Rabu, 15 Oktober 2014

Sejarah Pembukuan Hadits



Oleh : Nailu Farh & Afif Nurafifah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Rasulullah bersabda[1] :
لا تكتبوا عنى غير القران و من كتب عنى غير القران فليمحه (رواه مسلم )
Artinya : janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain al-Qur`an dan barangsiapa yang telah menulis sesuatu dariku selain al-Qur`an, hendaklah dihapuskan. (HR. Muslim)
Meskipun terdapat hadits yang melarang menuliskan hadits, beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Menurut pernyataan buku Ulumul Hadits karya M. Ahmad dan M. Mudzakir bahwa, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.
Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.



B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, didapatkan rumusan masalah sebagai  berikut.
1.    Bagaimana sejarah pembukuan hadits?
2.    Bagaimana format dan sistematika dalam penulisan dan pembukuan hadits?

C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, didapatkan tujuan sebagai berikut.
1.         Untuk mengetahui bagaimana sejarah pembukuan hadits.
2.         Untuk mengetahui bagaimana format dan sistematika dalam penulisan dan pembukuan hadits.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pembukuan Hadits
Pada abad pertama Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa khulafa rasyidin dan sebagian besar zaman Bani Umayyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijriyah, hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi hanya meriwayatkannya berdasarkan kekuatan hafalannya dan belum ada keinginan untuk membukukannya.
Ketika pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H sebagai seorang khalifah dari dinasti Umayyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima[2], tergeraklah hati untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa  para perawi yang membendaharakan hadits  dalam hafalannya, tak selamanya akan akah hidup. namun, berlalunya waktu kian banyak para ulama yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan hadits dari para perawinya, memungkinkan hadits-hadits tersebut itu akan lenyap dari muka bumi ini.
Untuk itu, pada tahun 100 H khalifah meminta  kepada Gubernur Madinah, Abu bakar bin Muhammad binAmer bin Hazm untuk membukukan hadits Rasul  dan hadits-hadits yang ada pada para penghafal.
Khalifah menyuruh Abu Bakar Ibn Hazm, supaya menulis untuk khalifah hadits yang ada pada “Amrah binti Muhammad Rahman al-Anshariyah dan yang ada pada al-Qasim ibn Muhammad Abu Bakar”.[3]
Disamping mengirimkan surat kepada Gubernur Madinah, ‘Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur lainnya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu ialah : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fikih dan hadits.[4]Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas as Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah  abbasiyah.
Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri pada sekitar tahun 100 H. setelah generasi Az-Zuhri kemudian pembukuan hadits di lanjutkan oleh banyak ulama-ulama seperti yang tertulis di bawah ini :
Para pengumpul pertama hadits yng tercatat sejarah adalah :[5]
1.      Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H=  669 M – 150 H 767 M).
2.      Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (.....H = 151 M..... H=768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau Malik bin Anas ( 93 H = 703 M – 179 H = 798 M )
3.      Di kota Bashrah, al Rabi’ bin Shabih (.....H =.....M – 160 H = 777 M). Atau Hammad bin Salamah ( 176 H ), atau Sa’id bin Arubah ( 156 H= 773 M )
4.      Di Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H )
5.      Di Syam, al  Auza’y (156 H )
6.      Di Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M )
7.      Di Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H = 753 M -153 H = 770 M )
8.      Di Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M )
9.      Di Khurasan, bin Mubarak (118 H = 735 M  - 18 H = 797 M )
10.  Di Mesir, al Laits bin Sa’ad ( 175 M  ).
Pembukuan hadits dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pertengahan abad II, dilakukan upaya penyempurnaan.[6]Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam satu karangan.      
Di antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah :
1.      Al Muwaththa’.
2.      Al Musnad, susunan al Imam asy Syafi’y.
3.      Mukhtaliful Hadits.
4.      As Siratun Nabawiyah ( al Maghazi wal Siyar ).
Al Muwaththa’ yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad kedua dan mendapat sambutan yang besar sekali dari para ulama. Kitab ini mengandung 1726 rangkain khabar dari Nabi SAW, dari sahabat dan dari tabi’in. Kitab ini mendapat perhatian dari para ahli, karena itu banyak yang membuat syarahnya dan yang membuat mukhtasarnya.
Adapun tingkat dan derajat hadits-hadits al-Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada di antaranya yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang dla’if. Asy-Syafi’y pernah berkata, “Kitab yang paling shahih sesudah Al-Qur’an, ialah Al Muwaththa’.”
Mukhaliful Hadits adalah sebuah kitab asy-Syafi’y yang penting. Di dalamnya di terangkan cara-cara menguatkan sunnah dan cara-cara yang mengharuskan kita menerima hadits ahad. Adapun didalamnya di terangkan pula cara-cara  menyesuaikan hadits-hadits yang terlihat bertentangan satu sama lainnya. Di dalamnya terdapat pula hasil perdebatan asy-Syafi’y dengan Muhammad bin al Hasan dan lain-lain.
B.     Format dan Sistematika dalam penulisan  dan Pembukuan Hadits
Berikut ini akan dibahas mengenai format dan sistematika penulisan hadits dari abad ke-abad.
1.      Abad ke- 1 hijrah.
Pada abad ke-1, hadits-hadits masih berbentuk lembaran-lembaran atau (shuhuf) atau shahifah-shahifah (lembaran-lembaran) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib.


2.      Abad ke- 2 hijrah.
Format penulisan Ulama abad ke-2, dalam membukukan hadits adalah dengan tanpa menyaringnya. Mereka tidak hanya membukukan hadits saja, akan tetapi fatwa-fatwa sahabat, bahkan fatwa-fatwa thabi’in, semua dibukukan secara bersama-sama Maka, dalam ktab-kitab pada waktu itu terdapat hadits-hadits yang marfu’, mauquf dan hadits maqthu.[7]
Pada abad ke-2 ini banyak kitab-kitab hadits yang telah dibukukan. Akan tetapi yang paling mendapat perhatian  adalah Al-Muwaththa` (susunan Imam Malik), Al- Musnad dan Al-Mukhtalif al-hadits (susunan Imam Asy-Syafi’i) serta As-Sirah an Nabawiyah atau Al-Maghazi wa as-Siyar (susunan Ibnu Ishaq).[8]
Dari kitab-kitab di atas, yang sampai kepada kita adalah Al-Muwaththa` (susunan Imam Malik) dan Al- Musnad dan Al-Mukhtalif al-hadits (susunan Imam Asy-Syafi’i)[9]
Al-Muwaththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan dalam istilah, Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf yaitu teknik pembukuan hadits yang didasarkan pada klasifikasi hukum fiqih dan di dalamnya tercantum hadits marfu’, mawquf dan maqthu’.[10]
Derajat hadits-hadits dalam Al-Muwaththa’ itu berbeda-beda.  Ada diantaranya yang shahih, hasan, dan ada pula yang dhaif. Menurut ibnu Hazm, dalam Al-Muwaththa’ ada hadits-hadits yang dilemahkan oleh Jumhur. Drmikianlah penilaian tergadap Al-Muwaththa’ jika ditilik dengan kacamata ulama hadits yang membahas isi andungannya. Tetapi jika kita tilik dari segi penulisannya Imam Malik, maka semua isinya dipandang shahih , dapat dijadikan hujjah. Asy Syafi’I pernah berkata bahwa kitab yang paling sahih sesudah Al-Qur’an adalah Al-Muwaththa.[11]
3.      Abad 3-4 Hijrah
Jika tadi pada abad ke-2 Hijrah diterangkan, tidak memisahkan antara fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, maka pada abad ke-3 sampai ke-4 Hijrah ini para ahli hadits memperbaiki keadaan itu.  Ditambah lagi muncul orang zindiq dan Yahudi yang membuat hadits-hadits palsu secara licik dan sukar diketahui kepalsunnya. Akhirnya, muncullah seorang imam hadits yang besar, Ishaq bin Rahawaih, terdorong untuk memisahkan  hadits-hadits yag shahih dan yang tidak.[12]
Kemudian pekerjaan yang mulia ini dilanjutkan oleh Imam Al-Bukhari.  Al-Bukhari menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’ Ash-Shahih yang membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha Bukhari ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim yaitu Imam Muslim. Sesudah shahih Bukhari, berkat jerih payah kedua imam besar ini, sekarang kita menemukan sumber-sumber hadits yang capabel.[13]
Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tersusun, muncul beberapa orang iman lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud) at- Tirmidzi (Sunan At-Trmidzi), an-Nasai (Sunan an Nasai) itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan  masyarakat ulama  dengan kitab-kitab pokok yang lima (Al- Ushul al-Khomsah). Disamping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah itab yakni Sunan Ibnu Majah. Kemudian kitab ini menjadi kitab induk yang biasa disebut Kutub As-Sittah. Dibawah kitab yang enam ini ulama menempatkan Musnad Al-Imam Ahmad.[14]
Kitab-kitabShahih ialah kitab-kitab yang penyusunannya tdak memasukkan ke dalamnya, kecuali yang shahih saja. [15]
Kitab-kitabSunan, (kecuali Sunan Ibnu Majah) ialah kitab-kitab yang oleh penulisnya tidak dimasukkan kedalamnya hadits-hadits yang mungkar dan yang sepertinya. Adapun hadits yang Dha’if yang tidak mungkar  dan tidak sangat lemah, terdapat juga di dalamnya, dan kebanyakan diterangkan kedha’ifannya oleh penulisnya sendiri.lan lantaran ini derajat kitab Sunan, dibawah kitab Sahih. [16]
Kitab-kitab musnad ialah kitab-kitab yang penyusunannya memasukkan kedalamnya segala rupa hadits-hadits yang diterima, dengan tidak menyaring dan tidak menerangkan derajat-derajatnya. Oleh karena itu, derajatnya dibawah kitab sunan. Dan hanya dibolehkan mengambil hadits-hadits daripadanya terhadap orang-orang yang ahli menyaring, ahli menyelidik, mengerti hal ihwal  hadits dan seluk-beluknya.[17]
Sekilas mengenai nilai dan keadaan Kutubusittah , berikut penjelasannya.
a.       Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari adalah kitab yang mula-mula membukukan hadits-hadits shahih. Kebanyakan ulama hadits bersepakat bahwa Shahih Al-Bukhari adalah kitab kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an. Inilah induk kitab-kitab shahih yang ternama. Shahih Al- Bukhari menyelesaikan kitabnya dalam waktu 16 tahun. Setiap beliahu hendak menulis sebuah hadits, beliau mandi dan beristikharah. Beliau menamainya dengan Al-Jami’ as Shahih al- Musnad min Haditsi Rasul saw. Isinya berjumlah 9.082 buah hadits marfu’ dan sejumlah hadits mauquf dan maqthu’. [18]
b.      Shahih Muslim
Shahih Muslim adalah kitab yang kedua dari kitab-kitab hadits yang menjadi pegangan (pedoman) sesudah shahih al-Buhkari.Shahih Muslim lebih baik susunannya daripada shahih Bukhari. Karena itu lebih mudah kita mencari hadits di dalamya, daripada mencari di dalam shahih Bukhari. Muslim menempatkan hadits-hadits wudhu umpamanya semuanya di bagian wudhu, tidak tersebar di sana-sini seperti halnya dalam shahih Bukhari. Menurut Muslim.. isi kitab shahihnya sejumlah 7.275 buah hadits dengan berulang-ulang. Kitab-kitab syarahnya , banyak juga, ada 15 buah.
c.       Sunan An-Nasa’i
Sunan ini bernama Al- Mujtaba’ Min As-Sunan  (sunan-sunan pilihan). Sunan ini dinamai Al-Mujtaba’ karena pada mulanya An-Nasa’I menyusun sunannya yang besar lalu memberinya kepada seorang amir di Ar-Ramlah. Amir itu bertanya, “apakah isi sunan ini shahih seluruhnya.” An-Nasa’I menjawab , “isinya ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang hampir sama dengan keduanya.” Kemudian sang Amir berkata lagi, “pisahkanlah yang shahih saja.” Sesudah itu an-Nasa’I pun menyalin sunannya dan menyalin yang shahih saja dalam sebuah kitab yang lain dengan menamai’nya Al-Mujtaba’ . kedudukannya di bawah derajat shahih Muslim,karena terdpat sedikit hadits yang dha’if di dalamnya.[19]
d.      Sunan Abi Daud[20]
Al-Kaththaby di dlm kitab Ma’alim As-Sunan berkata, “ketahuilah bahwa Sunan Abi Daud itu kitab yang sukar ada tandingannya dalam masalah agama, yang diterima baik oleh sluruh umat Islam”.
Abu Dawud sendiri mengatakan, “Aku telah menulis hadits Rasul sebanyak 500.000 kemudian aku pilih sejumlah 4.800 lalu aku masukkan ke dalam kitab ini. Hadits yang sangat lemah yang tidak sah sanadnya aku terangkan di akhirnya. Tidak aku sebutkan dalam kitab ini hadits-hadits yang di tolak oleh seluruh orang. Dan yang tidak aku beri komentar apa-apa berarti hadits baik.”


e.       Sunan At-Tirmidzi [21]
At-Tirmidzi selaku penyusunnya mengatakan, aku tidak memasukkan ke dalam  kitab ini kecuali hadits yang sekurang-kurangnya telah di amalkan oleh sebagian fuqoha. Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang shahih dan yang tercatat serta sebab-sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana yang di amalkan dan mana-mana yang ditinggalkan. Sunan At-Tirmidzi besar faedahnya, tinggi derajatnya, dan isinya jarang berulang-ulang.
f.       Sunan Ibnu Majah[22]
Sunan ini berada di bawah dari segala kitab yang telah disebutkan di atas. Ibnu Thahir Al-Maqdisi memandang sunan ini sebagai kitab induk yang ke enam.

4.      Kitab-Kitab Istikhroj dan Istidrok
Dalam masa ini ada usaha untuk meng-istikhroj-kan kitab hadits. Istikhroj ialah  mengambil sesuatu hadits dari al-Bukhari dan Muslim lalu meriwayatkan dengan syarat sendiri yang lain dari sanad al-Bukhari atau Muslim tidak memperoleh sanad sendiri. Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab mustakhroj. Banyak ulama telah berusaha menyusun istikhroj terhadap Shahih Bukhari dan Muslim dan lain-lain. Diantara kitab-kitab hasil istikhroj adalah Mustakhroj Sahih Al-Bukhari dan Mustakhroj Sahih Muslim[23].
Dalam masa ini lahir pula usaha-usaha yang lain, yaitu Istidrok. Istidrok ialah mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat dalam hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim atau syarat-syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak di syaratkan dan di shahihkan oleh beliau-beliau ini. Kitab-kitab hasil istidrok ini mereka namai kitab Mustadrok. Diantara kitabnya adalah Al-Mustadrok yang disusun oleh al-Hakim.[24]







[1]Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir.UlumulHadits(Bandung : CV PUSTAKA SETIA. 2000.) hal. 30
[2] Ibid., Hal.32
[3]M. Hasbi Ash Shiddieqy.SejarahPerkembanganHadits. (Jakarta :BulanBintang. 1973.) hal. 70
[4]SetelahgenerasiAz-ZuhrikemudianpembukuandilanjutkanolehIbnJuraij (150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (160 H) danmasihbanyakulamalainnya.
[5] Abdul MajidKhon. UlumulHadits. (Jakarta :Amzah. 2007.) hal. 60
[6]Op.cit.,M.AhmaddanM.Mudzakir. hal. 34
[7]Tengku Muhammad Ash- Shiddieqy,SejarahdanPangantarIlmuHadits. (Semarang: PustaRizki Putra.2009). cet. 3, hlm. 55
[8]Ibid.
[9] Abdul MajidKhon, UlumulHadits. (Jakarta: BumiAksara. 2010). Cet. 6, hlm. 55.
[10]Ibid.
[11]Ibid. hlm. 56.
[12]Tengku Muhammad Ash- Shiddieqy,SejarahdanPangantarIlmuHadits. (Semarang: PustaRizki Putra.2009). cet. 3, hlm. 61
[13]Ibid.
[14]Ibid. 62.
[15]Ibid. 70.
[16], Ibid. 70
[17]Ibid.
[18]Ibid.
[19]Ibid. Hlm.74.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Ibid. 82.
[24]Ibid. 83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post