Biografi
Gus Dur
Oleh Nailu Farh
Nama : Abdurrahman
Wahid
Lahir :
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
OrangTua : Wahid Hasyim
(ayah), Solechah (ibu).
Istri : Sinta
Nuriyah
Anak-anak : Alisa Qotrunada
Zannuba Arifah
Anisa Hayatunufus
Inayah Wulandari
Pendidikan
·
Pesantren
Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
·
Departemen
Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
·
Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad
(1966-1970)
Karir
·
Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas
Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan
filosofi)
·
Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
·
Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
·
Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
·
Ketua Forum Demokrasi (1990)
·
Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia
(1994)
·
Anggota MPR (1999)
·
Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24
Juli 2001)
Latar Belakang Keluarga
Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal,
“Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim,
orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan
tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup
dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal
dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren
kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di
Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur
adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H.
Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny.
Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri
Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi
Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur
merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah
berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga
Wahid Hasyim pindah ke Jakarta.
Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari
para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di
rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini
memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid.
Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang
didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa
Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh
akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama
ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru.
Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus
Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa
pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin
memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung
keperpustakaan umum di Jakarta.
Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan
buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita,
utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan
dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya.
Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur
dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk
menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga
melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan
apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada
tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan
Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat.
Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai
kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya
telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh.
Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H.
Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca
al-Qur’an. Dalam usia lima
tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping
belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa
Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk
Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa
Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh
orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan
dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba
karya tulis (mengarang) se-wilayah kota
Jakarta dan
menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah
mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika
pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk
belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia
masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di
pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan
tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama
kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia
pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota
dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan
orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji
pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia
ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi
membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya
untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur
menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.
Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest
Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga
membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y.
Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky
dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant
yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca
buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya
sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat
radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai
dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai
Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama,
anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl
Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan
jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren
Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok
kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang
memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek
ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan
ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke
pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat
santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu
menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang
patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang
diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai
menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan
semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping,
jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas
sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi
di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur
pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu
usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul
Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22
tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang
kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.
Pertama kali sampai di Mesir,
ia merasa kecewa karena tidak
dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah
(semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang
mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan
kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi
Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang
dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di
bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis,
Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan
pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke
Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di
Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad
samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang
berbeda dengan di Mesir. Di kota
seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak
didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan
buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya
secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat
para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat
Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri
aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber
spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi
perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada
kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu
tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas
terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke
Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk
masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau
Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya
yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari
satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda
selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang
tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke
pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat
pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman
secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami
berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan
keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan
mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal
kariernya.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur
tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari
untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar
doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua
promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar
tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia
justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian
dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang
dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas
Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi
sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi
penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat
tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian
banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai
bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya,
kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika
tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk
membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini
Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi
keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus
Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab
Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur
mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta.
Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara
pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di
sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah
agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan
disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di
lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap
‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus
PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film
Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl
hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki
jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut
kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989),
dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian
dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi
presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh
seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu,
khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang
seluruh bangsa Indonesia
ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman
Wahid.
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam
pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999,
dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan
nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh
organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks
dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan
berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya,
kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman
keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks,
mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan
sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur
yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka,
modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai
dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren.
Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan
struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus
Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif,
simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan,
pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan
filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis,
pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam
membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH.
Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi
Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga
model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan
dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan
etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga,
budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam
pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh
membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam
diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan
suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran
yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi
komunitasnya sendiri.
Penghargaan
·
Tokoh
1990, Majalah Editor, tahun 1990
·
Ramon
Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation,
Philipina, tahun 1991
·
Islamic
Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
·
Penghargaan
Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
·
Man Of The
Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
·
Honorary
Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente,
tahun 2000
·
Gelar
Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
·
Doctor
Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat
Thaprachan Bangkok, Thailand,
Mei 2000
·
Doctor
Honoris Causa dari Universitas Paris
I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen,
dan ilmu humaniora, tahun 2000
·
Penghargaan
Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University,
September 2000
·
Doctor
Honoris Causa dari Asian Institute of Technology,
Thailand, tahun
2000
·
Ambassador
for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
·
Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka,
Jepang, tahun 2002
·
Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk
University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar