Tolong menolong dalam pelaksanaan Dayn, Rahn, dan Dhaman
Islam mengatur hubungan yang kuat
antara akhlak, akidah, ibadah dan muamalah. Aspek muamalah merupakan sebuah
kegiatan manusia dalam melaksanakan kehidupan sosial, sekaligus
merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan
segala cara untuk mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia memperoleh
rezeki dengan cara yang halal dan baik.
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak
terlepas dari yang namanya utang piutang. Sebab di antara mereka ada yang
membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia
sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah
ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan
pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berutang atau mencari
pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya
pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
Dalam hal ini, ada beberapa macam
jenis hutang piutang dalam kefiatan muamalah, seperti Dayn, Rahn, dan Dhaman.
Dibawah ini akan dijelaskan bagaimana relasi ketiganya dalam pelaksanaan
mualmalah.
A.
Pengertian Dayn, Rahn, dan Dhaman
1.
Dayn
Secara makna kamus Dayn memiliki arti utang.
Al-Qur’an memaknai kata al-Dayn sebagai utang. Kemudian dalam fiqih
istilahnya disebut al-Qardh, yang berarti al-Qath’u (potongan).
Sedangkan menurut istilah al-Qardh itu uang pinjaman dari orang lain,
berarti wajib dikembalikan atau membayar lagi jika sudah diterima.[1]
Utang piutang sendiri memiliki makna ialah memberikan sesuatu kepada
orang lain, disertakan adanya perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu.
Yang dimaksud dengan yang sama diatas, seperti halnya sama dalam keadaan
dan cirinya.[2]
2.
Rahn
Secara eimologi Rahn berarti al-Sakînah (tenang), al-Habs
(tahanan), gadai, al-Tsubût (tetap), terikat, atau al-Dawâm
(langgeng). Sedangkan secara terminologi Rahn Rahn adalah transasksi hutang
piutang yang disertai jaminan yang ditahan sebagai pengganti, baik harganya
(tsaman) atau manfaatnya bila pihak yang diberi pinjaman tidak mampu
membayarnya.[3]
Rahan berbasis kepercayaan dan jaminan hutang yang tidak terdapat
investasi dan kehendak meraih keuntungan.
3.
Dhaman
Jaminan atau dhaman Secara bahasa/etimologi berasal dari kata dhamana
– Yadhmanu – Dhaman, yang memiliki arti jaminan atau tanggungan, memikul,
perlindungan, keamanan, perjanjian, atau borek.[4]
Secara terminologi, dhaman merupakan
transaksi tanggungan atau jaminan bagi pembayaran hutang seseorang dengan cara,
waktu, dan tempat tertentu untuk ketenangan diri.[5]
Sedangkan menurut A. Azharuddin Lathif (Dosen Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam makalahnya menyebutkan makna
dhaman secara terminologi ialah Jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada
pihak ketiga atas kewajiban/prestasi yang
harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung).[6]
4.
Relasi Dayn, Rahn, dan Dhaman
Pada dasarnya
dayn, rahn, dan dhaman ini memiliki maksud dan tujuan yang sama. Ketiganya ini
merupakan sebuah transaksi hutang piutang baik berupa jaminan ataupun tanpa
jaminan. Dimana ketiganya ini memiliki tujuan atau prinsip untuk saling tolong
menolong sesuai dengan akad yang ditentukan. Akad disini sangat penting untuk membedakan baik sesuatu
urusan atau urusan niaga itu sah atau tidak mengikuti syara’. penggunaan akad
yang tepat untuk melakukan sesuatu urusan perlu diambil oleh setiap individu.
Sekiranya akad tersebut sah, maka ia akan mewujudkan tanggungjawab dan hak di
kalangan pihak-pihak yang berakad.
Sebagimana
dayn di jelaskan dalam Qur`an surah Al-Baqarah [2]: 282 yaitu:
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[7]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini secara
rinci menjelaskan cara pelaksanaan muamalah yang benar. Apabila pelaksanaan ini
tidak tunai dibayarkan/adanya waktu yang ditentukan (hutang), maka perlu adanya
pencatatan (seorang penulis) secara benar tanpa adanya penambahan atau
pengurangan jumlah hutang ataupun jumlah temponya dengan disertakan saksi
yakni, dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Hal ini bertujuan sebagai pengingat apabila terjadi kelupaan, juga sebagai
pengukuhan untuk menghilangkan pertikaian nantinya.
Dayn ialah menerima pinjaman dari pihak yang harus
dikembalikan sesuai perjanjian yang
dilakukan ketika transaksi. Pada
pelaksaan Dayn terdapat saksi (seorang penulis) sehingga hal ini tidak
memerlukan adanya barang jaminan. Dalam pelaksanaan Rahn tidak terdapat saksi
(seorang penulis) yang akan mencatat semua bentuk hutang-piutang tersebut,
dengan demikian akad ini membutuhkan adanya barang (benda mati) / barang hidup
yang diberikan sebagai bentuk jaminannya. Sebagaimana terdapat dalam Qur`an surah.
Al-Baqarah/2 : 283).
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang[8]
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Pada akad rahn, barang jaminan
diberikan kepada pemberi hutang sebagai pengganti baik harga maupun manfaatnya.
Pada akad dhaman barang jaminan ada pada orang yang meminjam. Jaminan disini
hanya sebatas bukti bahwa dalam akad hutang-piutang ini disertai adanya jaminan
bisa berupa harta seperti uang/barang, berupa diri (suatu kepercayaan), atau
juga berupa perkataan. Hal ini sesuai denga Qur`an surah Yusuf ayat 66.
tA$s%
ô`s9 ¼ã&s#Åöé& öNà6yètB 4Ó®Lym Èbqè?÷sè? $Z)ÏOöqtB ÆÏiB «!$# ÓÍ_¨Yè?ù'tFs9 ÿ¾ÏmÎ/ HwÎ) br& xÞ$ptä öNä3Î/ ( !$£Jn=sù çnöqs?#uä óOßgs)ÏOöqtB tA$s% ª!$# 4n?tã $tB ãAqà)tR ×@Ï.ur ÇÏÏÈ
Ya'qub berkata:
"Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu,
sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu
pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh".
tatkala mereka memberikan janji mereka, Maka Ya'qub berkata: "Allah adalah
saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)".
Dari
ketiga akad diatas adanya suatu pemenuhan janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, yang mengikat satu pihak
saja, yaitu pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan
kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa
terhadap pihak lainnya. Hutang adalah sebuah janji yang harus
dibayarkan sesuai dengan waktu yang ditentukan pada akad awal dan mengajarkan
akan sebuah kejujuran dalam menuliskan atau mencatat hal-hal yang berkaitan
dengan hutang piutang tersebut tanpa adanya pengurangan atau penambahan dari
akad tersebut serta menuntut suatu amanah dan tanggung jawab atas sebuah
kepemilikan.
Ketiga akad diatas memiliki tujuan
yang sama, yakni untuk memudahkan dalam pelaksanaan hutang-piutang dengan
didasari ketakwaan kepada Allah, tidak untuk saling merugikan dan dalam hal ini
pemberian hutang atau pinjaman pada seseorang didasarkan pada pengambilan
manfaat dari sesuatu pekerjaan yang dianjurkan oleh agama. Dalam
transaksi ini terdapat nilai luhur dan cita-cita sosial yang sangat tinggi
yaitu tolong menolong dalam kebaikan. Dengan demikian, pada dasarnya pemberian hutang
atau pinjaman pada seseorang harus didasari niat yang tulus
sebagai usaha untuk menolong sesama dalam kebaikan. Sebagaimana
terdapat dalam Qur`an surat al-Maidah ayat 2 Allah berfirman :
¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# .
“dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.
Hutang piutang sudah menjadi hal yang
lumrah, namun dalam aplikasi yang nyata alangkah lebih baiknya bila kita
menjalankannya sesuai syariat Islam. Dimana, bila kita menjalankannya sesuai
syariat agama akan memberikan nilai
tambah yang lebih baik seperti, tidak memberatkan pihak peminjam, pahala yang
akan diberikan Allah SWT lebih besarnya nilainya dibanding dengan pahala
sedekah.
Dalam pelaksanaan transaksi ini harus ada
kerelaan dan keikhlasan dari penjamin hutang, tanpa ada paksaan serta memenuhi
syarat-syarat yang berlaku sesuai syariat agama Islam. Bila salah satu syariat
tersebut tidak terpenuhi maka penjamin
tidaklah berhak menjadi seorang penjamin hutang yang sah.
Referensi
Firdaus , Slamet. “Tafsir Ekonomi; Dhaman”. Dosen Fakultas Syari’ah
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Firdaus , Slamet. “Tafsir Ekonomi; Rahn”. Dosen Fakultas Syari’ah
IAIN Syekh Nurjati Cirebon. 2014
Lathif , A. Azharuddin “penerapan hukum jaminan dalam pembiayaan di
perbankan syari’ah”. Dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
http://digilib.uinsby.ac.id/7737/3/bab%202.pdf di
download pada 19 september 2014 pukul. 13.21
[3] Slamet
Firdaus. “Tafsir Ekonomi; Rahn”. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Syekh Nurjati
Cirebon. 2014. hal. 1
[4] Lihat
makalah Slamet Firdaus. “Tafsir Ekonomi; Dhaman”. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN
Syekh Nurjati Cirebon. 2014. hal. 1
[5] Slamet
Firdaus. “Tafsir Ekonomi; Dhaman”.
[6]
A. Azharuddin Lathif “penerapan hukum jaminan dalam pembiayaan di
perbankan syari’ah”. Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. hal 2
[7]
Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya
[8] barang
tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar