Tafsir Rahn
(Gadai)
A.
Pengertian Gadai (Rahn)
Gadai
(al rahn) secara bahasa dapat diartikan sebagai al-tsubut (الثبوت) dan al-habs (الحبس) yaitu penetapan dan penahanan. Secara istilah
dapat diartikan menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’sebagai
jaminan atas adanya dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau
mengambil sebagian benda itu.[1]
Sehingga
dapat disimpulkan gadai adalah menjadikan suatu benda itu berharga sebagai
jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang
yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang.
Praktek Rahn dapat dilihat dalam
surat al Baqarah : 282 yang mengajarkan perjanjian hutang piutang yang perlu
diperkuat dengan catatan dan melibatkan saksi-saksi.
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[2] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
B.
Rahn dan Tradsisi Masyarakat
Parktek gadai (rahn) dalam masyarakat pada umumnya mendasari kepada
praktik-praktik yang dalam pelaksanaannya menjurus kepada praktik riba
dikarenakan adanya pemanfaatan barang jaminan oleh pihak yang berpiutang
(penerima gadai) yang menimbulkan kesulitan bagi penggadai untuk menebus
kembali barang gadaiannya.
C.
Rahn dan Gadai
Dalam Islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam,
tanpa adanya imbalan jasa.
Pegadaian
menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan: ”Gadai adalah
suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang
berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.” [3]
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh
pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang
tersebut hanya sebagai jaminan hutang dan sebagai amanat bagi penerimanya.
Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka
menurut para fuqaha barang gadai atau jaminan boleh dimanfaatkan. Murtahin hanya
berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan
hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barangnya
itu. Tetapi sebagai pemilik marhun (rahin), apabila barang
gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi milik rahin.[4]
Rahn dalam
hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari
keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping tolong-menolong
juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang
ditetapkan. Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang
bergerak, sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik
harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Dalam rahn, menurut hukum Islam
tidak ada istilah bunga utang, yang ada hanyalah sewa tempat. Gadai menurut
hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia di sebut
Perum pegadaian; Rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui
suatu lembaga. Menurut mazhab Hanafi penerima rahn boleh memanfaatkan barang
yang menjadi jaminan utang atas izin pemiliknya, karena pemilik barang itu
boleh mengizinkan kepada siapa yang dikehendakinya untuk menggunakan hak
miliknya, termasuk untuk mengambil manfaat barangnya. Hal itu menurut mereka
bukan riba, karena pemanfaatan barang itu diperoloeh melalui izin. [5]
D.
Hikmah Disyariatkannya Rahn[6]
1.
Setiap
transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis.
Namun jika tidak memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang
menjadi saksi. Jika ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka
dipersilakan adanya jaminan.
2.
Prisnsip
mu’amalat adalah saling percaya dan menjaga kepercayaan semua fihak. Untuk
menghilangkan keraguan maka hendakla diadakan perjanjian secara tertulis atau
jaminan. Namun kalau semuanya saling mempercayai, atau dalam transaksi tunai
yang tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, tidak mengapa tanpa
tulisan atau jaminan aslakan tetap menjaga amanah.
3.
Orang
yang mengetahui fakta kebenaran mesti bersedia menjadi saksi. Bersaksi dalam
kebenaran, merupkan ibadah. Sebaliknya yang menyembunyikan kesaksian, terancam
siksa. Sedangkan bersaksi palsu termasuk dosa besar.
4.
Taqwa
mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu dalam jual beli, utang
piutang, atau mu’amalat lainnya mesti didasari taqwa. Taqwa juga mesti
dimanifestasikan dalam menjaga amanah, kepercayaan, kejujuran dan menjauhi
hal-hal yang merugikan fihak manapun.
5.
Allah
SWT maha mengetahui segalanya. Oleh karena itu setiap insane mesti tetap
menjaga kejujuran, menegakkan kebenaran, menampakkan fakta sebenarnya bila
diminta persaksian. Orang yang menyembunyikan kesaksian akan diungkap
kesalahannya oleh yang Maha Mengetahui.
Referensi
-
Hendi suhendi. Fiqh muamalah, (jakarta:
pt. Grafindo persada, 2000) hal.105-106
-
Niela
Safira “Pegadaian Syariah”. Blogspot.com. 2013
-
Anisy
Kurlillah “Konsep Akad Rahn”. Blogspot.com. 2011
-
Choir
“Persamaan, Perbedaan Rahn dan Gadai” Zonaeksis.com. 2011
-
Saifudin
ahmadsyatibi.
“Persaksian dan Jaminan Hutang QS. al-Baqarah : 283”. Blogspot.com. 2012
[1] Hendi suhendi. Fiqh muamalah, (jakarta: pt. Grafindo persada, 2000)
hal.105-106
[2] barang tanggungan (borg) itu diadakan bila
satu sama lain tidak percaya mempercayai.
[3]
Lihat artikel Niela Safira “Pegadaian Syariah”. Blogspot.com. 2013
[4]
Lihat artikel Anisy Kurlillah “Konsep Akad Rahn”. Blogspot.com. 2011
[5] Lihat artikel Choir “Persamaan, Perbedaan Rahn dan Gadai” Zonaeksis.com. 2011
[6]
Lihat artikel Saifudin ahmadsyatibi. “Persaksian
dan Jaminan Hutang QS. al-Baqarah : 283”. Blogspot.com. 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar