Rabu, 15 Oktober 2014

Validitas ilmu qira`at



oleh : eka tresna, neni & nailu
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, hal ini adalah suatu kewajaran karena Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang notabene berasal dari Arab dan ditengah-tengah  umat yang berbahasa Arab Arab pula. Tujuannya agar al-Quran mudah dipahami.  Sebagaimana dalam firman Allah Swt:                                            
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf [12]: 2)
Al-Quran merupakan sumber pokok utama yang ditujukan untuk seluruh umat manusia. Al-Qur`an sendiri menggunakan bahasa Arab. Yang mana, bahasa Arab itu terdiri dari beberapa rumpun. Dengan demikian, mengenai Al-Qur’an yang berbahasa Arab apakah Al-Qur’an menggunakan semua rumpun dalam bahasa Arab atau hanya menggunakan rumpun tertentu. Bangsa Arab mempunyai dialek yang amat banyak, salah satunya adalah bahasa Quraisy yang terkenal dan sudah tersebar luas. Hal ini disebabkan adanya praktek perdagangan dari berbagai daerah, sehingga hal ini menyebabkan adanya percampuran budaya dan bahasa.
Orang-orang Quraisy memang mengambil sebagian lahjah (dialek) dan kalimat-kalimat yang mereka kagumi dari orang-orang luar selain mereka. Telah menjadi tabiat bahwa Allah ‘Azza wa Jala menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa yang dapat dipahami oleh bangsa Arab seluruhnya dengan maksud untuk mempermudah memahaminya, membaca danmenghafalnya, mengandung nilai mukjizat serta ajakan bertanding keapda para pakar sastra untuk mendatangkan satu surat atau bahkan satu ayat sekalipun.
Karena adanya berbagai macam rumpun dan lahjah bahasa Arab itulah barangkali yang kemudian memunculkan adanya berbagai macam qiro’at dalam membaca Al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, timbul rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Validitas Qiro’at dalam al-Qur`an?
2.      Bagaimana macam-macam dari Qira`at?
3.      Bagaimana contoh-contoh Qiro`at?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan bertujuan untuk sebagai berikut :
1.      Mengetahui Validitas Qiro’at dalam al-Qur`an
2.      Mengetahui macam-macam dari Qira`at
3.      Mengetahui contoh-contoh Qiro`at

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Validitas Qira`at
Yang dimaksud dengan qira’at yang sah dalam tulisan ini ialah qira’at yang diterima dan diakui shahih oleh para ahli qira’at; artinya qira’at tersebut sesuai dengan yang diajarkan Rasul Allah. Sebaliknya, qira’at yang tidak sah aialah qira’at yang tidak diakui oleh ahli qira’at berasal dari Rasul Allah atau disebut juga “qira’at syadzdzah”.[1]
Pada mulanya tak ada qira’at yang tidak sah karena semuanya diajarkan Rasul. Tapi, kemudian setelah Islam menyebar ke daerah-daerah yang teramat luas, maka dikirimlah para sahabat dan tabi’in  ke daerah-daerah tersebut untuk mengajarkan al-Qur’an kepada umat. Masing-masing utusan itu mengajarkan al-Qur’an sesuai dengan qira’at yang mereka terima. Dengan begitu maka populerlah berbagai qira’at, seperti ;
 1) Di Mekah qira’at ‘Abd ibn Katsir ad-Dari (wafat 120 H.), yang belajar kepada para sahabat Nabi seperti Anas ibn Malik, ‘Abd Allah ibn az-Zubayr dan Abu Ayub al-Anshari.
2) Di Madinah populer qira’at  Nafi’ ibn ‘Abd ar-Rahman ibn Abi Na’im (wafat 169 H.) yang menerima al-Qur’an dari 70 orang tabi’in yang belajar kepada sahabat-sahabat: Ubay ibn Ka’ab, ‘Abd Allah ibn ‘Abbas (Ibn ‘Abbas) dan Abu Hurairah.
3) Di Syam, populer qira’at ‘Abd Allah ay-Yahshubi (Ibn ‘Amir) (wafat 118 H.) yang menerima qira’at dari al-Mughirah ibn Abi Syihab al-Makhzumi dari ‘Utsman ibn ‘Affan dan dia juga belajar kepada al-Nu’man ibn Basyir dan Watsilah ibn al-‘Asqa’.
4) Di Basrah, populer qira’at Abu ‘Amr (Zabban ibn ‘Ala’ ibn ‘Ammar) (wafat 154 H.).
5) Ya’qub (Ibn Ishaq al-Hadhrami, wafat 200 H.). abu ‘Ammar menerima qira’at dari Mujahid ibn Jabbar, dan Sa’id ibn Jubayr berasal dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas dan Ubay ibn Ka’ab. Adapun Ya’qub belajar kepada Sallam ibn Sulaiman ath-Thawil yang diriwayatkannya dari ‘Ashim dan Abu ‘Aini.
6) Di Kufah, populer qira’at Hamzah (Ibn Habib ibn ‘Ummah ibn Isma’il al-Zayyat, maula (sekretaris pribadi) ‘Ikrimah ibn Rabi’ah at-Taymi, (w. 188 H.).
 7) Qira’at ‘Ashim (Ibn Abi an-Najud al-Asadi, (wafat 127 H.). Hamzah belajar kepada Sulaiman ibn Mahran al-A’masy; Sulaiman belajar kepada Yahya ibn Watstsab; Yahya belajar kepada Zur ibn Habisy; dan Zur belajar kepada ‘Utsman, ‘Ali dan Ibn Mas’ud. Sedangkan ‘Ashim belajar kepada Zur ibn Habisy; dan Zur belajar kepada Ibn Mas’ud.[2]
Pada waktu Ibn Mujahid menghimpun qira’at dari para imam-imam  qira’at sekitar tahun 300 H, nama Ya’kub al-Hadhrami digantikannya dengan al-Kisa’i ‘Ali ibn Hamzah al-Asadi (wafat 189 H.). Tapi sayang sekali Ibnu Mujahid tidak memberikan alasan tentang penggantian tersebut. Sejak itu populerlah qira’at para qari yang bertujuh itu bahkan dianggap orang itulah yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam hadits Nabi sebagaimana disebutkan. Padahal Ibn Mujahid tidak menegaskan hal itu.[3]
Dari uraian yang dikemukakan di atas, tampak dengan jelas bahwa semua qira’at yang diajarkan oleh imam-imam qira’at itu mempunyai sanad yang berhubungan langsung dengan para sahabat Nabi. Namun setelah diteliti oleh para ulama , masih ada sejumlah qira’at lagi yang dapat diterima dan diakui karena memenuhi kriteria qira’at yang shahih meskipun derajat keshahihannya tidak sama dengan yang disebutkan di atas. Dengan demikian, ditemukanlah apa yang disebut dengan qira’at sepuluh dan qira’at empat belas. Qira’at sepuluh ialah tujuh qira’at yang telah disebut, ditambah tiga lagi, yaitu Ya’qub al-Hadhrami yang telah disebut, Khallaf ibn Hisyam (wafat 299 H.) yang belajar kepada Salin ibn ‘Isa ibn Hamzah ibn Habib al-Zayyat, dan Yazid ibn al-Qa’qa’ (Abu Ja’far, wafat 130 H.) yang mengambil qira’at dari Ibn ‘Abbas dan Abu Hurairah dan Ubay ibn Ka’ab.[4]
Adapun qira’at empat belas ialah dengan menambah empat macam qira’at lagi yang berasal dari empat orang ahli qira’at setelah qari yang sepuluh itu, yaitu 1) al-Hasan al-Bashri (wafat 110 H.), salah seorang tokoh tabi’in yang populer dengan zuhudnya. 2) Muhammad ibn ‘Abd Rahman (Ibnu Muhayshin, wafat 123 H.), 3) Yahya ibn al-Mubarak al-Yazidi (wafat 202 H.). 4) Abu al-Farj Muhammad ibn Ahmad asy-Syabudzi (wafat 388 H.).[5]
Setelah mengamati pengelompokkan qira’at yang diberikan ulama di atas timbul pertanyaan dalam diri kita antara lain:
1.      Apakah status ketiga kelompok itu sama, sehingga semuanya dapat diterima dan diakui sah.
2.      Qira’at syadzdzah masuk ke dalam tiga kelompok itu atau di luarnya?[6]
Untuk menjawab pertanyaan itu maka perlu dikaji batasan atau kriteria qira’at yang sah (yang dapat diterima) dan yang tidak sah (syadzdzah). Secara garis besarnya ada tiga kriteria pokok yang harus dimiliki oleh qira’at, apabila suatu qira’at tidak memenuhinya, maka qira’at tersebut ditolak atau boleh disebut syadzdzah sehingga tak boleh dibaca dalam shalat. Ketiga persyaratan itu ialah:
1.      Cocok dengan (kaidah) bahasa Arab walaupun dalam satu aspek (wajh).
2.      Cocok dengan tulsan (rasm) salah satu mushhaf Utsmani sekalipun secara implisit.
3.      Jalan periwayatannya benar (shihhat isnadhiha) meskipun terambil bukan dari kelompok tujuh dan sepuluh yang disebutkan di atas.[7]
Ibn al-Jaziri menambahkan, apabila suatu qira’at sudah memenuhi kriteria itu, maka itulah qira’at yang sah, tidak boleh ditolak dan haram mengingkarinya, bahkan qira’at tersebut adalah salah satu dari tujuh huruf yang terdapat dalam al-Qur’an. Karenanya qira’at yang serupa itu harus diterima, baik yang berasal dari para ahli qira’at yang tujuh, atau sepuluh, maupun dari ahli-ahli qira’at lain yang telah diakui. Sebaliknya, jika kurang salah satu dari persyaratan itu – demikian al-Jaziri – maka qira’at tersebut dinyatakan sebagai qira’at dha’ifah, atau syadzdzah ataupun bathilah (tidak sah). Prinsip inilah yang dianut oleh ulama salaf dan khalaf.[8]
B.     Macam-Macam Qira’at
As-Suyuthi merinci macam-macam qira’ah´menjadi mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’ dan mudroj. Qadhy Jalal ad-Din al-Baqiny  menyebutkan bahwa qira’ah itu terbagi menjadi mutawatir, ahad dan syadz. Qira’ah mutawatir adalah qira’at tujuh yang masyhur, ahad adalah qira’at tiga yang melengkapi qira’ah sepuluh yang kesemuanya disamakan dengan qira’at para sahabat. Syadz adalah qira’ah para tabi’in seperti qira’ah ‘Amasy, Yahya ibn Watsab, Ibn Jubair dan yang lainnya.[9]
      As-Suyuthi mengomentari bahwa pernyataan Qadhy tersebut perlu dikaji ulang. Dia merasa bahwa yang lebih pantas membahas hal ini adalah tokoh quro pada masanya yaitu Syekh Abu al-Khoer ibn al-Jazary. Dalam muqadimah kitabnya al-Nasyr, beliau mengatakan, “Semua qira’ah berbahasa Arab harus sesuai dengan salah satu tulisan al-Mushaf al-Qur’an yang diturunkan walaupun hanya satu segi. Semua orang wajib menerima mushaf utsmany walaupun hanya sekedar mendekati sanadnya yang benar. Kita semua tidak boleh mengingkarinya karena qira’ah tersebut merupakan bagian dari huruf yang tujuh. Qira’at ini diperoleh dari imam tujuh, imam sepuluh maupun dari imam-imam qari yang lainnya. Apabila salah satu qira’ah tanggal dari ketiga rukun tersebut, qira’atnya itu lemah, syadz dan batil, baik datangnya dari imam yang tujuh ataupun dari imam yang lebih ternama. Inilah pendapat yang benar menurut muhaqqiq dari kalangam salaf dan khalaf.[10]
As-Suyuhti sependapat dengan Ibn al-Jazary dalam hal mengelompokkan qira’ah berdasarkan sanad-sanadnya. Qaththan memaparkan pendapatnya dengan singkat sebagai berikut:[11]
1.      Mutawatir, yaitu qira’ah yang diriwayatkan dan diterima oleh sejumlah orang banyak. Hingga periwayatan itu sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Pada qira’ah ini, kumpulan orang banyak tersebut tidak dimungkinkan bersekongkol untuk berdusta. Mayoritas ulama yang telah meneliti para qori menegaskan bahwa qira’ah yang yang tujuh itu adalah qira’ah mutawatir. Qira’ah ini adalah qira’ah yang sah dibaca di dalam dan di luar shalat, bacaan ini pun berfungsi sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
2.      Masyhur adalah qira’ah dengan sanadnya yang shahih, namun jumlah periwayatannya tidak sampai sebanyak mutawatir. Qira’ah ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan Mushaf Utsmany. Bacaan ini cukup terkenal di kalangan para qura. Mereka tidak memandangnya sebagai mutawatir, sedangkan masyhur wajib diyakini dan tidak boleh diingkari. 151
3.      Ahad adalah qira’ah yang sanadnya shahih, namun qira’ah ini menyalahi rasm al-Utsmany atau menyalahi kaidah bahasa Arab dan bacaannya tidak terkenal sebagaimana Qira’ah Masyhur. Qira’ah ini tidak dibaca sebagai al-Qur’an dan tidak pula wajib meyakininya.
4.       Syadz adalah qira’at yang tidak shahih, sanadnya cacat dan tidak bersambung sampai kepada Rasulullah.
5.      Maudhu’, yaitu qira’at yang dinishbahkan kepada seseorang tanpa dasar.
6.      Mudraj, yaitu qira’at yang di dalamnya terdapat kata dan kalimat tambahan sebagai tafsirnya.
Jumhur telah menegaskan bahwa Qira’at Sab’ah adalah mutawatir, dan bacaan yang tidak mutawatir dan tidak dikenal tidak boleh dibaca di dalam dan di luar shalat. Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Syarh al-Muhadzdzab bahwa Qira’at Syadzdzah tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar shalat. Hal ini disebabkan karena  qira’at tersebut bukanlah al-Qur’an yang harus ditetapkan secara mutawatir. Barangsiapa yang tidak sependapat dengan pernyataan itu maka ia salah dan jahil. Apabila ia membaca Qira’at Syadzdzah, baik di dalam maupun di luar shalat, bacaannya harus ditolak. Para Fuqoha Baghdad telah sepakat bahwa orang yang membaca al-Qur’an dengan bacaan syadz agar segera bertaubat. Ibn Abd al-Bar mengutip ijma kaum Muslimin bahwasannya tidak boleh pula shalat di belakangnya.[12]
C. Contoh-contoh Qira’at
1.      Contoh qira’at Mutawatir Contohnya seperti :
Surat al-Fatihah : 6-7

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Dalam membaca kata الصراط  dan   صراط. Qunbul meriwayatkan dari Ibnu Katsir dan Ruwais dari Ya’qub dengan membaca shad dengan murni sin dalm kedua kata di atas. Adapun khalaf meriwayatkan dari Hamzah dengan mengisymamkan shad kepada zai dalam dua kata di atas, pembacaan ini juga diikuti oleh Khallad, tetapi hanya pada shad yang pertama saja   الصراط . Adapun periwayat lainnya membaca dua kata di atas dengan shad murni di semua ayat al-Qur’an.

Surat al-Fatihah : 4
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
2.      Contoh qira’ah Ahad seperti yang dikeluarkan al-Hakim bersumber dari Abu Bakrah, bahwasannya Nabi Muhammad Saw. membaca Rafaarifa (QS. Ar-Rahman 55: 76).
tûüÏ«Å3­GãB 4n?tã > رفارف 9ŽôØäz Ad̍s)ö7tãur 5b$|¡Ïm ÇÐÏÈ
Sedangkan dalam mushaf al-Utsmany termaktub Rafrafin,
tûüÏ«Å3­GãB 4n?tã >$tøùu 9ŽôØäz Ad̍s)ö7tãur 5b$|¡Ïm ÇÐÏÈ  
Bacaan lain yang diriwayatkan al-Hakim bersumber dari Ibn Abbas, beliau membaca Min Anfasikum (QS. At-Taubah 9: 128)
ôs)s9 öNà2uä!%y` Ñ^qßu ô`ÏiB ö أنفَسكم
Sedangkan dalam mushaf al-Utsmany termaktub Anfusikum,
ôs)s9 öNà2uä!%y` Ñ^qßu ô`ÏiB öNà6Å¡àÿRr& 
3.      Contoh Qira’at Syadz, seperti bacaan dalam surat al-Fatihah (1) ayat 4 dengan menggunakan fi’il madhi Malaka dan menashabkan Yauma. 152:
مَلَكَ ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ
4.      Contoh Qira’at Maudhu’ seperti bacaan yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah dalam membaca ayat,
إنّما يخشى اللُه من عباده العلماء
Lafal Allahu dibaca dengan dhamah, dan al-‘ulama-a dibaca dengan fathah.
5.      Contoh qira’at mudraj, seperti bacaan Ibn Abbas pada surat al-Baqarah (2) ayat 198,
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4 فى موسم !#sŒÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã
Kalimat Fi Maisim al hajj bukanlah dari ayat al-Qur’an, melainkan sebagai tafsirannya semata. Demikian pula qira’at Sa’ad ibn Abi Waqas pada surat an-Nisa (4):
وَلَهُ اَخٌ اَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ
Ungkapan Min Ummin adalah tambahan yang berfungsi sebagai tafsirnya.













DAFTAR PUSTAKA

Zainuddin, Mohammad.  2005. Metode Memahami al-Qur’an. Bandung: Khazanah Intelektual
Baidan, Nashruddin. 2005.  Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Aplikasi al-Quran Digital




[1] Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) Cet. 1. Hal. 102
[2] Ibid, hlm. 102-103
[3]Ibid, hlm.  103
[4] Ibid,
[5] Ibid, hlm. 103-104
[6] Ibid, hlm. 104
[7] Ibid, hlm. 104
[8]Ibid, hlm.  104-105                                                                                         
[9] Mohammad Zainuddin. Metode Memahami al-Qur’an. (Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual, 2005) Cet. 1. Hal. 149-150
[10]Ibid, hlm.  150
[11]Ibid, hlm.  150-152
[12] Ibid, hlm. 152-153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post