MAKALAH
METODE TAFSIR TAHLILI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Metodologi Tafsir
Dosen Pengampu : Muhammad Maimun, M.A., M.S.I
Disusun Oleh:
UBAIDILLAH
SYARIFAH
ADDIN / TH B / 2
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2013 M / 1433 H
Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad,
terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya
pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang
telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi
bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. al-Qur’an tidak
hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara
tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab
yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah,
kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus
dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah
sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat
yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa
karya tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari para ulama itu muncullah
berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan
al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Di
antara metode penafsiran yang populer di kalangan para ulama tafsir adalah
metode tahlili (analitik), metode ijmali (global),
metodemuqaran (komparatif), dan metode mawdu’i (tematik).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk
menguraikan dua metode tafsir pertama, yaitu tahlili danijmali,
mengingat dua metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir
(ulama tafsir) dalam karyanya.
Rumusan masalah
Pembahasan
1.
Pengertian metode tafsir tahlili
Metode Tahlili Secara
etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian
makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat),
hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan
latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang
berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi’in.
Dari sekian
metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang paling
lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata
dan lafaz, tahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju
dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jaz, balaghah,
dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari
ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan
norma-norma akhlak. Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ada
sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah menggunakan metode
tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara
berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai
dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas tanpa
dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna.
Artinya,
meyoritas mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selalu
mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik
ayat-ayatnya.
Ciri-ciri Metode Tahlili
Ada dua ciri utama dalam metode tahlili:
Pertama, tafsir bi al ma’thur, yaitu
penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat; penafsiran ayat
dengan Hadith Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh
para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau
penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Tafsir bi
al ma’thur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al riwayah.
Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma’thur
adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Imam Ibn Jarir
al-Tabari. Tafsir al-Qur’an al-’Adim karya Ibn Kathir. Menurut
W. Montgomery Watt, tafsir al-Tabari adalah tafsir al-Qur’an
yang paling penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan dapat diperoleh
dengan mudah. Karyanya itu dicetak pertama kali di Kairo pada tahun 1903 M
dalam tiga jilid dan kemudian dicetak berulang kali.
Kedua, tafsir bi al ra’yi, yaitu
penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang mufassir
betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzul, nasikh-mansukh
dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang
penafsir. Tafsirbi al ra’yi (rasional) juga dikenal dengan
tafsir bi al dirayah.
Dalam menyikapi tafsir bi al ra’yi, para
ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi persyaratan
yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa diterima.
Sebaliknya, jika tidak memenuhi persayaratan, maka penafsirannya ditolak. Di
antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra’yi
adalah: Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil,
karangan Mahmud al-Nasafi, dan Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil
karya Al-Khazin.
Berangkat dari dua ciri metode tahlili di
atas, lahirlah beberapa macam tafsir sesuai dengan kecenderungan para mufassir.
Macam-macam tafsir tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, tafsir sufi, yaitu penafsiran yang
dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan
tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih
diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah
kitab: Tafsir al-Qur’an al-’Adim, karya Imam al-Tusturi.
Kedua, tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur’an
yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas
kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam
kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda. Di antara kitab tafsir
dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al-Qur’an,
karya Al-Jassah, dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’ankarya Imam
Al-Qurtubi.
Ketiga, tafsir falsafi, yaitu penafsiran
al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi
adalah kitabMafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi. Dalam
kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil
secara utuh yang didasarkan pada ilmu kalam dan simantik (logika). Ia juga
membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama,
khususnya dengan al-Qur’an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat
berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Keempat, tafsir ‘ilmi, yaitu penafsiran ayat-ayat
kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an, dengan cara mengaitkannya dengan
ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat
teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Di antara kitab tafsir‘ilmi
adalah kitab al-Islam Yata’adda, karya Wahid al-Din Khan.
Kelima, tafsir adabi ijtima’i, yairu penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan sisi balaghah al-Qur’an
dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju
al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang
dikandungnya. Tafsir adabi ijtima’i merupakan corak tafsir
baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta
memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Di
antara kitab tafsir adabi ijtima’i adalah Tafsir al-Mannar
karya Muhammad ’Abduh dan Rashid Rida.
Keistimewaan dan Kelemahaman Metode Tahlili
Keistimewaan metode ini terletak pada ruang
lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam
upaya menafsirkan al-Qur’an. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif
lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru
dalam penafsiran al-Qur’an. Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili
lebih pesat perkembangannya.
Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bisa
dilihat dari tiga hal: (1) menjadikan petunjuk al-Qur’an secara parsial, (2)
melahirkan penafsiran yang subyektif, dan (3) membuka peluang masuknya
pemikiran isra’iliyat.
Meskipun demikian, metodologi tahlili
telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari
berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.
Kritik Metodologis
Menurut Abdul Jalal, ada beberapa problem dalam
metode tafsir tahlili: Pertama, bagaimana mengatasi
umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al-Qur’an, karena penggunaan
metode tafsir tahlili mengakibatkan pemahaman terhadap suatu topik
atau judul tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan karena ayat-ayat
yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat,
sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini
tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan
yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.
Kedua, bagaimana menghentikan kesenjangan antara
ajaran al-Qur’an yang berupa pedoman hidup dengan pranata kehidupan yang
membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan Allah yang sebenarnya telah ada
dalam al-Qur’an kurang memasyarakat karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat
Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga
tidak bisa terpadu sampai tuntas.
Ketiga, bagaimana menghindari kesenjangan yang
mengakibatkan orang-orang yang tidak paham tuntunan Allah tadi lalu
meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan bahwa ajaran itu tidak
singkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.
al-Farmawi menambahkan, para
penafsir model tahlili ada yang terlalu berbelit dengan mnguraikan
secara panjang lebar, dan ada pula yang terlalu sederhana dan terlalu ringkas.
Jamal al-Banna (saudara Hasan al-Banna) memberikan komentar
terhadap para mufassir yang memiliki kecenderungannya untuk
melakukan penafsiran al-Qur’an bahwa kekeliruan terbesar yang dilakukan oleh
kelompok mufassir metode tahlili adalah keasyikan
mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi masing-masing, dan obsesi
mereka yang berlebihan dalam mempertahankan argumentasinya. Mereka lupa untuk
menunjukkan spirit al-Qur’an itu sendiri, bahwa keseluruhan susunan ayat-ayat
al-Qur’an itu terjalin menjadi sebuah kitab utuh yang menghidupkan,
membangkitkan dan memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat manusia. Yang
lebih mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para ulama di bidang
tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format tertentu.
Kemudian Jamal al-Banna memberikan
contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap mufassir yang dengan
keahlian bahasanya menafsirkan al-Qur’an, seperti al-Zamakhshari. Ia
mengatakan:
“cukuplah kita mengamati al-Kashshaf
karya al-Zamakhshari. Dari situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang
ahli gramatika, morfologi, balaghah, dan ilmu bahasa lainnya.
Perhatian pertamanya terhadap al-Qur’an misalnya, tertuju pada pembahasan dan
studi mendetil tentang metafora (isti’arah), alegori (majaz),
kata-kata asing dalam al-Qur’an (Gharib al-Qur’an), gramatika,
morfologi, dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang seksama atas karyanya,
suatu ketika anda akan dibawa pada suatu kesimpulan, bahwa yang penting baginya
dari al-Qur’an adalah bagaimana menjadikannya sebagai ajang untuk menerapkan
ilmu bahasa yang dia kuasai. Sementara makna-makna ayat dan tema al-Qur’an
menjadi terpisah dari sisi penjelasan dan ulasannya.”[1]
2.
Sumber
penafsiran tafsir tahlili
3.
Karakeristik
penafsiran tahlili
4.
Kitab-kitab
tafsir tahlili
Salah satu tokoh dalam metode tafsir ini adalah Al-qurtuby. Bahwa al Qurtubi dikenal sebagai
orang yang saleh yang menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menulis. Oleh
karenanya banyak karya yang telah beliau wariskan yang sangat bermanfaat untuk
generasi setelahnya. Karta-karya yang telah beliau tulis adalah :
§
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima tadlammana min as-Sunnah wa Ay
al-Furqan, ini adalah karya beliau yang paling fenomenal dalam bidang tafsir,
terdiri dari 12 jilid, didalamnya tidak termemuat tentang kisah-kisah dan
sejarah, sebagai gantinya ia menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al
Qur’an dan bagaimana pengambilannya serta menyebutkan macam-macam Qira’at dan
I’rob serta Nasikh Mansukh. Al-Qurthubi juga menulis tentang yang diberi judul
§ al-Kitab al-Usna fi Asmaillah al-Husna berisi tentang penjelasan mengenai nama-nama Allah swt, tertulis dalam 2 jilid.
§ Al Tidhkar fi Afdal al-Adhkar berkisar tentang dzikir. Dalam penulisannya beliau menulisnya seperti kitab Attibyan karya Al Nawawi namun lebih sempurna dan lebih banyak muatannya.
§ Al Tadhkirah bi umûr al Akhirah dalam 2 jilid,
§ Syarh Al Taqassi
§ Qamh al-Hirs bi al-Zuhi wa al-Qana’ah
§ Dan beliau juga menulis rangkaian syair yang memuat nama-nama Nabi Muhammad saw dan beberapa karangan beliau yang lain.[2]
§ al-Kitab al-Usna fi Asmaillah al-Husna berisi tentang penjelasan mengenai nama-nama Allah swt, tertulis dalam 2 jilid.
§ Al Tidhkar fi Afdal al-Adhkar berkisar tentang dzikir. Dalam penulisannya beliau menulisnya seperti kitab Attibyan karya Al Nawawi namun lebih sempurna dan lebih banyak muatannya.
§ Al Tadhkirah bi umûr al Akhirah dalam 2 jilid,
§ Syarh Al Taqassi
§ Qamh al-Hirs bi al-Zuhi wa al-Qana’ah
§ Dan beliau juga menulis rangkaian syair yang memuat nama-nama Nabi Muhammad saw dan beberapa karangan beliau yang lain.[2]
Penutup
Daftar
pustaka.
[2]
Http://Referensiagama.Blogspot.Com/2011/01/Tafsir-Tahlili-Kajian-Terhadap-Tafsir.Html Diunduh Pada 07 Oktober 2013. 14: 25 Pm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar