TAFSIR THALAQ
(Perceraian)
1.
Pengertian Thalaq
Thalậq
(طلق) menurut bahasa, berarti menceraikan atau
melepaskan. Sedangkan menurut syara’ thalaq adalah memutuskan tali perkawinan yang
sah, baik seketika atau masa mendatang oleh pihak suami dengn mengucapkan
kata-kata tertentu atau cara lain yang menggantikan kata-kata tersebut.[1]
Kata thalaq dengan berbagai bentuknya
disebut dalam al-Qur`an sebanyak 23 kali.[2]
Kata thallaqa disebutkan sebanyak sembilan kali, yang disebutkan dalam Al-Qur`an seluruhnya
bermakna menceraikan, yang berarti membebaskan wanita dari ikatan perkawinan.
Berikut adalah firman Allah dalam Surah al-Ahzab : 51.
Terjemahannya
: “Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara
mereka (isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki.
Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang
telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih
dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya
rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa
yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun”.[3]
2.
Macam-Macam Thalaq
Menurut
Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya yang berjudul Fiqih Lima Madzhab, bahwa
thalaq terbagai menjadi dua, yakni ;[4]
a.
Thalaq
Raj’i
Thalaq
raj’i adalah thalaq dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada
isterinya (rujuk) sepanjang isterinya tersebut masih dalam masa ‘iddah, baik
isteri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.
Terjemahannya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik-baiknya”.[5]
b.
Thalaq
Ba’in
Yaitu bekas
istrinya tidak boleh dirujuk lagi. Thalaq ba’in dibagi menjadi dua[6]:
1)
Ba’in
Kubro, yaitu telah dijatuhi tiga thalakan entah tiga kali
berturut-turut ,yaitu dithalaq kemudian dirujuk, kemudian dithalaq. Lalu di
rujuk lagi kemudian dithalaq lalu tidak boleh dirujuk lagi, atau dengan
sekaligus talakan. Apabila antara suami istri pengen menikah lagi maka harus di
selingi dengan muhallil( penghalang) oleh laki-laki lain serta menjima’ kepada
istri itu.
2)
Ba’in
Sughra, yaitu istri yang mengkhulu’ (memberi thalaq) kepada suaminya atau istri
yang di thalaq sebelum di khulu’. Suami istri tidak boleh rujuk lagi melainkan
dengan akad nika yang baru.
Dalam terjemah Tafsir Al-Maraghi juga diterangkan bahwa “wahai orang yang beriman kepada Allah dan percaya
kepada Rasul-Nya, jika kalian menalak istri-istri kalian hingga habis iddahnya
dan bekas suami mereka atau orang lain hendak mengawini mereka maka jangan lah
mereka( para wali ) mencegah mereka melakukan perkawinan jika keduanya sudah
suka sama suka.[7]
3.
Syarat Orang yang Menalak
a.
Baligh
Menurut kesepakatan ulama, bahwa thalaq yang dijatuhkan anak kecil
dinyatakan tidak sah, sekalipun ia pandai. Berbeda dengan madzhab Hanbali,
bahwa thalaq yang dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah.
b.
Berakal
sehat
Thalaq dinyatakan sah apabila seseorang tersebut benar-benar dalam
keadaan sadar/berakal sehat, tidak dalam keadaan gila ataupun dalam keadaan
tidak sadar
c.
Atas
kehendak sendiri
Yhalaq yang dijatuhkan dalam keadaan terpaksa/dipaksa (menceraikan
isterinya), menurut kesepakatan para ulama dinyatakan tidak sah.
d.
Betul-betul
bermaksud menjatuhkan thalaq
Thalaq dinyatakan sah apabila ia dalam keadaan bener-benar
bermaksud menceraikan isterinya, tidak dengan main-main, lupa, ataupun keliru.
4.
Kedudukan Perceraian
Perceraian
menjadi boleh atau sah dalam sebuah pernikahan apabila sang suami dalam keadaan
sadar dan ia bener-benar hendak menceraikan isterinya dan sang isteri tidak
dalam keadaan haidh, hamil, dan nifas.
Terjemahnya
: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke
luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”.[8]
Referensi :
-
Fuad.
Muh. 2007. Fiqih Wanita Lengkap. Jombang : Lintas Media
-
Shihab.
M. Quraish. 2013. Ensiklopedia Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
-
Muhammad.
Syaikh Kamil. 2006. `Uwaidah, Fiqih Wanita Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar. cet ke-2
-
Al-Maraghi.
Ahmad Mustafa.1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Karya Toha
Putra Semarang
-
Mughniyah.
Muhammad Jawad. 2000. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta : Lentera. Cet. 5
[1]
Muh fuad. , Fiqih Wanita Lengkap (
Jombang, Lintas Media, 2007). hal 434
[3]
Menurut riwayat, pada suatu ketika isteri-isteri Nabi Muhammad s.a.w. ada
yang cemburu, dan ada yang meminta tambahan belanja. Maka Nabi Muhammad s.a.w.
memutuskan perhubungan dengan mereka sampai sebulan lamanya. Oleh karena takut
diceraikan Nabi, maka mereka datang kepada Nabi menyatakan kerelaannya atas apa
saja yang akan diperbuat nabi terhadap mereka. Turunnya ayat ini memberikan izin
kepada Nabi untuk menggauli siapa yang dikehendakinya dan isteri-isterinya atau
tidak menggaulinya; dan juga memberi izin kepada Nabi untuk rujuk kepada
isteri-isterinya seandainya ada isterinya yang sudah diceraikannya.
[4]
Muhammad
Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. (Jakarta : Lentera. 2000. Cet. 5).
hal. 451- 452
[5]
QS. Al-Ahzab : 49
[6]
Syaikh Kamil Muhammad `Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2006) cet ke-2 hal 438
[7]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah
Tafsir Al-Maraghi ( Semarang, Karya Toha Putra Semarang, 1993. hal 312
[8]
QS. At-Thalaq : 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar