Rabu, 15 Oktober 2014

Tafsir Thalaq (Perceraian)



TAFSIR THALAQ
(Perceraian)

1.      Pengertian Thalaq
Thalậq (طلق) menurut bahasa, berarti menceraikan atau melepaskan. Sedangkan menurut syara’ thalaq adalah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau masa mendatang oleh pihak suami dengn mengucapkan kata-kata tertentu atau cara lain yang menggantikan kata-kata tersebut.[1]
 Kata thalaq dengan berbagai bentuknya disebut dalam al-Qur`an sebanyak 23 kali.[2] Kata thallaqa disebutkan sebanyak sembilan kali, yang disebutkan dalam Al-Qur`an seluruhnya bermakna menceraikan, yang berarti membebaskan wanita dari ikatan perkawinan. Berikut adalah firman Allah dalam Surah al-Ahzab : 51.
Terjemahannya : “Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.[3]
2.      Macam-Macam Thalaq
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya yang berjudul Fiqih Lima Madzhab, bahwa thalaq terbagai menjadi dua, yakni ;[4]
a.       Thalaq Raj’i
Thalaq raj’i adalah thalaq dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada isterinya (rujuk) sepanjang isterinya tersebut masih dalam masa ‘iddah, baik isteri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.

Terjemahannya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.[5]


b.      Thalaq Ba’in
Yaitu bekas istrinya tidak boleh dirujuk lagi. Thalaq ba’in dibagi menjadi dua[6]:
1)      Ba’in Kubro, yaitu  telah  dijatuhi tiga thalakan entah tiga kali berturut-turut ,yaitu dithalaq kemudian dirujuk, kemudian dithalaq. Lalu di rujuk lagi kemudian dithalaq lalu tidak boleh dirujuk lagi, atau dengan sekaligus talakan. Apabila antara suami istri pengen menikah lagi maka harus di selingi dengan muhallil( penghalang) oleh laki-laki lain serta menjima’ kepada istri itu.
2)      Ba’in Sughra, yaitu istri yang mengkhulu’ (memberi thalaq) kepada suaminya atau istri yang di thalaq sebelum di khulu’. Suami istri tidak boleh rujuk lagi melainkan dengan akad nika yang baru.
Dalam terjemah Tafsir Al-Maraghi juga diterangkan bahwa “wahai  orang yang beriman kepada Allah dan percaya kepada Rasul-Nya, jika kalian menalak istri-istri kalian hingga habis iddahnya dan bekas suami mereka atau orang lain hendak mengawini mereka maka jangan lah mereka( para wali ) mencegah mereka melakukan perkawinan jika keduanya sudah suka sama suka.[7]
3.         Syarat Orang yang Menalak
a.       Baligh
Menurut kesepakatan ulama, bahwa thalaq yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun ia pandai. Berbeda dengan madzhab Hanbali, bahwa thalaq yang dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah.
b.      Berakal sehat
Thalaq dinyatakan sah apabila seseorang tersebut benar-benar dalam keadaan sadar/berakal sehat, tidak dalam keadaan gila ataupun dalam keadaan tidak sadar
c.       Atas kehendak sendiri
Yhalaq yang dijatuhkan dalam keadaan terpaksa/dipaksa (menceraikan isterinya), menurut kesepakatan para ulama dinyatakan tidak sah.
d.      Betul-betul bermaksud menjatuhkan thalaq
Thalaq dinyatakan sah apabila ia dalam keadaan bener-benar bermaksud menceraikan isterinya, tidak dengan main-main, lupa, ataupun keliru.
4.      Kedudukan Perceraian
Perceraian menjadi boleh atau sah dalam sebuah pernikahan apabila sang suami dalam keadaan sadar dan ia bener-benar hendak menceraikan isterinya dan sang isteri tidak dalam keadaan haidh, hamil, dan nifas.
Terjemahnya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”.[8]

Referensi :
-          Fuad. Muh. 2007. Fiqih Wanita Lengkap. Jombang : Lintas Media
-          Shihab. M. Quraish. 2013. Ensiklopedia Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
-          Muhammad. Syaikh Kamil. 2006. `Uwaidah, Fiqih Wanita Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. cet ke-2
-          Al-Maraghi. Ahmad Mustafa.1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Karya Toha Putra Semarang
-          Mughniyah. Muhammad Jawad. 2000. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta : Lentera. Cet. 5


[1] Muh fuad. , Fiqih Wanita Lengkap ( Jombang, Lintas Media, 2007). hal 434
[2] M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an. 2013. Jakarta: Lentera Hati, hlm. 1001
[3] Menurut riwayat, pada suatu ketika isteri-isteri Nabi Muhammad s.a.w. ada yang cemburu, dan ada yang meminta tambahan belanja. Maka Nabi Muhammad s.a.w. memutuskan perhubungan dengan mereka sampai sebulan lamanya. Oleh karena takut diceraikan Nabi, maka mereka datang kepada Nabi menyatakan kerelaannya atas apa saja yang akan diperbuat nabi terhadap mereka. Turunnya ayat ini memberikan izin kepada Nabi untuk menggauli siapa yang dikehendakinya dan isteri-isterinya atau tidak menggaulinya; dan juga memberi izin kepada Nabi untuk rujuk kepada isteri-isterinya seandainya ada isterinya yang sudah diceraikannya.
[4] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. (Jakarta : Lentera. 2000. Cet. 5). hal. 451- 452
[5] QS. Al-Ahzab : 49
[6] Syaikh Kamil Muhammad `Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006) cet ke-2 hal 438

[7] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi ( Semarang, Karya Toha Putra Semarang, 1993. hal 312

[8] QS. At-Thalaq : 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post