oleh : eka tresna, neni & nailu
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran diturunkan dalam bahasa
Arab, hal ini adalah suatu kewajaran karena Al-Quran diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw yang notabene berasal dari Arab dan ditengah-tengah umat yang berbahasa Arab Arab pula. Tujuannya
agar al-Quran mudah dipahami.
Sebagaimana dalam firman Allah Swt:
“Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS.
Yusuf [12]: 2)
Al-Quran merupakan sumber pokok utama yang
ditujukan untuk seluruh umat manusia. Al-Qur`an sendiri menggunakan
bahasa Arab. Yang mana, bahasa Arab itu terdiri dari beberapa rumpun. Dengan
demikian, mengenai Al-Qur’an yang berbahasa Arab apakah Al-Qur’an menggunakan
semua rumpun dalam bahasa Arab atau hanya menggunakan rumpun tertentu. Bangsa Arab mempunyai dialek yang
amat banyak, salah satunya adalah bahasa Quraisy yang terkenal dan sudah tersebar
luas. Hal ini disebabkan adanya praktek perdagangan dari berbagai daerah,
sehingga hal ini menyebabkan adanya percampuran budaya dan bahasa.
Orang-orang Quraisy memang
mengambil sebagian lahjah (dialek) dan kalimat-kalimat yang
mereka kagumi dari orang-orang luar selain mereka. Telah menjadi tabiat bahwa
Allah ‘Azza wa Jala menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa
yang dapat dipahami oleh bangsa Arab seluruhnya dengan maksud untuk mempermudah
memahaminya, membaca danmenghafalnya, mengandung nilai mukjizat serta ajakan
bertanding keapda para pakar sastra untuk mendatangkan satu surat atau bahkan
satu ayat sekalipun.
Karena adanya berbagai macam rumpun dan lahjah bahasa Arab
itulah barangkali yang kemudian memunculkan adanya berbagai macam qiro’at dalam
membaca Al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, timbul rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana Validitas Qiro’at dalam
al-Qur`an?
2.
Bagaimana macam-macam dari
Qira`at?
3.
Bagaimana contoh-contoh Qiro`at?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang
telah diuraikan bertujuan untuk sebagai berikut :
1.
Mengetahui Validitas Qiro’at
dalam al-Qur`an
2.
Mengetahui macam-macam dari
Qira`at
3.
Mengetahui contoh-contoh Qiro`at
BAB II
PEMBAHASAN
A. Validitas Qira`at
Yang dimaksud
dengan qira’at yang sah dalam tulisan ini ialah qira’at yang diterima dan
diakui shahih oleh para ahli qira’at; artinya qira’at tersebut sesuai dengan
yang diajarkan Rasul Allah. Sebaliknya, qira’at yang tidak sah aialah qira’at
yang tidak diakui oleh ahli qira’at berasal dari Rasul Allah atau disebut juga “qira’at
syadzdzah”.[1]
Pada mulanya
tak ada qira’at yang tidak sah karena semuanya diajarkan Rasul. Tapi, kemudian
setelah Islam menyebar ke daerah-daerah yang teramat luas, maka dikirimlah para
sahabat dan tabi’in ke daerah-daerah
tersebut untuk mengajarkan al-Qur’an kepada umat. Masing-masing utusan itu
mengajarkan al-Qur’an sesuai dengan qira’at yang mereka terima. Dengan begitu maka
populerlah berbagai qira’at, seperti ;
1) Di Mekah qira’at ‘Abd ibn Katsir ad-Dari
(wafat 120 H.), yang belajar kepada para sahabat Nabi seperti Anas ibn Malik,
‘Abd Allah ibn az-Zubayr dan Abu Ayub al-Anshari.
2) Di Madinah
populer qira’at Nafi’ ibn ‘Abd ar-Rahman
ibn Abi Na’im (wafat 169 H.) yang menerima al-Qur’an dari 70 orang tabi’in yang
belajar kepada sahabat-sahabat: Ubay ibn Ka’ab, ‘Abd Allah ibn ‘Abbas (Ibn
‘Abbas) dan Abu Hurairah.
3) Di Syam,
populer qira’at ‘Abd Allah ay-Yahshubi (Ibn ‘Amir) (wafat 118 H.) yang menerima
qira’at dari al-Mughirah ibn Abi Syihab al-Makhzumi dari ‘Utsman ibn ‘Affan dan
dia juga belajar kepada al-Nu’man ibn Basyir dan Watsilah ibn al-‘Asqa’.
4) Di Basrah,
populer qira’at Abu ‘Amr (Zabban ibn ‘Ala’ ibn ‘Ammar) (wafat 154 H.).
5) Ya’qub (Ibn
Ishaq al-Hadhrami, wafat 200 H.). abu ‘Ammar menerima qira’at dari Mujahid ibn
Jabbar, dan Sa’id ibn Jubayr berasal dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas dan Ubay ibn
Ka’ab. Adapun Ya’qub belajar kepada Sallam ibn Sulaiman ath-Thawil yang
diriwayatkannya dari ‘Ashim dan Abu ‘Aini.
6) Di Kufah,
populer qira’at Hamzah (Ibn Habib ibn ‘Ummah ibn Isma’il al-Zayyat, maula
(sekretaris pribadi) ‘Ikrimah ibn Rabi’ah at-Taymi, (w. 188 H.).
7) Qira’at ‘Ashim (Ibn Abi an-Najud al-Asadi,
(wafat 127 H.). Hamzah belajar kepada Sulaiman ibn Mahran al-A’masy; Sulaiman
belajar kepada Yahya ibn Watstsab; Yahya belajar kepada Zur ibn Habisy; dan Zur
belajar kepada ‘Utsman, ‘Ali dan Ibn Mas’ud. Sedangkan ‘Ashim belajar kepada
Zur ibn Habisy; dan Zur belajar kepada Ibn Mas’ud.[2]
Pada waktu Ibn
Mujahid menghimpun qira’at dari para imam-imam
qira’at sekitar tahun 300 H, nama Ya’kub al-Hadhrami digantikannya
dengan al-Kisa’i ‘Ali ibn Hamzah al-Asadi (wafat 189 H.). Tapi sayang sekali
Ibnu Mujahid tidak memberikan alasan tentang penggantian tersebut. Sejak itu
populerlah qira’at para qari yang bertujuh itu bahkan dianggap orang itulah
yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam hadits Nabi sebagaimana disebutkan.
Padahal Ibn Mujahid tidak menegaskan hal itu.[3]
Dari uraian
yang dikemukakan di atas, tampak dengan jelas bahwa semua qira’at yang
diajarkan oleh imam-imam qira’at itu mempunyai sanad yang berhubungan langsung
dengan para sahabat Nabi. Namun setelah diteliti oleh para ulama , masih ada
sejumlah qira’at lagi yang dapat diterima dan diakui karena memenuhi kriteria
qira’at yang shahih meskipun derajat keshahihannya tidak sama dengan yang
disebutkan di atas. Dengan demikian, ditemukanlah apa yang disebut dengan
qira’at sepuluh dan qira’at empat belas. Qira’at sepuluh ialah tujuh qira’at
yang telah disebut, ditambah tiga lagi, yaitu Ya’qub al-Hadhrami yang telah
disebut, Khallaf ibn Hisyam (wafat 299 H.) yang belajar kepada Salin ibn ‘Isa
ibn Hamzah ibn Habib al-Zayyat, dan Yazid ibn al-Qa’qa’ (Abu Ja’far, wafat 130
H.) yang mengambil qira’at dari Ibn ‘Abbas dan Abu Hurairah dan Ubay ibn Ka’ab.[4]
Adapun qira’at
empat belas ialah dengan menambah empat macam qira’at lagi yang berasal dari
empat orang ahli qira’at setelah qari yang sepuluh itu, yaitu 1) al-Hasan
al-Bashri (wafat 110 H.), salah seorang tokoh tabi’in yang populer dengan
zuhudnya. 2) Muhammad ibn ‘Abd Rahman (Ibnu Muhayshin, wafat 123 H.), 3) Yahya
ibn al-Mubarak al-Yazidi (wafat 202 H.). 4) Abu al-Farj Muhammad ibn Ahmad
asy-Syabudzi (wafat 388 H.).[5]
Setelah
mengamati pengelompokkan qira’at yang diberikan ulama di atas timbul pertanyaan
dalam diri kita antara lain:
1.
Apakah status ketiga kelompok itu sama, sehingga semuanya dapat
diterima dan diakui sah.
2.
Qira’at syadzdzah masuk ke dalam tiga kelompok itu atau di
luarnya?[6]
Untuk menjawab pertanyaan itu maka perlu dikaji batasan atau kriteria
qira’at yang sah (yang dapat diterima) dan yang tidak sah (syadzdzah). Secara
garis besarnya ada tiga kriteria pokok yang harus dimiliki oleh qira’at,
apabila suatu qira’at tidak memenuhinya, maka qira’at tersebut ditolak atau
boleh disebut syadzdzah sehingga tak boleh dibaca dalam shalat. Ketiga persyaratan itu ialah:
1.
Cocok dengan (kaidah) bahasa Arab walaupun dalam satu aspek (wajh).
2.
Cocok dengan tulsan (rasm) salah satu mushhaf Utsmani sekalipun
secara implisit.
3.
Jalan periwayatannya benar (shihhat isnadhiha) meskipun
terambil bukan dari kelompok tujuh dan sepuluh yang disebutkan di atas.[7]
Ibn al-Jaziri menambahkan, apabila suatu
qira’at sudah memenuhi kriteria itu, maka itulah qira’at yang sah, tidak boleh
ditolak dan haram mengingkarinya, bahkan qira’at tersebut adalah salah satu
dari tujuh huruf yang terdapat dalam al-Qur’an. Karenanya qira’at yang serupa
itu harus diterima, baik yang berasal dari para ahli qira’at yang tujuh, atau
sepuluh, maupun dari ahli-ahli qira’at lain yang telah diakui. Sebaliknya, jika
kurang salah satu dari persyaratan itu – demikian al-Jaziri – maka qira’at tersebut
dinyatakan sebagai qira’at dha’ifah, atau syadzdzah ataupun bathilah
(tidak sah). Prinsip inilah yang dianut oleh
ulama salaf dan khalaf.[8]
B. Macam-Macam Qira’at
As-Suyuthi
merinci macam-macam qira’ah´menjadi mutawatir, masyhur, ahad, syadz,
maudhu’ dan mudroj. Qadhy Jalal ad-Din al-Baqiny menyebutkan bahwa qira’ah itu terbagi
menjadi mutawatir, ahad dan syadz. Qira’ah mutawatir
adalah qira’at tujuh yang masyhur, ahad adalah qira’at tiga yang
melengkapi qira’ah sepuluh yang kesemuanya disamakan dengan qira’at
para sahabat. Syadz adalah qira’ah para tabi’in seperti qira’ah
‘Amasy, Yahya ibn Watsab, Ibn Jubair dan yang lainnya.[9]
As-Suyuthi mengomentari bahwa pernyataan
Qadhy tersebut perlu dikaji ulang. Dia merasa bahwa yang lebih pantas membahas
hal ini adalah tokoh quro pada masanya yaitu Syekh Abu al-Khoer ibn al-Jazary.
Dalam muqadimah kitabnya al-Nasyr, beliau mengatakan, “Semua qira’ah berbahasa
Arab harus sesuai dengan salah satu tulisan al-Mushaf al-Qur’an yang diturunkan
walaupun hanya satu segi. Semua orang wajib menerima mushaf utsmany
walaupun hanya sekedar mendekati sanadnya yang benar. Kita semua tidak boleh
mengingkarinya karena qira’ah tersebut merupakan bagian dari huruf yang
tujuh. Qira’at ini diperoleh dari imam tujuh, imam sepuluh maupun dari
imam-imam qari yang lainnya. Apabila salah satu qira’ah tanggal dari ketiga
rukun tersebut, qira’atnya itu lemah, syadz dan batil, baik datangnya dari imam
yang tujuh ataupun dari imam yang lebih ternama. Inilah pendapat yang benar
menurut muhaqqiq dari kalangam salaf dan khalaf.[10]
As-Suyuhti
sependapat dengan Ibn al-Jazary dalam hal mengelompokkan qira’ah
berdasarkan sanad-sanadnya. Qaththan memaparkan pendapatnya dengan singkat
sebagai berikut:[11]
1.
Mutawatir, yaitu qira’ah
yang diriwayatkan dan diterima oleh sejumlah orang banyak. Hingga periwayatan
itu sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Pada qira’ah ini, kumpulan orang banyak
tersebut tidak dimungkinkan bersekongkol untuk berdusta. Mayoritas ulama yang
telah meneliti para qori menegaskan bahwa qira’ah yang yang tujuh itu adalah
qira’ah mutawatir. Qira’ah ini adalah qira’ah yang sah dibaca di dalam dan di
luar shalat, bacaan ini pun berfungsi sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
2.
Masyhur adalah
qira’ah dengan sanadnya yang shahih, namun jumlah periwayatannya tidak sampai
sebanyak mutawatir. Qira’ah ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan Mushaf
Utsmany. Bacaan ini cukup terkenal di kalangan para qura. Mereka tidak
memandangnya sebagai mutawatir, sedangkan masyhur wajib diyakini dan tidak
boleh diingkari. 151
3.
Ahad adalah qira’ah
yang sanadnya shahih, namun qira’ah ini menyalahi rasm al-Utsmany atau
menyalahi kaidah bahasa Arab dan bacaannya tidak terkenal sebagaimana Qira’ah
Masyhur. Qira’ah ini tidak dibaca sebagai al-Qur’an dan tidak pula wajib
meyakininya.
4.
Syadz adalah qira’at
yang tidak shahih, sanadnya cacat dan tidak bersambung sampai kepada Rasulullah.
5.
Maudhu’,
yaitu qira’at yang dinishbahkan kepada
seseorang tanpa dasar.
6.
Mudraj, yaitu
qira’at yang di dalamnya terdapat kata dan kalimat tambahan sebagai tafsirnya.
Jumhur telah menegaskan bahwa Qira’at Sab’ah adalah mutawatir, dan
bacaan yang tidak mutawatir dan tidak dikenal tidak boleh dibaca di dalam dan
di luar shalat. Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Syarh al-Muhadzdzab bahwa
Qira’at Syadzdzah tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar
shalat. Hal ini disebabkan karena
qira’at tersebut bukanlah al-Qur’an yang harus ditetapkan secara
mutawatir. Barangsiapa yang tidak sependapat dengan pernyataan itu maka ia
salah dan jahil. Apabila ia membaca Qira’at Syadzdzah, baik di dalam
maupun di luar shalat, bacaannya harus ditolak. Para Fuqoha Baghdad
telah sepakat bahwa orang yang membaca al-Qur’an dengan bacaan syadz
agar segera bertaubat. Ibn Abd al-Bar mengutip ijma kaum Muslimin bahwasannya
tidak boleh pula shalat di belakangnya.[12]
C.
Contoh-contoh Qira’at
1.
Contoh qira’at Mutawatir Contohnya seperti :
Surat
al-Fatihah : 6-7
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Dalam membaca
kata الصراط dan صراط. Qunbul meriwayatkan dari Ibnu Katsir dan Ruwais dari
Ya’qub dengan membaca shad dengan murni sin dalm kedua kata di
atas. Adapun khalaf meriwayatkan dari Hamzah dengan mengisymamkan
shad kepada zai dalam dua kata di atas, pembacaan ini juga
diikuti oleh Khallad, tetapi hanya pada shad yang pertama saja الصراط . Adapun periwayat lainnya membaca dua kata
di atas dengan shad murni di semua ayat al-Qur’an.
Surat
al-Fatihah : 4
مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ
2.
Contoh qira’ah Ahad seperti yang dikeluarkan al-Hakim bersumber dari Abu Bakrah,
bahwasannya Nabi Muhammad Saw. membaca Rafaarifa (QS. Ar-Rahman 55: 76).
tûüÏ«Å3GãB
4n?tã
>
رفارف 9ôØäz
AdÌs)ö7tãur
5b$|¡Ïm
ÇÐÏÈ
Sedangkan dalam
mushaf al-Utsmany termaktub Rafrafin,
tûüÏ«Å3GãB
4n?tã
>$tøùu
9ôØäz
AdÌs)ö7tãur
5b$|¡Ïm
ÇÐÏÈ
Bacaan lain yang diriwayatkan al-Hakim bersumber dari Ibn Abbas,
beliau membaca Min Anfasikum (QS. At-Taubah 9: 128)
ôs)s9 öNà2uä!%y` Ñ^qßu ô`ÏiB
ö
أنفَسكم
Sedangkan dalam
mushaf al-Utsmany termaktub Anfusikum,
ôs)s9
öNà2uä!%y`
Ñ^qßu
ô`ÏiB
öNà6Å¡àÿRr&
3. Contoh
Qira’at Syadz, seperti bacaan
dalam surat al-Fatihah (1) ayat 4 dengan menggunakan fi’il madhi Malaka dan
menashabkan Yauma. 152:
مَلَكَ ÏQöqt
ÉúïÏe$!$#
ÇÍÈ
4.
Contoh Qira’at Maudhu’ seperti bacaan yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah dalam membaca
ayat,
إنّما يخشى اللُه من عباده العلماء
Lafal Allahu dibaca dengan dhamah, dan al-‘ulama-a
dibaca dengan fathah.
5.
Contoh qira’at mudraj, seperti bacaan Ibn Abbas pada surat al-Baqarah (2) ayat 198,
}§øs9
öNà6øn=tã
îy$oYã_
br&
(#qäótGö;s?
WxôÒsù
`ÏiB
öNà6În/§
4
فى موسم !#sÎ*sù
OçFôÒsùr&
ïÆÏiB
;M»sùttã
Kalimat
Fi Maisim al hajj bukanlah dari ayat al-Qur’an, melainkan sebagai
tafsirannya semata. Demikian pula qira’at Sa’ad ibn Abi Waqas pada surat
an-Nisa (4):
وَلَهُ اَخٌ اَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ
Ungkapan
Min Ummin adalah tambahan yang berfungsi sebagai tafsirnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zainuddin,
Mohammad. 2005. Metode Memahami
al-Qur’an. Bandung: Khazanah Intelektual
Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Aplikasi al-Quran Digital
Tidak ada komentar:
Posting Komentar