Oleh : Nailu Farh & Afif Nurafifah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada masa permulaan
Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits karena
dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di
samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Rasulullah bersabda[1]
:
لا تكتبوا عنى غير القران و من كتب عنى غير القران
فليمحه (رواه مسلم )
Artinya :
janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain al-Qur`an dan
barangsiapa yang telah menulis sesuatu dariku selain al-Qur`an, hendaklah
dihapuskan. (HR. Muslim)
Meskipun terdapat
hadits yang melarang menuliskan hadits, beberapa sahabat sudah ada yang menulis
hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan
demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk
membukukan hadits setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan
bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Menurut pernyataan buku
Ulumul Hadits karya M. Ahmad dan M. Mudzakir bahwa, yang pertama-tama
menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian
diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.
Penulisan dan pembukuan
hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada
abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’,
Kutubus Sittah dan lain sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, didapatkan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana sejarah pembukuan hadits?
2. Bagaimana format dan sistematika
dalam penulisan dan pembukuan hadits?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, didapatkan tujuan
sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui bagaimana sejarah pembukuan hadits.
2.
Untuk mengetahui bagaimana
format dan sistematika dalam penulisan dan pembukuan hadits.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pembukuan Hadits
Pada
abad pertama Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa khulafa rasyidin dan
sebagian besar zaman Bani Umayyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijriyah,
hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi hanya meriwayatkannya
berdasarkan kekuatan hafalannya dan belum ada keinginan untuk membukukannya.
Ketika pada masa
pemerintahan khalifah ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H
sebagai seorang khalifah dari dinasti Umayyah yang terkenal adil dan wara’,
sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima[2],
tergeraklah hati untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa para perawi
yang membendaharakan hadits dalam hafalannya, tak selamanya akan akah
hidup. namun, berlalunya waktu kian banyak para ulama yang meninggal. Beliau
khawatir apabila tidak segera dibukukan hadits dari para perawinya,
memungkinkan hadits-hadits tersebut itu akan lenyap dari muka bumi ini.
Untuk itu, pada tahun
100 H khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu bakar bin Muhammad
binAmer bin Hazm untuk membukukan hadits Rasul dan hadits-hadits yang ada
pada para penghafal.
Khalifah menyuruh Abu
Bakar Ibn Hazm, supaya menulis untuk khalifah hadits yang ada pada “Amrah
binti Muhammad Rahman al-Anshariyah dan yang ada pada al-Qasim ibn Muhammad Abu
Bakar”.[3]
Disamping mengirimkan
surat kepada Gubernur Madinah, ‘Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur
lainnya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama di wilayah mereka
masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan
khalifah itu ialah : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az
Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fikih dan
hadits.[4]Kemudian
dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu
Abbas as Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah abbasiyah.
Usaha penulisan hadits yang dirintis
oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri pada sekitar tahun 100 H.
setelah generasi Az-Zuhri kemudian pembukuan hadits di lanjutkan oleh banyak
ulama-ulama seperti yang tertulis di bawah ini :
Para
pengumpul pertama hadits yng tercatat sejarah adalah :[5]
1.
Di
kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H= 669 M – 150 H 767 M).
2.
Di
kota Madinah, Ibnu Ishaq (.....H = 151 M..... H=768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau
Malik bin Anas ( 93 H = 703 M – 179 H = 798 M )
3.
Di
kota Bashrah, al Rabi’ bin Shabih (.....H =.....M – 160 H = 777 M). Atau Hammad
bin Salamah ( 176 H ), atau Sa’id bin Arubah ( 156 H= 773 M )
4.
Di
Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H )
5.
Di
Syam, al Auza’y (156 H )
6.
Di
Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M )
7.
Di
Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H = 753 M -153 H = 770 M )
8.
Di
Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M )
9.
Di
Khurasan, bin Mubarak (118 H = 735 M - 18 H = 797 M )
10. Di Mesir, al Laits bin Sa’ad ( 175
M ).
Pembukuan hadits dimulai sejak akhir
masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pertengahan abad II, dilakukan upaya
penyempurnaan.[6]Sistem
pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah yang sama
dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam
satu karangan.
Di antara kitab-kitab
abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah :
1.
Al Muwaththa’.
2.
Al Musnad, susunan al Imam asy Syafi’y.
3.
Mukhtaliful Hadits.
4.
As Siratun Nabawiyah ( al Maghazi wal Siyar ).
Al Muwaththa’
yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad kedua dan mendapat sambutan
yang besar sekali dari para ulama. Kitab ini mengandung 1726 rangkain khabar
dari Nabi SAW, dari sahabat dan dari tabi’in. Kitab ini mendapat perhatian dari
para ahli, karena itu banyak yang membuat syarahnya dan yang membuat
mukhtasarnya.
Adapun tingkat dan derajat hadits-hadits
al-Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada di antaranya yang shahih, ada yang
hasan, dan ada pula yang dla’if. Asy-Syafi’y pernah berkata, “Kitab yang paling
shahih sesudah Al-Qur’an, ialah Al Muwaththa’.”
Mukhaliful Hadits
adalah sebuah kitab asy-Syafi’y yang penting. Di dalamnya di terangkan
cara-cara menguatkan sunnah dan cara-cara yang mengharuskan kita menerima
hadits ahad. Adapun didalamnya di terangkan pula cara-cara menyesuaikan
hadits-hadits yang terlihat bertentangan satu sama lainnya. Di dalamnya
terdapat pula hasil perdebatan asy-Syafi’y dengan Muhammad bin al Hasan dan
lain-lain.
B. Format dan Sistematika dalam
penulisan dan Pembukuan Hadits
Berikut ini
akan dibahas mengenai format dan sistematika penulisan hadits dari abad
ke-abad.
1.
Abad ke- 1 hijrah.
Pada abad ke-1, hadits-hadits masih berbentuk lembaran-lembaran atau
(shuhuf) atau shahifah-shahifah (lembaran-lembaran) yang hanya
dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib.
2. Abad ke- 2
hijrah.
Format
penulisan Ulama abad ke-2, dalam membukukan hadits adalah dengan tanpa
menyaringnya. Mereka tidak hanya membukukan hadits saja, akan tetapi
fatwa-fatwa sahabat, bahkan fatwa-fatwa thabi’in, semua dibukukan secara
bersama-sama Maka, dalam ktab-kitab pada waktu itu terdapat hadits-hadits yang marfu’,
mauquf dan hadits maqthu.[7]
Pada abad ke-2
ini banyak kitab-kitab hadits yang telah dibukukan. Akan tetapi yang paling
mendapat perhatian adalah Al-Muwaththa`
(susunan Imam Malik), Al- Musnad dan Al-Mukhtalif al-hadits
(susunan Imam Asy-Syafi’i) serta As-Sirah an Nabawiyah atau
Al-Maghazi wa as-Siyar (susunan Ibnu Ishaq).[8]
Dari
kitab-kitab di atas, yang sampai kepada kita adalah Al-Muwaththa`
(susunan Imam Malik) dan Al- Musnad dan Al-Mukhtalif al-hadits
(susunan Imam Asy-Syafi’i)[9]
Al-Muwaththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan
dalam istilah, Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf
yaitu teknik pembukuan hadits yang didasarkan pada klasifikasi hukum fiqih dan
di dalamnya tercantum hadits marfu’, mawquf dan maqthu’.[10]
Derajat
hadits-hadits dalam Al-Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada diantaranya yang shahih, hasan,
dan ada pula yang dhaif. Menurut ibnu Hazm, dalam Al-Muwaththa’
ada hadits-hadits yang dilemahkan oleh Jumhur. Drmikianlah penilaian tergadap
Al-Muwaththa’ jika ditilik dengan kacamata ulama hadits yang membahas
isi andungannya. Tetapi jika kita tilik dari segi penulisannya Imam Malik, maka
semua isinya dipandang shahih , dapat dijadikan hujjah. Asy Syafi’I
pernah berkata bahwa kitab yang paling sahih sesudah Al-Qur’an adalah Al-Muwaththa.[11]
3.
Abad 3-4 Hijrah
Jika tadi pada
abad ke-2 Hijrah diterangkan, tidak memisahkan antara fatwa-fatwa sahabat dan
tabi’in, maka pada abad ke-3 sampai ke-4 Hijrah ini para ahli hadits
memperbaiki keadaan itu. Ditambah lagi
muncul orang zindiq dan Yahudi yang membuat hadits-hadits palsu secara licik
dan sukar diketahui kepalsunnya. Akhirnya, muncullah seorang imam hadits yang
besar, Ishaq bin Rahawaih, terdorong untuk memisahkan hadits-hadits yag shahih dan yang tidak.[12]
Kemudian
pekerjaan yang mulia ini dilanjutkan oleh Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitabnya yang terkenal
dengan nama Al-Jami’ Ash-Shahih yang membukukan hadits-hadits yang
dianggap shahih saja. Kemudian usaha Bukhari ini diikuti pula oleh
muridnya yang sangat alim yaitu Imam Muslim. Sesudah shahih Bukhari,
berkat jerih payah kedua imam besar ini, sekarang kita menemukan sumber-sumber
hadits yang capabel.[13]
Sesudah Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim tersusun, muncul beberapa orang iman lain
menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud)
at- Tirmidzi (Sunan At-Trmidzi), an-Nasai (Sunan an Nasai) itulah
yang kemudian terkenal dalam kalangan
masyarakat ulama dengan
kitab-kitab pokok yang lima (Al- Ushul al-Khomsah). Disamping itu Ibnu
Majah berupaya menyusun sebuah itab yakni Sunan Ibnu Majah. Kemudian
kitab ini menjadi kitab induk yang biasa disebut Kutub As-Sittah.
Dibawah kitab yang enam ini ulama menempatkan Musnad Al-Imam Ahmad.[14]
Kitab-kitabShahih ialah kitab-kitab yang penyusunannya tdak memasukkan ke dalamnya,
kecuali yang shahih saja. [15]
Kitab-kitabSunan,
(kecuali Sunan Ibnu Majah)
ialah kitab-kitab yang oleh penulisnya tidak dimasukkan kedalamnya
hadits-hadits yang mungkar dan yang sepertinya. Adapun hadits yang Dha’if
yang tidak mungkar dan tidak
sangat lemah, terdapat juga di dalamnya, dan kebanyakan diterangkan kedha’ifannya
oleh penulisnya sendiri.lan lantaran ini derajat kitab Sunan, dibawah
kitab Sahih. [16]
Kitab-kitab
musnad ialah kitab-kitab
yang penyusunannya memasukkan kedalamnya segala rupa hadits-hadits yang
diterima, dengan tidak menyaring dan tidak menerangkan derajat-derajatnya. Oleh
karena itu, derajatnya dibawah kitab sunan. Dan hanya dibolehkan
mengambil hadits-hadits daripadanya terhadap orang-orang yang ahli menyaring, ahli
menyelidik, mengerti hal ihwal hadits
dan seluk-beluknya.[17]
Sekilas
mengenai nilai dan keadaan Kutubusittah , berikut penjelasannya.
a.
Shahih Al-Bukhari
Shahih
Al-Bukhari adalah kitab
yang mula-mula membukukan hadits-hadits shahih. Kebanyakan ulama hadits
bersepakat bahwa Shahih Al-Bukhari adalah kitab kitab yang paling shahih
setelah Al-Qur’an. Inilah induk kitab-kitab shahih yang ternama. Shahih
Al- Bukhari menyelesaikan kitabnya dalam waktu 16 tahun. Setiap beliahu
hendak menulis sebuah hadits, beliau mandi dan beristikharah. Beliau menamainya
dengan Al-Jami’ as Shahih al- Musnad min Haditsi Rasul saw. Isinya
berjumlah 9.082 buah hadits marfu’ dan sejumlah hadits mauquf dan
maqthu’. [18]
b.
Shahih Muslim
Shahih Muslim
adalah kitab yang kedua dari kitab-kitab hadits yang menjadi pegangan (pedoman)
sesudah shahih al-Buhkari.Shahih Muslim lebih baik susunannya daripada shahih
Bukhari. Karena itu lebih mudah kita mencari hadits di dalamya, daripada
mencari di dalam shahih Bukhari. Muslim menempatkan hadits-hadits wudhu
umpamanya semuanya di bagian wudhu, tidak tersebar di sana-sini seperti halnya
dalam shahih Bukhari. Menurut Muslim.. isi kitab shahihnya sejumlah
7.275 buah hadits dengan berulang-ulang. Kitab-kitab syarahnya , banyak juga,
ada 15 buah.
c.
Sunan An-Nasa’i
Sunan ini
bernama Al- Mujtaba’ Min As-Sunan
(sunan-sunan pilihan). Sunan ini dinamai Al-Mujtaba’ karena pada
mulanya An-Nasa’I menyusun sunannya yang besar lalu memberinya kepada seorang
amir di Ar-Ramlah. Amir itu bertanya, “apakah isi sunan ini shahih seluruhnya.”
An-Nasa’I menjawab , “isinya ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang
hampir sama dengan keduanya.” Kemudian sang Amir berkata lagi, “pisahkanlah
yang shahih saja.” Sesudah itu an-Nasa’I pun menyalin sunannya dan menyalin
yang shahih saja dalam sebuah kitab yang lain dengan menamai’nya Al-Mujtaba’
. kedudukannya di bawah derajat shahih Muslim,karena terdpat sedikit
hadits yang dha’if di dalamnya.[19]
d.
Sunan Abi Daud[20]
Al-Kaththaby di
dlm kitab Ma’alim As-Sunan berkata, “ketahuilah bahwa Sunan Abi Daud
itu kitab yang sukar ada tandingannya dalam masalah agama, yang diterima baik
oleh sluruh umat Islam”.
Abu Dawud
sendiri mengatakan, “Aku telah menulis hadits Rasul sebanyak 500.000 kemudian
aku pilih sejumlah 4.800 lalu aku masukkan ke dalam kitab ini. Hadits yang
sangat lemah yang tidak sah sanadnya aku terangkan di akhirnya. Tidak aku
sebutkan dalam kitab ini hadits-hadits yang di tolak oleh seluruh orang. Dan
yang tidak aku beri komentar apa-apa berarti hadits baik.”
e.
Sunan At-Tirmidzi [21]
At-Tirmidzi
selaku penyusunnya mengatakan, aku tidak memasukkan ke dalam kitab ini kecuali hadits yang
sekurang-kurangnya telah di amalkan oleh sebagian fuqoha. Beliau menulis
hadits dengan menerangkan yang shahih dan yang tercatat serta
sebab-sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana yang di amalkan
dan mana-mana yang ditinggalkan. Sunan At-Tirmidzi besar faedahnya, tinggi
derajatnya, dan isinya jarang berulang-ulang.
f.
Sunan Ibnu Majah[22]
Sunan ini
berada di bawah dari segala kitab yang telah disebutkan di atas. Ibnu Thahir
Al-Maqdisi memandang sunan ini sebagai kitab induk yang ke enam.
4.
Kitab-Kitab Istikhroj dan Istidrok
Dalam masa ini
ada usaha untuk meng-istikhroj-kan kitab hadits. Istikhroj
ialah mengambil sesuatu hadits dari
al-Bukhari dan Muslim lalu meriwayatkan dengan syarat sendiri yang lain dari
sanad al-Bukhari atau Muslim tidak memperoleh sanad sendiri. Kitab-kitab ini
dinamai kitab-kitab mustakhroj. Banyak ulama telah berusaha menyusun istikhroj
terhadap Shahih Bukhari dan Muslim dan lain-lain. Diantara kitab-kitab hasil istikhroj
adalah Mustakhroj Sahih Al-Bukhari dan Mustakhroj Sahih Muslim[23].
Dalam masa ini
lahir pula usaha-usaha yang lain, yaitu Istidrok. Istidrok ialah
mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat dalam hadits Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim atau syarat-syarat salah seorangnya yang kebetulan
tidak di syaratkan dan di shahihkan oleh beliau-beliau ini. Kitab-kitab hasil istidrok
ini mereka namai kitab Mustadrok. Diantara kitabnya adalah Al-Mustadrok
yang disusun oleh al-Hakim.[24]
[1]Muhammad
Ahmad dan M. Mudzakir.UlumulHadits(Bandung : CV PUSTAKA SETIA. 2000.)
hal. 30
[2]
Ibid., Hal.32
[3]M.
Hasbi Ash Shiddieqy.SejarahPerkembanganHadits. (Jakarta :BulanBintang.
1973.) hal. 70
[4]SetelahgenerasiAz-ZuhrikemudianpembukuandilanjutkanolehIbnJuraij
(150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (160 H) danmasihbanyakulamalainnya.
[5]
Abdul MajidKhon. UlumulHadits. (Jakarta :Amzah. 2007.) hal. 60
[6]Op.cit.,M.AhmaddanM.Mudzakir.
hal. 34
[7]Tengku Muhammad
Ash- Shiddieqy,SejarahdanPangantarIlmuHadits. (Semarang: PustaRizki
Putra.2009). cet. 3, hlm. 55
[8]Ibid.
[9] Abdul
MajidKhon, UlumulHadits. (Jakarta: BumiAksara. 2010). Cet. 6, hlm. 55.
[12]Tengku Muhammad
Ash- Shiddieqy,SejarahdanPangantarIlmuHadits. (Semarang: PustaRizki
Putra.2009). cet. 3, hlm. 61
[13]Ibid.
[16], Ibid. 70
[17]Ibid.
[18]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar