pada tahun 1903 M dalam tiga jilid dan kemudian dicetak berulang kali.
Kedua, tafsir bi al ra’yi, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzulnasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsirbi al ra’yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.
Dalam menyikapi tafsir bi al ra’yi, para ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persayaratan, maka penafsirannya ditolak. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra’yi adalah: Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karangan Mahmud al-Nasafi, dan Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin.
Berangkat dari dua ciri metode tahlili di atas, lahirlah beberapa macam tafsir sesuai dengan kecenderungan para mufassir. Macam-macam tafsir tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, tafsir sufi, yaitu penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah kitab: Tafsir al-Qur’an al-’Adim, karya Imam al-Tusturi.
Kedua, tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda. Di antara kitab tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al-Qur’an, karya Al-Jassah, dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’ankarya Imam Al-Qurtubi.
Ketiga, tafsir falsafi, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitabMafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada ilmu kalam dan simantik (logika). Ia juga membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Keempat, tafsir ‘ilmi, yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an, dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Di antara kitab tafsir‘ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karya Wahid al-Din Khan.
Kelima, tafsir adabi ijtima’i, yairu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan sisi balaghah al-Qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabi ijtima’i merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Di antara kitab tafsir adabi ijtima’i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad ’Abduh dan Rashid Rida.
Keistimewaan dan Kelemahaman Metode Tahlili
Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-Qur’an. Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya.
Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal: (1) menjadikan petunjuk al-Qur’an secara parsial, (2) melahirkan penafsiran yang subyektif, dan (3) membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat.
Meskipun demikian, metodologi tahlili telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.
Kritik Metodologis
Menurut Abdul Jalal, ada beberapa problem dalam metode tafsir tahliliPertama, bagaimana mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al-Qur’an, karena penggunaan metode tafsir tahlili mengakibatkan pemahaman terhadap suatu topik atau judul tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat, sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.
Kedua, bagaimana menghentikan kesenjangan antara ajaran al-Qur’an yang berupa pedoman hidup dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan Allah yang sebenarnya telah ada dalam al-Qur’an kurang memasyarakat karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga tidak bisa terpadu sampai tuntas.
Ketiga, bagaimana menghindari kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan bahwa ajaran itu tidak singkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.
al-Farmawi menambahkan, para penafsir model tahlili ada yang terlalu berbelit dengan mnguraikan secara panjang lebar, dan ada pula yang terlalu sederhana dan terlalu ringkas. Jamal al-Banna (saudara Hasan al-Banna) memberikan komentar terhadap para mufassir yang memiliki kecenderungannya untuk melakukan penafsiran al-Qur’an bahwa kekeliruan terbesar yang dilakukan oleh kelompok mufassir metode tahlili adalah keasyikan mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi masing-masing, dan obsesi mereka yang berlebihan dalam mempertahankan argumentasinya. Mereka lupa untuk menunjukkan spirit al-Qur’an itu sendiri, bahwa keseluruhan susunan ayat-ayat al-Qur’an itu terjalin menjadi sebuah kitab utuh yang menghidupkan, membangkitkan dan memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat manusia. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para ulama di bidang tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format tertentu.
Kemudian Jamal al-Banna memberikan contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap mufassir yang dengan keahlian bahasanya menafsirkan al-Qur’an, seperti al-Zamakhshari. Ia mengatakan:
“cukuplah kita mengamati al-Kashshaf karya al-Zamakhshari. Dari situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli gramatika, morfologi, balaghah, dan ilmu bahasa lainnya. Perhatian pertamanya terhadap al-Qur’an misalnya, tertuju pada pembahasan dan studi mendetil tentang metafora (isti’arah), alegori (majaz), kata-kata asing dalam al-Qur’an (Gharib al-Qur’an), gramatika, morfologi, dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang seksama atas karyanya, suatu ketika anda akan dibawa pada suatu kesimpulan, bahwa yang penting baginya dari al-Qur’an adalah bagaimana menjadikannya sebagai ajang untuk menerapkan ilmu bahasa yang dia kuasai. Sementara makna-makna ayat dan tema al-Qur’an menjadi terpisah dari sisi penjelasan dan ulasannya.”[1]
2.      Sumber penafsiran tafsir tahlili
3.      Karakeristik penafsiran tahlili
4.      Kitab-kitab tafsir tahlili
Salah satu tokoh dalam metode tafsir ini adalah Al-qurtuby. Bahwa al Qurtubi dikenal sebagai orang yang saleh yang menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menulis. Oleh karenanya banyak karya yang telah beliau wariskan yang sangat bermanfaat untuk generasi setelahnya. Karta-karya yang telah beliau tulis adalah :
            § al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima tadlammana min as-Sunnah wa Ay al-Furqan, ini adalah karya beliau yang paling fenomenal dalam bidang tafsir, terdiri dari 12 jilid, didalamnya tidak termemuat tentang kisah-kisah dan sejarah, sebagai gantinya ia menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan bagaimana pengambilannya serta menyebutkan macam-macam Qira’at dan I’rob serta Nasikh Mansukh. Al-Qurthubi juga menulis tentang yang diberi judul
            § al-Kitab al-Usna fi Asmaillah al-Husna berisi tentang penjelasan mengenai nama-nama Allah swt, tertulis dalam 2 jilid.
            § Al Tidhkar fi Afdal al-Adhkar berkisar tentang dzikir. Dalam penulisannya beliau menulisnya seperti kitab Attibyan karya Al Nawawi namun lebih sempurna dan lebih banyak muatannya.
            § Al Tadhkirah bi umûr al Akhirah dalam 2 jilid,
            § Syarh Al Taqassi
            § Qamh al-Hirs bi al-Zuhi wa al-Qana’ah
            § Dan beliau juga menulis rangkaian syair yang memuat nama-nama Nabi Muhammad saw dan beberapa karangan beliau yang lain.[2]

Penutup
Daftar pustaka.





[1] Http://Pesma.Sunan-Ampel.Ac.Id/?P=71 Diunduh Pada 7 Oktober 2013. 14:19 Pm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post